Tuesday, March 20, 2007

Saatnya Menebar Asuransi Mikro

Asuransi mikro bisa menjadi embrio jaminan sosial nasional. Pemerintah mau tidak mau harus turun tangan.

OLEH: HIZBULLAH ARIEF

Semua orang tahu, masa pemerintahan SBY-JK penuh dengan bencana. Tsunami. Gempa bumi. Tanah longsor. Banjir. Wabah virus H5N1. Malaria. DBD. Kelaparan. Lumpur Lapindo, hingga kecelakaan di darat, laut dan udara. Bencana-bencana itu secara total telah menelan korban ratusan ribu jiwa. Belum lagi “bencana struktural” akibat kenaikan harga BBM. Semuanya menciptakan kemiskinan dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.

Per Maret 2006, jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 19,1 juta. Melonjak dari perkiraan BPS sebelumnya yang 15,5 juta. Data ini adalah data yang digunakan oleh pemerintah untuk penyaluran subsidi langsung tunai (SLT). Bila diasumsikan setiap rumah tangga memiliki 4 anggota keluarga, maka jumlah penduduk miskin dan tidak mampu (poor dan near poor) akan mencapai 76,4 juta. Data di atas mempertegas keberadaan rakyat miskin dan tidak mampu di tanah air yang jumlahnya mencapai 34% dari jumlah penduduk Indonesia.

Dan pada kenyataannya, golongan rakyat miskin dan kurang mampu adalah mereka yang paling berisiko ketika terjadi bencana. Golongan ini tidak memiliki sistem perlindungan (buffer) seperti tabungan atau investasi. Sehingga ketika bencana datang, mereka akan menggantungkan uluran tangan orang lain atau pemerintah, jika tidak berutang. Mereka sangat jauh dari kemandirian. Padahal sistem untuk menciptakan kemandirian tersedia. Sistem itu adalah asuransi.

Pelajaran inilah yang bisa dipetik dari Begum, seorang wanita miskin di India. Seperti ditulis dalam laporan khusus The Review September 2005 lalu, suami Begum tewas akibat tsunami. Kehilangan sumber pendapatan keluarga tidak menjadikan keluarga Begum terlilit masalah keuangan. Mereka bisa mandiri dan terselamatkan oleh polis asuransi yang preminya hanya EUR3,2 atau sekitar Rp38.000 per tahun. Selamat datang di dunia asuransi mikro. Asuransi dengan premi yang terjangkau untuk kantong rakyat miskin.

Ancaman dan peluang

Di Indonesia, asuransi seperti ini masih jauh panggang dari api. Jangankan asuransi untuk rakyat miskin, jumlah tertanggung di industri asuransi jiwa secara keseluruhan pun masih minim. Menurut laporan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) yang belum diaudit, hingga kuartal ketiga tahun lalu, jumlah tertanggung individu hanya mencapai 5,5 juta jiwa. Turun dari 5,6 juta tertanggung pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu jumlah tertanggung grup naik menjadi 25,8 juta dari 12,6 juta tahun sebelumnya. Alih-alih menggarap pasar rakyat miskin, saat ini perusahaan asuransi lebih cenderung menciptakan produk untuk kalangan menengah ke atas.

Bencana yang menimpa rakyat Indonesia belakangan ini menurut Madjdi Ali, Direktur Utama AJB Bumiputera 1912 awal Februari lalu, seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, bencana membuka peluang melonjaknya permintaan penutupan asuransi—khususnya asuransi kerugian seperti asuransi rumah dan kendaraan. Pada kelas menengah atas, permintaan asuransi jiwa, boleh jadi, juga mengalami peningkatan signifikan. Tapi di sisi lain, bencana ini merupakan pukulan telak bagi industri. “Di kelas menengah ke bawah, bencana justru memperlemah daya beli mereka,” tuturnya. Padahal menurut Madjdi, golongan ini lebih berhak mendapatkan proteksi.

Lalu mengapa tidak menciptakan produk untuk mereka? Padahal hitung punya hitung, jika industri asuransi jiwa misalnya, bisa menggarap pasar rakyat miskin dan kurang mampu yang berjumlah 76,4 juta jiwa tersebut, jumlah tertanggung individu dan atau grup di industri asuransi jiwa akan melonjak hingga 200%. Dengan skema premi yang Rp38.000 per tahun atau sekitar Rp3000 per bulan seperti yang harus dibayar oleh Begum, maka industri asuransi jiwa berpeluang menangguk perolehan premi bisnis baru sebesar Rp2,9 triliun per tahun.

