Monday, July 09, 2007

Farmasi: Mandiri dengan Produk Alami

Produk-produk herbal bersinergi dengan litbang modern bisa menciptakan kemandirian di industri farmasi

OLEH: HIZBULLAH ARIEF

Ini adalah kisah penemuan obat berbahan alami Indonesia. Adalah Suprapto Ma’at, seorang peneliti asal Jawa Timur yang tertarik mengembangkan meniran (Phyllantus Niruri) setelah membaca sebuah jurnal kesehatan yang menyebutkan bahwa di Madras, India, tanaman ini dapat digunakan untuk mengobati penyakit Hepatitis B. Meniran adalah jenis tanaman semak yang bisa Anda temukan di halaman rumah Anda. Tanaman ini mudah tumbuh di daerah tropis. Daunnya bersirip genap, di bawahnya terdapat bulatan kecil putih seperti bulir padi atau menir dalam bahasa Jawa.

Setelah meneliti tanaman obat ini selama 5 tahun (dari 1992-1997), Suprapto menemukan bahwa meniran ternyata tidak hanya berkhasiat untuk mengobati Hepatitis B namun juga bisa digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. PT. Dexa Medica—berdasarkan hasil penelitian Suprapto—tertarik untuk memproduksi tanaman obat ini dengan merek dagang Stimuno. Menurut Raymond R. Tjandrawinata, Director of Scientific Affairs and Corporate Development, Dexa Medica, Stimuno kali pertama diluncurkan pada 1998 dalam bentuk jamu. Pada 2000 dilakukan uji klinis yang mencakup 20 protokol. Uji klinis tersebut baru selesai pada 2004. Pada Maret 2005, Stimuno mendapatkan sertifikat fitofarmaka, yaitu obat berbahan alami Indonesia yang telah dibuktikan aman dan berkhasiat bagi manusia. Kini Stimuno telah diekspor ke berbagai negara di wilayah ASEAN, termasuk ke Jepang, Tunisia, Maroko, dan Afrika Selatan. Seratus persen bahan bakunya berasal dari Indonesia.

Stimuno adalah salah satu cerita keberhasilan industri farmasi di Tanah Air mengembangkan obat herbal berbahan baku asli Indonesia. Sudah jamak diketahui bahwa hingga kini, industri farmasi masih mendatangkan 90% bahan baku obatnya dari luar. Ketergantungan bahan baku ini karena industri farmasi dasar Indonesia, jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain seperti India, Korea, Taiwan dan China. Bahan baku obat impor ini biasanya dipakai untuk memroduksi obat-obatan hasil formulasi dari obat-obatan yang telah habis masa patennya (off paten).

Dana minim

Memroduksi obat-obatan formulasi memang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan meneliti atau menciptakan obat-obat baru. Apalagi menurut Rifatul Widjhati, Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT), industri farmasi di Tanah Air memang masih sangat lemah dalam bidang penelitian. “Masih banyak perusahaan farmasi yang sifatnya hanya trading (melakukan perdagangan) dan manufacturing (memanufaktur) obat,” ujarnya. Bagi perusahaan farmasi, penelitian dan penemuan obat-obat baru adalah cost center. Biaya untuk riset obat baru bisa mencapai $500-700 juta. Dan dibutuhkan waktu yang lama, 10-12 tahun, untuk menemukan obat baru. “Sehingga harga obat menjadi sangat mahal. “(Penemuan obat baru) menjadi wilayah dari negara-negara maju,” tuturnya.

Menurut data Gabungan Perusahaan Farmasi, industri farmasi di Tanah Air baru menganggarkan 1-2% dari penjualan mereka untuk penelitian. Sehingga industri farmasi lokal, menurut KAI Selomulya, Ketua Badan Litbang GP Farmasi, tidak dapat bersaing dengan negara maju dalam penciptaan produk baru. Masalah lain, pasar farmasi Indonesia masih relatif kecil dibandingkan pasar dunia. Menurut Selomulya, pangsa pasar dunia tahun lalu telah mencapai lebih dari $600 miliar, sedangkan pangsa pasar Indonesia baru $2,5 miliar. Jadi tidak heran bila industri farmasi lokal lebih melayani pasar dunia dengan memproduksi obat-obat formulasi atau bekerja sama dengan perusahaan luar untuk memroduksi obat-obatan lisensi. “Belanja obat perkapita penduduk Indonesia juga sangat kecil, sekitar $11. Hal ini karena biaya kesehatan sebagian besar (85%) ditanggung sendiri, baru sisanya (15%) ditutup oleh perusahaan asuransi,” tutur Selomulya.

