Friday, February 20, 2004

Inilah Showbizz !

Bisnis ini merupakan cerminan dan promosi Indonesia aman!

Depok, 16 Februari, jam 06.30. Sebuah keluarga kecil duduk di depan televisi menyimak berita pagi di sebuah stasiun televisi swasta. Zidan, anak tunggal mereka yang berumur hampir 2,5 tahun bicara kepada ayahnya. “Yah, mbaknya nggak pakai baju,” ujarnya polos. Si Ayah pun tertawa. Rupanya saat itu sedang ditayangkan liputan konser Mariah Carey, diva musik pop dari Amerika. Mariah hanya salah satu dari sederet artis manca yang beberapa bulan ini meramaikan pentas musik tanah air. Seperti bosan dengan penyanyi-penyanyi lokal, promotor Indonesia berlomba-lomba mendatangkan artis atau grup musik dari luar negeri.

Promotor yang membawa Mariah Carey hadir di Jakarta adalah Java Musikindo, yang digawangi chairman, Adrie Subono. Lebih dari 5.000 penonton menyaksikan konser bertajuk Mariah Carey Charmbracelet World Tour 2004, yang digelar di Plenary Hall, Jakarta Convention Center (JCC), Minggu, 15 Februari 2004. Seminggu sebelumnya, 9 Februari, grup rock asal Amerika Serikat, Toto, membuka konser mereka yang berjudul Toto 25th Anniversary World Tour di hadapan sekitar 4.500 penonton, di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta. Tiket yang disediakan Original Production pimpinan Tommy Pratama Hernanto, dengan harga Rp.175.000 (untuk kelas festival) sampai dengan Rp300.000 (VIP), ludes satu hari sebelum pertunjukan.

Adrie dan Tommy adalah generasi berikutnya dari promotor Indonesia. Menjadi promotor musik bagi Adrie—setelah 20 tahun berbisnis tanker, kapal, dan minyak—adalah caranya untuk menikmati hidup sambil tetap berkarya, setelah dirinya berusia 50 tahun. “Saya tidak mau kerja berat lagi,” ujarnya kepada BusinessWeek Indonesia, 19 Februari lalu. Kesempatan pertama untuk “menikmati hidup” itu datang tahun 1994. Adrie mendapat kesempatan mendatangkan Saigon Kick ke Jakarta. Untuk bisa melaksanakan konser, ia harus membentuk badan usaha kepromotoran. Pada Oktober 1994, lahirlah Java Musikindo (Java) yang hingga kini sudah mendatangkan 30 artis mancanegara.

Sementara Tommy Pratama, 34, menjalani bisnis ini sebagai jalan hidup. Anak Toto Barata, personil Barata Band—band spesialis pelantun lagu The Beatles—ini mengaku “keracunan” pertunjukan sejak kecil. Ia memulai bisnisnya sebagai even organizer (EO) sejak masih duduk di bangku SMA. Waktu kuliah di Universitas Trisakti, dirinya sukses mendatangkan group lokal yang sekarang sudah terkenal seperti Slank, Dewa dan Gigi di acara Sunday Music Fiesta. Artis asing yang pertama kali didatangkannya adalah Air Supply pada 1994.

Walaupun masih banyak promotor lainnya, namun Tommy, Adrie dan satu lagi, Peter Basuki, dedengkot Buena Production, bisa dikatakan mewakili tiga besar promotor musik Indonesia. Peter Basuki yang dijuluki founding father-nya penyelenggara even atau EO (event organizer) sudah berkarya sejak 60-an. Perusahaannya berdiri tahun 1969 dengan nama Buena Ventura yang kemudian berubah nama menjadi Buena Production. Di saat bisnis promotor masih sangat muda, Peter sudah mendatangkan Oscar Harris dan The Twinkle Stars, juga Deep Purple.

Satu mobil

Bisnis promotor, menurut Adrie, sebenarnya tidak membutuhkan dana besar. “Dengan harga BMW seri 7 yang Rp1,7 miliar, Anda sudah bisa mendapatkan satu konsep yang bagus dan artis yang bagus,” ujarnya. Besar kecilnya biaya lebih tergantung dari faktor harga artis yang menurut Adrie berkisar antara $20.000 sampai $1 juta. Biaya lain adalah biaya produksi, biaya seluruh kegiatan terkait konser selama di Indonesia yang meliputi biaya hotel, sewa venue (tempat konser), pajak, asuransi dsb. “Biaya produksi berkisar dari Rp400 juta sampai Rp1 miliar, tergantung dimana Anda buat,” ujarnya.

Konser di Tennis Indoor Senayan misalnya, biaya produksinya berkisar antara Rp 400 juta. Sementara di outdoor lebih mahal lagi. Java bisa mengeluarkan dana hingga Rp1 miliar. “Karena di out door, makin besar lapangan, makin banyak kita memerlukan tenaga manusia,” tuturnya. Harga artis paling besar yang dikeluarkan Java adalah Mariah Carey. “Kemarin, itu melanggar apa yang sudah saya undang-undangkan sendiri,” ujar Adrie. Walaupun Adrie tidak menyebut angka, menurut sumber BusinessWeek Indonesia, Java harus merogoh kocek $400.000 atau Rp3,4 miliar untuk Mariah. Java sebelumnya mematok harga artis maksimum $150.000 atau sekitar Rp1,275 miliar. Harga itu ditambah biaya produksi, total biayanya menjadi Rp1,7 miliar. “Harga satu BMW,” ujar Adrie.