Permasalahan ini sudah dihadapi industri asuransi jiwa di Tanah Air puluhan tahun lamanya. Menurut Herris B. Simandjuntak, Direktur Utama Asuransi Jiwasraya, masalah utama adalah mendesain produk asuransi mikro yang memenuhi skala bisnis. Produk asuransi mikro harus memperhitungkan berapa premi yang harus dibayar, berapa biaya kolektibilitas premi dan biaya administrasi yang lain. “Kalau tidak maka itu akan seperti asuransi sosial,” tuturnya pada BusinessWeek Indonesia.

Yang kedua, karena premi yang ditawarkan sangat terjangkau—perusahaan asuransi jiwa sudah ada yang berani menjual produk dengan premi Rp5000-7500 per tahun—maka harus ada lembaga yang mengkoordinir sehingga menjadi sebuah asuransi kumpulan. Misal satu desa, satu kecamatan, satu kelompok arisan, satu rukun tangga (RT) atau satu partai. “Ini adalah hukum bilangan banyak, law of the large number,” tutur Herris.

Hukum itu juga harus mempertimbangkan kemampuan mayoritas masyarakat miskin untuk membayar premi. Menurut Eddy Berutu, Direktur Eksekutif AAJI, jangankan produk asuransi jiwa berpremi Rp5000 per tahun, produk dengan premi Rp50.000 per tahun pun masih sangat terjangkau bagi rakyat miskin dan kurang mampu. Analoginya sangat sederhana. “Biaya itu tidak lebih besar dari biaya yang mereka keluarkan untuk (membeli) rokok setiap bulan,” tutur Eddy. Harga rokok rata-rata sebesar Rp5000 per bungkus. Apabila perokok menghabiskan satu bungkus per hari, maka biaya yang harus mereka sisihkan mencapai Rp150.000 per bulan. Menurut survey Biro Pusat Statistik, proporsi belanja rokok keluarga miskin pada 2003 meningkat menjadi 13% pada 2003 dari 8% pada 1999. Sementara proporsi belanja makanan pokok justru turun menjadi 19% pada 2003 dari 28% pada 1999.

Pemerintah harus terlibat

Memang, kesadaran masyarakat miskin akan pentingnya asuransi masih sangat minim. Mereka akan baru merasakan manfaatnya ketika tertimpa bencana. Permasalahannya, siapa yang harus berinisiatif untuk mengenalkan produk asuransi mikro dengan premi yang terjangkau ini kepada mereka? Jiwasraya telah memiliki produk Siharta, sementara Bumiputera memiliki ASRI (Asuransi Rakyat Indonesia). Allianz muncul dengan skema asuransi kredit bernama Asuransi Payung Keluarga dengan premi yang disesuaikan dengan jumlah pinjaman masyarakat tidak mampu. Misal untuk pinjaman senilai Rp1 juta, premi yang harus dibayar sebesar Rp5000 dengan manfaat Rp2 juta untuk pinjaman berdurasi 5 bulan. Namun penetrasi produk tersebut di masyarakat masih sangat minim. Madjdi Ali berharap pemerintah serius berinisiatif memikirkan skema perlindungan asuransi bagi masyarakat menengah ke bawah. Jens Reisch, Direktur Utama Alliaz Life sepakat dengan Madjdi bahwa masih dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk menjangkau masyarakat yang sangat miskin.

Dan pada prakteknya, beberapa pemerintah daerah sudah bergerak untuk mengasuransikan warga mereka. Pemerintah Kabupaten Yakuhimo, Papua yang warganya sempat dilanda kelaparan, saat ini telah mengasuransikan kesehatan seluruh warganya. Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatera Selatan telah mengasuransikan jiwa warganya sejak 2002. Semua Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur kecuali Bontang telah bekerja sama dengan Askes memproteksi kesehatan warga mereka.

Bagaimana keterlibatan pemerintah pusat? Program yang saat ini telah berjalan adalah asuransi kesehatan bagi rakyat miskin atau Askeskin. Menurut Orie Andari Sutadji, Direktur Utama PT.Askes, pada 2005 pemerintah menganggarkan dana Rp2,3 triliun untuk asuransi kesehatan 36 juta rakyat miskin. Dengan skema yang dipakai: Rp5000 / jiwa / bulan. Menurut Orie, Askeskin saat ini telah memproteksi 41% dari jumlah penduduk Indonesia. Namun saat jumlah RTM bertambah, skema yang dianggarkan pemerintah tidak berubah, Rp5000 per jiwa per tahun. Padahal manfaat layanan kesehatan yang dinikmati oleh rakyat miskin hampir tak terbatas, dari mulai layanan cuci darah, operasi jantung, penyakit katastropis hingga perawatan sakit jiwa. Menurut Orie, sesuai dengan standar aktuaris, premi ideal yang seharusnya dianggarkan oleh pemerintah adalah Rp12.000 per jiwa per bulan (Rp144.000 per tahun). Jika dibandingkan dengan premi asuransi kesehatan yang ada di industri, premi ini tergolong sangat murah.