Walau tak bisa bersaing dalam penciptaan produk baru, menurut Selomulya, industri farmasi lokal masih bisa bersaing dalam pasar OTC (over the counter, obat yang dijual bebas). Dan obat herbal bisa menjadi solusi untuk mengatasi minimnya biaya penelitian dan besarnya ketergantungan akan bahan baku dari luar negeri. Apalagi potensi pasar obat herbal di Tanah Air juga lebih bersinar. Menurut penelitian Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT, pertumbuhan pasar obat herbal di Tanah Air mencapai 15-20% per tahun. Lebih unggul dari obat modern yang hanya 10-12% per tahun.

Saat ini obat-obatan herbal baru menyumbang 10% dari jumlah obat-obatan yang ada di pasar, 90% sisanya adalah obat modern. Pada 2010, Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT memperkirakan komposisi obat-obatan herbal di pasar akan meningkat hingga 17%. Untuk membahas potensi tanaman obat ini, pemerintah telah membentuk Kelompok Kerja Tanaman Obat Indonesia yang melakukan pertemuan dua kali dalam setahun yang beranggotakan para peneliti dan praktisi industri farmasi.

Kecolongan

Namun tetap saja Indonesia sudah banyak kecolongan. Bulan lalu, BPPT kedatangan tamu delegasi dari Korea. Kunjungan yang difasilitasi oleh kementrian riset dan teknologi kedua negara tersebut membahas salah satunya mengenai obat herbal. Anggota rombongan, Profesor Hwang dari Hounsei University, Korea, menunjukkan produk-produk herbal dalam bentuk jadi yang diproduksi dari bahan baku asli Indonesia yaitu temulawak. Mulai dari odol, sampo, obat perawatan wajah, hingga obat kanker. Menurut Hwang, seperti dikutip oleh Rifatul, “Temulawak jauh lebih berkhasiat dari ginseng Korea.” Negara-negara lain seperti Jepang juga telah mengembangkan produk herbal berbahan baku asli Indonesia, seperti produk herbal berbahan baku Buah Merah dari Papua.

Menyadari ketertinggalan ini, kementrian riset dan teknologi menganggarkan Rp70-100 miliar per tahun untuk menggairahkan penelitian. Namun lagi-lagi dana itu harus dibagi dalam enam fokus penelitian: teknologi informasi dan telekomunikasi, pangan, energi, transportasi, pertahanan dan keamanan (hankam) serta kesehatan dan obat-obatan. Untungnya industri farmasi yang telah melihat potensi produk herbal ini tak tinggal diam. Menurut Sukma Nuswantara, Director Biotechnology & Research Division, Sanbe Farma, pihaknya tengah membangun pusat riset dan pengembangan enam lantai di daerah Cimahi yang mengakomodir riset bioteknologi, obat-obatan kimia dan obat herbal. Sementara Dexa telah memiliki pusat riset di daerah Cikarang. Baik Sukma maupun Raymond menolak menyebutkan jumlah investasinya. Namun dipastikan mencapai ratusan miliar rupiah.

Proses pengembangan produk herbal baru berbahan alami Indonesia biasanya melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah berbentuk produk jamu—seperti Stimuno ketika pertama kali dipasarkan. Tahap kedua berbentuk produk herbal terstandar yang telah diuji dan dinyatakan aman pada hewan, dan tahap ketiga adalah fitofarmaka yang telah diuji klinis dan dinyatakan aman pada manusia. Menurut Rifatul, biaya uji klinis untuk fitofarmaka bisa mencapai Rp2-4 miliar. Biaya ini jauh lebih murah bila dibandingkan dengan biaya riset obat baru yang mencapai $500-700 juta.

