Saturday, November 11, 2006

Sulastomo: Ekstremisme di Sekitar Bush

(Kompas, 11 November, 2006)

Salah satu kebijakan Amerika Serikat yang sering dianggap kontroversial adalah invasi AS di Irak.

Apa yang dilakukan AS di Irak, menimbulkan reaksi balik yang mungkin tidak diperhitungkan sebelumnya. Kemenangan kelompok Hammas di Palestina dan kelompok konservatif di Iran merupakan dampak dari kebijakan AS. Orang kian tidak percaya, pendekatan yang moderat bisa menyelesaikan krisis di Timur Tengah. Demikian juga tumbuhnya kelompok ekstrem lain hingga sampai ke gerakan terorisme yang kini berkembang di seluruh dunia.

Timbul pertanyaan, mengapa AS bisa mengambil kebijakan seperti itu? Sebuah sikap yang dapat dianggap radikal, karena menggunakan kekerasan yang mengorbankan banyak orang tidak berdosa? Tidakkah kebijakan seperti itu, meski ada justifikasinya, juga mengesankan ekstremisme? Bahkan terorisme yang dilakukan negara? Tujuan, dalam hal ini, telah menghalalkan cara.

"The Last Crusade"

Di awal invasi AS ke Irak, Presiden George W Bush pernah telanjur mengatakan, serangan itu merupakan Crusade. Mengibaratkan sebagai "Perang Salib".

Kebijakan Bush itu agaknya melahirkan inspirasi bagi Barbara Victor, wartawati stasiun televisi CBS, untuk menerbitkan buku berjudul The Last Crusade, dengan subjudul Religion and the politics of misdirection (2005).

Selama beberapa tahun, Barbara Victor meneliti perkembangan sebuah kelompok agama di AS yang peran politiknya tumbuh cepat. Amat menarik, karena peran kelompok agama itu dalam politik dinilai telah mengantar Bush ke Gedung Putih dan memengaruhi kebijakan luar negeri (LN)-nya.

Di kulit buku itu terpampang gambar Presiden Bush, berwajah serius, dengan latar belakang simbol orang suci, sebuah lingkaran kuning dengan kepala Bush di tengah lingkaran itu. Isi buku itu bisa ditebak. Bush digambarkan sebagai orang suci yang kini memimpin dunia. Hal ini terlepas, semua itu dibungkus dengan isu demokrasi dan hak asasi manusia.

Peran kelompok agama itu, selain dalam kebijakan LN, juga kebijakan domestik. Bagaimana Bush menyikapi aborsi, perkawinan sejenis, cloning, dan nilai– nilai moral lainnya? Siapa menduga, nilai–nilai agama tidak berperan dalam politik di AS? Sebagian kelompok agama ini, bahkan telah sampai pada kesimpulan, AS tidak selayaknya sebagai "negara sekuler" dan menghendaki AS diubah menjadi negara agama, melalui Partai Republik di sebuah negara bagian AS. Dalam kebijakan LN, kelompok agama ini juga bekerja sama dengan kelompok sayap kanan Yahudi, yang tidak menghendaki jalan damai penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Sudah tentu kelompok agama ini bekerja dengan amat elegan. Memberikan ceramah rohani pada breakfast–meeting di Pentagon, yang diselingi semacam "kultum" (kuliah tujuh menit) yang berisi pencerahan mengenai nilai–nilai keagamaan.

Namun, di sana terselip kata- kata yang bisa menginspirasi kebijakan LN. Dalam pandangan kelompok ini, seolah-olah telah ditanamkan, "Siapa musuh kita? Siapa saja "setan" itu?

Begitu cara menanamkan nilai-nilai politik, yang semuanya dibungkus nilai agama. Begitu dekatnya hubungan kelompok agama ini dengan Bush, di buku itu dikesankan, seolah Yesus menjadi seorang "Republikan".

Semua itu kita kemukakan, ekstremisme tidak hanya monopoli suatu agama. Ekstremisme ada pada semua agama, sehingga kita tak perlu heran kalau di Irlandia ada konflik agama. Demikian juga di Kashmir atau di Irak kini.

Kelompok ekstrem ini tidak saja menghambat upaya kerukunan antara umat beragama, tetapi juga telah merepotkan pimpinan institusi agama itu sendiri, bahkan membahayakan perdamaian dunia.

Apa yang harus kita lakukan ?

Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia sering dikatakan "bukan negara sekuler dan bukan negara agama". Apa bedanya dengan negara sekuler atau negara agama?

Para pendiri AS, Thomas Jefferson, James Madison, dan lainnya, sebenarnya (kalau mau) bisa saja menyatakan AS sebagai negara agama.

Namun, dengan penuh kesadaran, mereka tidak menghendaki AS sebagai negara agama dan kemudian memisahkan institusi agama dengan negara. Tujuannya, membuka "pluralisme" agama dan toleransi kehidupan beragama.