Hanya separuh

Namun untuk bisa mencapai hitung-hitungan premi semurah ini perusahaan asuransi kesehatan menurut Orie, harus memiliki jaringan layaknya PT. Askes: kantor perwakilan yang menjangkau seluruh wilayah di Tanah Air, jaringan rumah sakit, puskesmas, termasuk jaringan dengan perusahaan farmasi. Perusahaan asuransi kesehatan juga harus mengelola klaim yang sangat besar. “Biaya kesehatan di tanah air sangat mahal, termasuk harga obat,” tutur Orie. PT. Askes harus membayar klaim untuk layanan kesehatan sebesar Rp300 miliar setiap bulan. Hingga saat ini, belum ada perusahaan asuransi kesehatan yang berani menawarkan skema premi murah dengan manfaat tak terbatas seperti yang sudah dilakukan oleh Askeskin ini.

Untuk mempromosikan embrio asuransi mikro ini, pemerintahan SBY mau tidak mau harus turun tangan, paling tidak untuk perlindungan dasar yaitu asuransi jiwa dan kesehatan. Dengan skema premi asuransi kesehatan ideal Rp144.000 per jiwa per tahun, pemerintah harus menganggarkan dana sebesar Rp11 triliun per tahun, ditambah Rp2,9 triliun untuk asuransi jiwa berdasarkan skema premi Rp38.000 per jiwa per tahun. Jumlah ini ternyata hanya separuh dari anggaran pemerintah pada tahun ini yang akan disalurkan ke departemen dan lembaga untuk penanggulangan kemiskinan sebesar Rp25,41 triliun. Sudah menjadi rahasia umum jika dana disalurkan ke departemen atau lembaga maka peluang terjadinya moral hazards seperti korupsi sangat besar. Dengan menyalurkannya ke industri asuransi, pemerintah lebih mudah melakukan kontrol. Demi transparansi pemerintah juga bisa menenderkan program ini untuk mendapatkan solusi yang terbaik.

Herris mengusulkan pembiayaan dilakukan secara bertahap. Untuk tahun pertama pemerintah mungkin harus membayar penuh, tapi pada tahun-tahun berikutnya pemerintah bisa membayarnya separuhnya. Porsi pemerintah semakin kecil ketika masyarakat semakin sadar berasuransi dan mandiri. “Sekarang ini masyarakat miskin seperti peminta-minta. Dan kalau terjadi bencana mereka tak punya daya tahan,” tutur Herris. Padahal menilik pembahasan di atas, asuransi mikro adalah solusi yang logis dan terjangkau. Apalagi bila pemerintah terlibat. SBY, apakah Anda mendengar?

10 Comments:

At 11:15 AM, Anonymous Anonymous said...

salam kenal mas Arief.

Artikelnya menarik, tapi sebagai orang yang awam dalam hal asusransi, ane sepertinya perlu gambaran lebih jelas, terutama soal si Bagum.

Tentang Pelajaran yang bisa dipetik dari Begum, seorang wanita miskin di India.
Tulisan sampean yang mengacu pada laporan khusus The Review September 2005 lalu, tampak belum memnggambarkan pelajaran yang cukup detil.

Hanya dikatakan : meski suami Begum tewas akibat tsunami, sumber pendapatan keluarga Bagum tidak terlilit masalah keuangan. Mereka bisa mandiri dan terselamatkan oleh polis asuransi yang preminya hanya EUR3,2 atau sekitar Rp38.000 per tahun. Atau hanya Rp 3000 perbulan.

Tidak ada rincian berapa polis asuransi yang didapat istri dan keluarga Bagum. Bagaimana skema pembayaran polis tersebut sehingga dikatakan membuat mereka bisa mandiri dan terselamatkan.

Kemudian di perusahaan mana Bagum ikut asuransi tersebut dan apakah di Indonesia, jasa seperti itu juga tersedia ?

Kalo punya penjelasan tentang hal di atas, mungkin bisa diinformasikan juga ke email saya : a_mhj@plasa.com, atau iqbal-ka@plasa.com

Terima kasih mas Arief,
A.Muhajir

 
At 1:56 PM, Anonymous Anonymous said...

Iya Mas Arief.. punya informasi tidak berapa yang didapat dari asuransi bila premi hanya Rp 3000/bln, kok kedengerannya aneh ya mas ada premi Rp 3000/bln

 
At 5:32 AM, Blogger zuki said...

salam kenal, ketemu alamat blog ini di b2w ... saya belum b2w ... tapi lagi rencana ... :)

http://lamunan-sejenak.blogspot.com
http://www.flickr.com/photos/zuki12

 
At 12:47 PM, Blogger udarapagi said...