Mandiri

Namun biaya uji klinis tersebut tidak berbanding lurus dengan jumlah produk herbal baru di pasar. Produk level ketiga, yaitu fitofarmaka yang sudah beredar hanya 5 produk. Yaitu Stimuno dari Dexa Medica, No Diare dari Kimia Farma, Rheumanir dari Nyonya Meneer, Tensi Gard dan X-Gra dari Phapros. Sementara jumlah produk level kedua, yaitu produk herbal terstandar, baru mencapai 17 produk. Di bawahnya ada ribuan jamu yang berpotensi naik kelas menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka.

Potensinya luar biasa besar. Menurut Rifatul, Indonesia memiliki ragam biologi (bio diversity) terbesar kedua setelah Brasil. “Terdapat 30.000 spesies tanaman, 10.000 diantaranya adalah tanaman obat,” ujarnya. Namun berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Tim CoData Indonesia pada 2000, baru sekitar 260 tanaman obat Indonesia mulai dari Adas, Andong, Angsana, Mahkota Dewa, Permot, Kenop hingga Wijaya Kusuma yang sudah masuk dalam industri komersial.

Kuncinya kembali ke penelitian. Pengalaman Afrika Selatan layak dicontoh. Negara tersebut bahkan berinisiatif mengumpulkan para healer (seperti tabib di Indonesia) yang jumlahnya mencapai 200.000 orang, hanya untuk mencatat informasi-informasi empiris dari pengobatan warisan para lelulur yang digunakan oleh mereka. Bidang ilmu ini disebut sebagai etnofarmasi. “Di Indonesia, siapa yang mau mengejar data-data ini? Jangan sampai potensi yang luar biasa besar ini hilang,” ujar Rifatul.

Dan apabila potensi produk herbal Indonesia disinergikan dengan kemajuan di bidang bioteknologi dan nanoteknologi, Indonesia mungkin tidak butuh waktu berpuluh tahun mengejar ketertinggalannya di industri farmasi. “Karena semua obat berasal dari alam. Bahkan unsur obat kimiawi juga berasal dari alam, mengapa tidak mengoptimalkan potensi alam kita,” tutur Rifatul. Dan warisan dari para leluhur bisa jadi awal yang sempurna.

Wednesday, May 30, 2007

Berbagi

Ketika pikiranmu melampaui prasangka
Ketika hatimu melampaui rasa iri
Ketika jiwamu melampaui nafsu
Atau nuranimu melampaui rasa benci
Saat itu kau temukan dialog sejati
Rasa...ingin berbagi...

Wednesday, April 25, 2007

"Kartono" Kecilku

Monday, April 23, 2007

Bank-Bank Asing Kembali Bergerilya

Dengan prospek ekonomi yang membaik, bank-bank asing kian menyasar undersub segment—mereka yang tak memiliki akses ke perbankan.

OLEH HIZBULLAH ARIEF

Gedung bulu tangkis di kawasan Istora Senayan, akhir Maret lalu, bergemuruh. Yel-yel supporter membahana di udara, bagaikan di tengah pertandingan besar antara Indonesia melawan China—musuh bebuyutannya. Saat itu, hadir pula Rudy Hartono, sang legenda bulu tangkis dunia, juara delapan kali All England. Namun, coba tebak siapa yang duduk di samping Rudy? Pelatih bulu tangkiskah? Ternyata bukan. Ia adalah Stephen K. Green, Group Chairman HSBC Holding Plc, bos besar bank asal China tersebut. Bankir disamping Rudy? Tentu ini bukan pertandingan bulu tangkis. HSBC Indonesia tengah meluncurkan layanan keuangan personalnya berjuluk Pinjaman HSBC.

