Saturday, November 11, 2006

Neoliberal pun Koruptif

Herry-Priyono: Refleksi Budaya Sibuk Menafsir Penanda

Jakarta, Kompas, Sabtu 11 November 2006 - Seperti yang terjadi dalam setiap proyek, neoliberalisme juga penuh dengan korupsi, kontradiksi, penggelapan, dan penyimpangan dari rancangannya sendiri. Neoliberalisme mencanangkan kesamaan, tetapi segera membatalkannya dengan ketidaksamaan daya beli.

"Proyek neoliberalisme menetapkan semua orang sebagai ’pengusaha swasta’ yang bila jatuh harus menanggung risikonya sendiri, akan tetapi langsung mengharuskan kita semua memikul beban ketika para bankir besar dihajar krisis finansial, seperti yang jelas-jelas terjadi dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia," kata B Herry-Priyono saat menyampaikan Pidato Kebudayaan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (10/11) malam.

Herry adalah Ketua Program Studi Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Di samping sebagai dosen, doktor dalam bidang ekonomi politik dan sosiologi dari London School of Economics Inggris itu juga sebagai peneliti pada Institut Sosial Jakarta. Ia memusatkan penelitiannya pada filsafat ekonomi, ekonomi politik, teori ilmu-ilmu sosial, globalisasi, dan kebijakan publik.

Dalam pidato berjudul "Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan", Herry mengemukakan, apa yang ditempuh oleh proyek neoliberalisme adalah "menyempitkan atau bahkan meremuk konsep kebebasan dengan menetapkannya sebagai kebebasan bisnis".

Karena proyek normatif neoliberal berisi perentangan aplikasi prinsip pasar ke semua relasi kehidupan, pola itu juga berlaku bila terjadi konflik, misalnya antara kebebasan modal dan kebebasan berkumpul, kebebasan pers, kebebasan ekspresi, kebebasan beragama, dan seterusnya.

"Tidak ada liberalisme yang tidak mengemban kebebasan. Akan tetapi, dalam proyek neoliberalisme, kesamaan yang diemban kebebasan itu terperangkap dalam prasyaratnya sendiri, yaitu daya beli," paparnya.

Neoliberalisme, kata Herry, memakai cara yang menakutkan dalam menetapkan secara publik bagaimana kebebasan tindakan atau pilihan yang satu lebih penting dibanding kebebasan tindakan atau pilihan yang lain. "Itulah yang menggetarkan dari proyek neoliberalisme, bukan bahwa ia mengemban kebebasan atau tidak," ujarnya.

Refleksi kebudayaan

Pada bagian akhir pidato yang berulang kali ia sebut sebagai "refleksi kecil", Herry mengaku tak fasih dengan masalah kebudayaan. "Tapi saya dapat menyaksikan gejala menggelisahkan yang dibawa neoliberalisme bagi cuaca kultural kita," katanya.

Ia mengungkapkan, ada suatu masa, dan itu belum lama, ketika refleksi budaya sibuk menafsir penanda (signifier). Kekusutan yang muncul dari proyek neoliberalisme, kata Herry, tentu juga berkat kinerja penanda.

"Dalam pusaran proyek neoliberalisme, refleksi kebudayaan yang bersikeras tetap sibuk dengan urusan otonomi penanda mungkin akan melahirkan fatamorgana," tuturnya. (LAM)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home