Tuesday, December 05, 2006

Outlook Ekonomi 2007

Awal Solusi Ekonomi?

Pemerintah Indonesia diharap tidak merusak momentum pemulihan ekonomi, untuk yang kedua kali.

Oleh: Hizbullah Arief

“Ekonom adalah seseorang yang mampu meramalkan pertumbuhan ekonomi dan menjelaskannya kalau kemudian prediksinya salah,” ujar M. Chatib Basri, Staff Khusus Menteri Keuangan pada 22 November lalu. Pernyataan Chatib yang berbicara dalam sebuah seminar ekonomi di Jakarta itu langsung disambut tawa oleh peserta yang hadir.

Pertumbuhan ekonomi memang sempat anjlok dari angka 5,6% pada 2005 ke 4,7% pada kuartal pertama 2006 akibat kenaikan harga BBM. Menurut Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, saat itu pemerintah telah merusak momentum. “Konsolidasi tiga tahun pada pemerintahan Megawati jebol pada setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla,” ujarnya.

Pada kuartal kedua tahun ini pertumbuhan ekonomi mulai naik lagi ke angka 5,2% dan terus naik ke level 5,5% pada kuartal ketiga. Pantaslah kalau sejumlah ekonom, termasuk Faisal, melihat momentum ini dengan rasa optimisme yang tinggi. Masalahnya, sikap seoptimis dan sepesimis apapun seorang ekonom, sebagaimana dinyatakan oleh Chatib pada awal tulisan, prediksi mereka selalu memiliki kemungkinan salah.

Bagi mereka yang optimis mereka didukung oleh tren ekonomi makro dan mikro yang terus membaik. Salah satu ukurannya adalah inflasi. Setelah meroket 17,89% pada Oktober tahun lalu, laju inflasi year on year tahun ini mencapai 6,29%—titik terendah paska kenaikan harga BBM. Suku bunga Bank Indonesia 1 bulan juga terus mengalami penurunan setelah sempat mencapai level 12,25% pada November tahun lalu menjadi 10,25% pada November tahun ini. “Pengaruh inflasi (akibat kenaikan harga BBM) sudah hilang,” ujar Chatib. Pemerintah memprediksi angka pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun akan mencapai 6%.

Isu fundamental

Anda turut optimis? Sebaiknya jangan dulu. Inflasi dan kenaikan suku bunga—yang menjadi instrumen Bank Indonesia untuk mengontrol inflasi—ternyata masih meninggalkan lubang besar yaitu membengkaknya angka kemiskinan dan jumlah pengangguran.

Bila inflasi memicu kemiskinan, kenaikan suku bunga telah merusak pemulihan sektor riil—terutama sektor manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja. Kenaikan suku bunga juga telah menurunkan kemampuan perusahaan untuk meminjam dan kemampuan bank untuk mengucurkan kredit. Suku bunga kredit dalam rupiah hingga saat ini masih berada pada level rata-rata 13-21%. Akibatnya konsumen pun menahan diri untuk melakukan pembelian di sektor properti dan otomotif.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret menunjukkan, jumlah penduduk miskin (akibat kenaikan harga BBM) tahun ini melonjak menjadi 39.05 juta jiwa atau 17,75% jumlah penduduk Indonesia. Bandingkan dengan 35,10 juta jiwa penduduk miskin atau 15,97% jumlah penduduk Indonesia pada Februari tahun lalu. Bahkan data dari Bank Dunia menyebutkan, mereka yang berada di bawah garis kemiskinan sesuai dengan standar international—yaitu mereka yang memiliki pendapatan $2 (Rp.18.500) per hari—tahun ini jumlahnya mencapai separuh (50%) dari jumlah penduduk Indonesia—meningkat dari 45% angka tahun lalu.

Menurut data Bank Dunia, angka pengangguran tahun ini meningkat menjadi 10,6% dari 10,3 % jumlah angkatan kerja pada 2005. Data BPS juga menunjukkan hal yang sama. Pada Februari tahun ini angka pengangguran naik menjadi 11,1 juta dari 10,9 juta pada periode yang sama tahun lalu.

Bukan ekonom kalau tidak bisa menjelaskan permasalahan. Menurut Chatib Basri, rakyat Indonesia terlalu miskin untuk menjadi penganggur, too poor to be unemployed. Hal ini karena—berbeda dengan di AS—Indonesia tidak memiliki sistem jaminan sosial. “Yang menganggur adalah orang-orang kaya dan komposisi penganggur didominasi oleh mereka yang berpendidikan sehingga memiliki ekspektasi yang lebih tinggi,” ujarnya.

Menurut Chatib, dari data yang sama, jumlah under employment—mereka yang bekerja di bawah jam kerja standar—meningkat dari 29,6 juta pada Februari 2005 menjadi 29,9 juta pada Februari tahun ini. Dan partisipasi dari mereka yang di luar angkatan kerja (non-labor force) untuk terjun ke lapangan kerja meningkat dari 50 juta jiwa pada Februari tahun lalu menjadi 53 juta pada Februari tahun ini. Lapangan kerja di sektor informal juga terus mengalami kenaikan.