Diawali oleh ABN Amro Bank Indonesia tujuh tahun yang lalu, dalam beberapa tahun terakhir, bank-bank asing semakin giat meluncurkan layanan ini. Layanan yang dibungkus dengan istilah kredit tanpa agunan (KTA). Ada Standard Chartered Bank dan Citibank—yang hadir dengan Citifinancial 3 tahun lalu—yang turut meramaikan pasar. Pasar yang menurut istilah mereka disebut sebagai undersub segment. Ciri-ciri penghuni segmen ini adalah orang yang memiliki kemampuan meminjam tapi tidak memiliki dokumentasi yang dibutuhkan oleh perbankan—dengan kata lain, golongan ini tidak memiliki catatan di perbankan. “Orang-orang ini potensial tapi tak pernah bisa meminjam,” ujar Armand Furhad, Vice President Citifinancial Business Director, Citibank N.A.

Secara spesifik, HSBC mengelompokkan mereka sebagai orang yang memiliki pendapatan minimal Rp1,5 juta per bulan. ABN Amro mensyaratkan gaji minimal Rp3 juta per bulan atau menyasar segmen yang lebih tinggi. Citibank mengidentifikasi mereka dari prilaku memimjam. Segmen ini sering meminjam ke channel tradisional seperti penggadaian atau bahkan ke lintah darat. Mereka membutuhkan dana dalam waktu singkat untuk kebutuhan konsumsi maupun modal usaha. Menurut Armand, bagi mereka, jumlah cicilan per bulan jauh lebih penting daripada total pinjaman. “Kalau jumlah cicilan masuk dalam hitungan mereka, berapapun bunganya, mereka akan ambil,” ujarnya.

Singkat kata, menurut Riko Abdurrahman, Head of Consumer Finance, ABN Amro Bank Indonesia, ada 16 juta orang yang masuk dalam segmen ini. Armand dari Citibank juga meyebutkan angka yang sama. Mereka ini adalah karyawan dan wirausahawan yang tersebar di seluruh kota besar di Indonesia. Citibank berusaha mendekati mereka dengan membuat pusat kredit (loan center) di komunitas. Dari data terakhir, Citibank telah memiliki 34 loan center—18 diantaranya di Jabotabek dengan separuh sisanya di Bandung, Surabaya, Semarang dan Denpasar. HSBC menargetkan memiliki 90 cabang tahun ini dan 150 cabang tahun depan.

Baru 10% tergarap

Jaringan ini bagaikan “benteng” yang akan bergerilya merebut nasabah di setiap wilayah dalam radius 2,5 km dari tempat cabang didirikan. Berkembang bersama nasabah menjadi moto dari Citifinancial, layanan keuangan personal Citibank. Ini berarti mereka harus menyelami kebutuhan nasabah sekaligus membangun database mereka. Menurut Armand saat ini pihaknya “sedang belajar” untuk memberikan pinjaman secara tepat. Apabila berhasil, pembelajaran tersebut akan membawa Citifinancial melayani segmen yang lebih ke bawah dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah lagi.

Tak menampik kemungkinan, suatu saat Citifinancial akan bersaing dengan BPR dan layanan peminjaman lain seperti Danamon Simpan Pinjam (DSP). Namun hal itu dipastikan butuh waktu yang lama. Biaya pembukaan cabang menurut Armand dan Riko membutuhkan biaya yang sangat mahal. Bahkan ABN Amro yang telah terjun ke pasar ini selama lebih dari setengah dasawarsa pun masih mengandalkan sistem penjualan langsung. Menurut Riko, ABN Amro saat ini memiliki 1000 tenaga pemasaran kredit tanpa agunan.

Sebagai yang tertua di pasar, saat ini menurut Riko, ABN menguasai 20% pangsa pasar kredit tanpa agunan dengan 200.000 nasabah. Dari data tersebut, hitung punya hitung, penetrasi pasar kredit tanpa agunan, baru mencapai 1 juta nasabah. Masih ada 15 juta nasabah baru yang siap digarap. Apalagi dalam kenyataannya produk ini tidak hanya dimanfaatkan oleh mereka yang masuk dalam katagori undersub segment. Golongan menengah pun memanfaatkan KTA untuk renovasi rumah, biaya perkawinan atau untuk biaya sekolah anak. “Kalau sudah buka cabang kita tidak bisa pilih-pilih,” ujar Armand.