Meski demikian, tidak berarti nilai-nilai agama tidak berperan dalam kehidupan politik di AS. Abraham Lincoln, yang anak seorang pendeta itu, selalu merujuk ke kitab suci dalam menyampaikan pesan–pesan kepada rakyat AS. Nilai–nilai agama tetap menjadi landasan moral kehidupan politik di AS, melalui pembentukan pribadi atau character building warganya.

Mohammad Natsir, Perdana Menteri dan Ketua Umum DPP Masyumi, saat berkunjung ke Pakistan tahun 1950-an menyatakan, Indonesia berbeda dengan Pakistan. Meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, Indonesia telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Ini berarti, tidak ada agama yang memperoleh previlege dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, jika negara memiliki Departemen Agama, melayani penyelenggaraan haji, menjamin hadirnya ekonomi syariah, semua itu adalah dalam rangka melayani rakyatnya agar dapat hidup sesuai ajaran agamanya secara benar. Melayani dan menjaga kemurnian agama inilah yang membedakan Indonesia dari negara sekuler, yang menyerahkan kehidupan beragama sepenuhnya kepada pemeluk agama, yang ternyata dapat memberi peluang tumbuhnya ekstremisme, sebagaimana kita lihat kini di AS. Lahirnya ekstremisme, misalnya, tidak selayaknya terjadi di negara Pancasila. Karena itu, bagi Indonesia, Pancasila sudah final.

Seandainya kita mampu menciptakan kehidupan beragama seperti itu, yang setiap pemeluk agama dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan benar, nilai- nilai agama niscaya akan mampu menjadi dasar moralitas bangsa pluralisme dalam kehidupan beragama, akan menjadi dasar kerukunan antarumat beragama, dan tidak menjadikan agama sebagai sumber konflik. Kuncinya, diperlukan "tenggang rasa" antara sesama umat beragama.

Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus

Neoliberal pun Koruptif

Herry-Priyono: Refleksi Budaya Sibuk Menafsir Penanda

Jakarta, Kompas, Sabtu 11 November 2006 - Seperti yang terjadi dalam setiap proyek, neoliberalisme juga penuh dengan korupsi, kontradiksi, penggelapan, dan penyimpangan dari rancangannya sendiri. Neoliberalisme mencanangkan kesamaan, tetapi segera membatalkannya dengan ketidaksamaan daya beli.

"Proyek neoliberalisme menetapkan semua orang sebagai ’pengusaha swasta’ yang bila jatuh harus menanggung risikonya sendiri, akan tetapi langsung mengharuskan kita semua memikul beban ketika para bankir besar dihajar krisis finansial, seperti yang jelas-jelas terjadi dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia," kata B Herry-Priyono saat menyampaikan Pidato Kebudayaan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (10/11) malam.

Herry adalah Ketua Program Studi Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Di samping sebagai dosen, doktor dalam bidang ekonomi politik dan sosiologi dari London School of Economics Inggris itu juga sebagai peneliti pada Institut Sosial Jakarta. Ia memusatkan penelitiannya pada filsafat ekonomi, ekonomi politik, teori ilmu-ilmu sosial, globalisasi, dan kebijakan publik.

Dalam pidato berjudul "Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan", Herry mengemukakan, apa yang ditempuh oleh proyek neoliberalisme adalah "menyempitkan atau bahkan meremuk konsep kebebasan dengan menetapkannya sebagai kebebasan bisnis".

Karena proyek normatif neoliberal berisi perentangan aplikasi prinsip pasar ke semua relasi kehidupan, pola itu juga berlaku bila terjadi konflik, misalnya antara kebebasan modal dan kebebasan berkumpul, kebebasan pers, kebebasan ekspresi, kebebasan beragama, dan seterusnya.

"Tidak ada liberalisme yang tidak mengemban kebebasan. Akan tetapi, dalam proyek neoliberalisme, kesamaan yang diemban kebebasan itu terperangkap dalam prasyaratnya sendiri, yaitu daya beli," paparnya.

Neoliberalisme, kata Herry, memakai cara yang menakutkan dalam menetapkan secara publik bagaimana kebebasan tindakan atau pilihan yang satu lebih penting dibanding kebebasan tindakan atau pilihan yang lain. "Itulah yang menggetarkan dari proyek neoliberalisme, bukan bahwa ia mengemban kebebasan atau tidak," ujarnya.

Refleksi kebudayaan

Pada bagian akhir pidato yang berulang kali ia sebut sebagai "refleksi kecil", Herry mengaku tak fasih dengan masalah kebudayaan. "Tapi saya dapat menyaksikan gejala menggelisahkan yang dibawa neoliberalisme bagi cuaca kultural kita," katanya.

Ia mengungkapkan, ada suatu masa, dan itu belum lama, ketika refleksi budaya sibuk menafsir penanda (signifier). Kekusutan yang muncul dari proyek neoliberalisme, kata Herry, tentu juga berkat kinerja penanda.

"Dalam pusaran proyek neoliberalisme, refleksi kebudayaan yang bersikeras tetap sibuk dengan urusan otonomi penanda mungkin akan melahirkan fatamorgana," tuturnya. (LAM)