Solusi ekonomi

Adakah solusi? Ferry Latuhihin, ekonom dari Bank Internasional Indonesia menyatakan, untuk bisa menyerap angkatan kerja baru, pertumbuhan ekonomi 2007 harus di atas 6%. Menurut perhitungan International Labor Organization (ILO), setiap 1% pertumbuhan ekonomi, jumlah tenaga kerja baru yang diserap hanya mencapai 300.000 orang. Ini berarti akan berat peluang pemerintah untuk mengurangi secara signifikan jumlah pengangguran, walaupun dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang paling bullish sekalipun.

Ferry memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan bisa mencapai 7-8%, jauh di atas proyeksi pemerintah, dengan syarat, proyek infrastruktur berjalan. Syarat ini menjadi ganjalan tersendiri. Hingga saat ini belum satu pun proyek infrastruktur yang ditandatangani oleh pemerintah walau pemerintah telah mengeluarkan paket Februari 2006. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menawarkan 10 proyek model meliputi proyek pembangkit tenaga listrik, jalan tol, terminal, pelabuhan, air minum dan proyek telekomunikasi pada investor.

Menurut Faisal sumbangan investasi pada GDP akan naik dari 4,1% tahun ini menjadi 10% pada 2007 apabila pemerintah dan DPR bisa menyelesaikan PR-PR besar mereka yaitu RUU Investasi, RUU Pajak dan RUU Perburuhan.

M.S. Hidayat, Ketua Umum Kadin, yang terlibat dalam pembahasan ketiga RUU tersebut menyatakan, pemerintah dan DPR berupaya menggolkan ketiga RUU tersebut paling lambat akhir tahun ini. Pemerintah menurut Hidayat juga telah berjanji memberikan insentif kebijakan fiskal untuk proyek-proyek infrastruktur. Untuk proyek jalan tol misalnya, pemerintah akan menyediakan dana untuk pembebasan tanah. Sementara untuk proyek energi, pemerintah berupaya memberikan keringanan pajak. Paket insentif fiskal 14 November, yang memberikan penurunan pajak hingga kurang lebih 30%, menurut Faisal juga bisa menjadi awal dari revitalisasi industri.

Berharap pada Asia

Walau investasi diperkirakan naik, sumbangan eksport barang dan jasa pada PDB menurut survey BPS dan BI diperkirakan akan menurun tipis dari 9,8% tahun ini menjadi 9,5% tahun depan. Menurut Menteri Perdagangan, Mari Pangestu, Indonesia masih mengandalkan tiga pasar utama untuk eksport yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Singapura. Dari ketiga pasar utama tersebut, AS akan menjadi negara yang menyumbang penurunan terbesar. Ian Morris, Kepala Ekonom HSBC AS memperkirakan, pertumbuhan konsumsi AS akan menurun dari 3,2% menjadi 2,1% pada 2007. Menurut ekonom senior HSBC Asia, Robert Wandesforde, bila ekspor Asia ke AS menurun, ekspor Indonesia ke AS diperkirakan juga akan turun. Wandesforde bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,8% pada tahun depan. Proyeksi paling rendah dibanding kalangan ekonom di Tanah Air.

Menanggapi prediksi yang suram ini, Ferry menyatakan, Asia saat ini berbeda dengan Asia 10-25 tahun yang lalu. “Asia sekarang sudah kaya dan punya modal untuk belanja sendiri. Asia bisa mengandalkan permintaan domestik,” tuturnya. Menurut Ferry, ekspor Indonesia ke Cina dan Jepang juga tumbuh dengan pesat.

Dari data yang diperoleh BusinessWeek Indonesia, dari Januari hingga September 2006 nilai total ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai $475,5 juta--naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yang $390 juta. Sementara itu nilai total ekspor non-migas ke Jepang pada periode yang sama melonjak signifikan dari $1,8 miliar pada 2005 menjadi $2,3 miliar tahun ini. Indonesia juga bisa berharap pada macan-macan Asia yang lain yaitu India dan Vietnam. India bahkan sudah menanamkan modalnya di Indonesia di bidang manufaktur sepeda motor.

Di dalam negeri keputusan pemerintah untuk meningkatkan gaji pegawai negeri sipil dan upah minimum regional (UMR) tahun depan diperkirakan akan membantu mendorong konsumsi. Konsumsi (pemerintah dan rumah tangga) selama 5 tahun terakhir terus menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Walau sumbangan konsumsi pemerintah pada PDB diperkirakan turun dari 16% tahun ini menjadi 12,1% pada 2007, sumbangan dari konsumsi rumah tangga diproyeksikan naik dari 3,5% tahun ini menjadi 4,5% tahun depan. Kenaikan gaji pegawai negeri juga diharapkan bisa menjadi solusi memperbaiki bobroknya birokrasi akibat praktek korupsi.

Dengan segala insentif, reformasi hukum dan birokrasi tersebut menurut Faisal, pertumbuhan PDB tahun depan minimal mencapai 6,1% dengan skenario yang optimistis mencapai 6,5%. Apabila hal itu tercapai, 2007 bisa menjadi awal solusi ekonomi. Asal, pemerintah tidak terperosok pada lubang yang sama untuk yang kedua kali.

Tabel Proyeksi Pertumbuhan GDP (%)

Lembaga / 2006 / 2007
Pemerintah / 5,8 / 6,3
Bank Indonesia / 5,5 / 6,1
Bank Dunia / 5,5 / 6,2
ADB / 5,4 / 6,0
The Economist / 4,9 / 5,5
IMF / 5,2 / 6,0
Citigroup / 5,4 / 6,0

Konsensus / 5,2 / 5,6