Dengan kata lain, mereka juga bisa masuk ke pasar kartu kredit (KK)—segmen yang sudah lama digarap oleh bank-bank asing ini. Apakah bisnis KTA ini menjadi kompensasi penurunan bisnis KK? Baik Riko maupun Armand menolak pendapat tersebut. “KTA dan KK berbeda. Kalau KTA lebih berdasarkan kebutuhan (need base), KK lebih ke gaya hidup,” tutur Riko. Menurut Armand, melalui Citifinancial, Citibank berupaya menggarap pasar yang belum tersentuh dan menargetkan pertumbuhan yang tinggi baik untuk KK maupun KTA.

Bukan Muhammad Yunus

Kini, persaingan tampak semakin sengit. Bank-bank lokal juga menawarkan layanan yang sama. Bank Mandiri misalnya, menawarkan kredit bebas agunan dengan plafon lima kali lipat dari gaji atau 2,5 kali dari limit kartu kredit. Lippobank juga sudah menawarkan layanan kredit tanpa agunan ini ke nasabahnya. Strategi dijalankan. HSBC menggandeng komunitas bulu tangkis dan mengucurkan dana hibah sebesar Rp2 miliar untuk pengembangan olah raga ini. Nantinya, di setiap turnamen yang digelar atau di setiap lapangan bulu tangkis yang dibangun, akan muncul logo Pinjaman HSBC. Dana hibah tersebut sekaligus alih-alih bisa menjadi biaya promosi. Citifinancial dalam waktu dekat akan menggandeng lembaga nasional untuk mempromosikan produknya. Armand menolak untuk menyebutkan nama lembaga itu pada BusinessWeek Edisi Indonesia.

Menurut survey perbankan yang diadakan oleh Bank Indonesia, permintaan kredit tahun ini akan terus meningkat. Pemberian kredit baru diperkirakan naik rata-rata 22% tahun ini. Sementara suku bunga konsumsi dalam rupiah terus turun dari rata-rata 17,17% pada triwulan IV tahun lalu menjadi rata-rata 16,42% pada triwulan I tahun ini. Suku bunga kredit modal kerja pada periode yang sama juga turun dari 15,67% menjadi 15,02%. Dengan tren positif ini, plus ramalan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6-7%, pasar-pasar baru akan tumbuh. Mereka yang jeli melihat peluang dan menerapkan strategi yang tepat di layanan keuangan pribadi akan memimpin—tak terkecuali di layanan KTA. Dan yang lebih penting lagi bank-bank asing ini sudah behitung dengan risiko. “Ini bukan kedit mikro ala Muhammad Yunus,” ujar Ravi Sreedharan, Head of Personal Financial Services HSBC Indonesia.

Tuesday, April 17, 2007

Tanjakan

Seorang rekan di komunitas pekerja bersepeda, B2W Indonesia, mengirim email pengalaman pertamanya yang membuatku terkesan.

Kira-kira bunyinya begini: "Aku sangat suka tanjakan. Bukan hanya karena tanjakan itu sendiri, tapi karena setelah tanjakan, selalu ada turunan."

Sungguh, bagiku, dibalik kalimat itu terkandung makna yang dalam. Setelah tanjakan selalu ada turunan. Allah berfirman: "Sesungguhnya setelah kesulitan selalu ada kemudahan."

Nikmatilah tanjakan dengan tabah dan tawakkal. Jangan lupa berikhtiar untuk mencapai puncaknya. Setelah itu nikmatilah turunan.

Dengan sepeda, angin terasa berhembus semilir menyejukkan jiwa. Kaki sejenak bisa beristirahat untuk bersiap menghadapi kayuhan dan tanjakan berikutnya. "That's what really life is all about isn't it?"

NB:

Untuk teman-teman Rodex (Rombongan Depok), Robeks (Rombongan Bekasi) dan semua rekan-rekan B2W Indonesia.

Wednesday, April 11, 2007

Sepeda Bagiku

Sepeda, bagiku adalah kemandirian
Adalah perjuangan hidup
Adalah determinasi
Sepeda adalah membumi

Monday, April 02, 2007

Depok, March 30, 2007, 05.30 a.m