Waduh lama nggak buka blog tiba-tiba sudah ada beberapa tanggapan. Terima kasih untuk pak Muhajir dan pak Zuki. Tulisan ini memang di-posting untuk memancing diskusi.

Dari pengalaman di dalam negeri, sudah ada beberapa perusahaan asuransi seperti AJB Bumiputera dan Jiwasraya yang telah mengeluarkan produk asuransi mikro ini. Produk ini merupakan bagian dari produk asuransi kumpulan yang mensyaratkan keanggotaan minimal 10 orang dalam satu polis asuransi.

Preminya Rp5000-Rp7500 per tahun per nasabah (Rp.400-625 per bulan per nasabah). Manfaat yang diterima, apabila si tertanggung meninggal dunia adalah Rp1 juta per nasabahnya. Memang tidak besar, namun menilik dari premi yang harus dibayarkan, manfaat yang didapat cukup signifikan apalagi untuk keluarga miskin.

Sebagai informasi, perhitungan premi mempertimbangkan tingkat mortalitas penduduk Indonesia yang menurut data dari BPS mencapai 5-7,5 per mil. Data mortalitas dari perusahaan asuransi lebih kecil dari ini.

Sekarang menilik pengalaman dari Begum, memang The Review tidak menyebutkan secara langsung berapa manfaat yang diterima, namun dari perhitungan kasar saya, itu bisa mencapai 4-6 kali lipat nilai pertanggungan yang dibayarkan oleh skema yang sudah ada di dalam negeri.

Itu cukup (walau hitungannya bisa jadi relatif) untuk menjadi modal untuk meneruskan kehidupan keluarga yang ditinggalkan dan bisa menjadi solusi jangka pendek untuk mereka...

Terima kasih,

Hizbullah

 
At 12:57 PM, Blogger udarapagi said...

Salam kenal untuk pak Zuki, senang Anda menyempatkan untuk mampir...

Hizbullah

 
At 4:04 PM, Anonymous Anonymous said...

tambah info ajah...

http://www.allianz.co.id/AZLIFE/Indonesian/About+Us/Community+Involvement/Microinsurance+Story.htm#top


-leo-

 
At 1:39 PM, Blogger Bunda Asywaq said...

salam kenal pak...
ngomong- ngomong, blognya bagus....
kebetulan... saya lagi cari bahan bwt skripsi mengenai asuransi mikro, kira- kira bapak bisa tidak bantu saya untuk mengirimkan data atau wacana mengenai asuransi mikro?? makasih pak sebelumnya....

ismi
-love_zafeera@yahoo.com-

 
At 1:40 PM, Blogger Bunda Asywaq said...

salam kenal pak...
ngomong- ngomong, blognya bagus....
kebetulan... saya lagi cari bahan bwt skripsi mengenai asuransi mikro, kira- kira bapak bisa tidak bantu saya untuk mengirimkan data atau wacana mengenai asuransi mikro?? makasih pak sebelumnya....

ismi
-love_zafeera@yahoo.com-

 
At 10:58 AM, Anonymous Anonymous said...

Salam kenal mas Arief

Artikel na informatif buat saya. Padahal ditulis 2007. setelah hampir 3 tahun ini, apa kah sudah ada perkembangan terbaru terkait asuransi mikro (selain yang sudah dilakukan oleh allians dengan payung keluarga dan wahana tata dengan asuransi bencana banjirnya tuk wilayah manggarai)???

saya sedang "penasaran" apakah asuransi mikro untuk isu bencana alam bisa diterapgkan.

karena melihat apa yang sudah pernah dilakukan wahana tata, koq masih kurang "pas" dengan premi satu tahun 50rb dan mendapatkan claim 250rb (apabila indikator banjir mencapai siaga 1 atau 950cm) dari data yang ada kondisi siaga satu memiliki pola kecenderungan hanya ternjadi 5 tahun sekali. dan juga nilai 250rb seperti terasa kurang menurut saya.

dibantu share informasi dan opini mas arif ya terkait mikro insurance

salam

thres

 
At 10:26 PM, Anonymous yosep said...

sy sgt setuju ...sosialisasi porgram dari asurnsi micro ini.baner p..sebnrnya yg lebih membutuhkan jaminan asuransiitu adalah kal menegah bawah...kl mengh atas..ketika ada musibah mereka masih ada dana tab at invstasi ..coba kl rky miksin...beda lg cerita nya.......

 

Post a Comment

<< Home