Dengan total biaya itu menurut perhitungan Java, masih diperoleh tiket dengan harga terjangkau bagi penonton Indonesia. Sehingga untuk kasus Mariah Carey, Java terpaksa menjual tiket paling mahal sepanjang sejarah Java, antara Rp500 ribu hingga Rp1,7 juta. Namun tetap saja 5000 tiket ludes terjual. Menurut Adrie, harga tiket bisa lebih terjangkau lagi kalau pihaknya mendapatkan venue dengan kapasitas yang lebih besar. “Kalau saya bisa dapatkan Istora (Senayan) yang berkapasitas 8000 orang, mungkin saya bisa menjual tiket paling murah Rp300 ribu dan yang paling mahal Rp1,2 juta,” ujarnya pada BusinessWeek Indonesia. Kapasitas venue di JCC hanya 5500.

Rider

Menurut Tommy Pratama, besar kecilnya biaya artis juga tergantung pada rider (daftar permintaan artis). Tommy mencontohkan group besar seperti The Rolling Stones. Pada setiap konsernya Rolling Stones selalu membawa 55 kontainer barang. “Sehingga promotor harus bayar mahal,” ujarnya. Biaya produksi Original untuk format indoor dipatok antara Rp150 juta hingga Rp500 juta. Sementara outdoor antara Rp300 juta sampai Rp1 miliar, sesuai dengan kebutuhan produksi dan keamanannya. Tommy lebih memilih indoor. “Lebih enak main di indoor, biaya produksinya tidak sebesar di outdoor, kita bisa jual harga tiket yang lebih tinggi daripada main di outdoor,” ujarnya.

Dengan penonton 20.000-30.000 orang di outdoor dan harga tiket Rp20.000, menurut Tommy masih tetap lebih menguntungkan apabila konser diadakan indoor, dengan 3000-4000 penonton dan tiket seharga Rp300.000. “Waktu Deep Purple, tiketnya saya jual Rp750.000, atau Dionne Warwick dengan target penonton 1500 orang, kita jual tiket dengan harga Rp1 juta,” ujar Tommy. Namun rumus ini tidak selalu bisa diterapkan untuk seluruh tipe artis. “Seperti Megadeth, saya tidak bisa dong, mainin di hotel,” ujarnya. Saat konsernya di Medan, Original menjual tiket dengan harga Rp35.000 karena melihat pasarnya yang sebagian besar anak-anak muda.

Biaya artis yang dikeluarkan Original berkisar antara $50.000 sampai $250.000. Untuk konser Toto yang indoor ia merogoh fee di bawah $200.000. “Kita tawar-menawar berdasarkan harga tiket dan biaya produksi, dan mereka tahu itu,” tutur Tommy. Tarif untuk artis mancanegara ini jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga artis lokal. Band sekelas Padi misalnya, saat ini menurut Tommy tarifnya masih berkisar Rp40 juta. “Untuk artis (lokal) semahal-mahalnya Rp200 juta ($25.000). Bandingkan dengan Limp Bizkitt yang saya bayar $300.000,” ujarnya.

Namun angka itu pasti akan tumbang dengan rencana Original mendatangkan The Rolling Stones yang diharapkan bisa terlaksana 2005. “The Rolling Stones, kalau rencana konser ke Beijing, Bangkok dan Shanghai jadi, insyaAllah kita dapat, karena mereka sudah mengeluarkan konfirmasi ke saya sejak April 2003,” ujarnya. Bagi Original itu adalah kepercayaan besar. “The Rolling Stones sudah ketahuan. Mereka tarifnya $2 juta,” ujar Tommy. Angka $2 juta (Rp17 miliar) ini menurut Tommy sebenarnya murah. The Rolling Stones sudah membawa 55 kontainer barang, 200 pekerja, dan membayar semua akomodasinya (biaya hotel dan transportasi termasuk satu pesawat angkut Antonov). Promotor hanya menyediakan venue dan keamanan.

Sponsor

Dari mana promotor memperoleh dana sebesar itu? “Bagi saya yang sudah mengalami asam garamnya (bisnis promotor) sebaiknya, kita menggantungkan diri dari sponsor,” ujar Tommy. Bahkan bila mungkin, sponsor menutup 100% dari biaya produksi dan promotor bisa untung sebelum pertunjukan dimulai. “Jadi tiket itu murni 100% untuk untung yang masih ditambah dengan kelebihan dana dari sponsor,” ujarnya. Namun hal ini jarang terjadi. Ada sponsor yang hanya menutup 30% dari biaya produksi. “Sehingga kita mesti cari risiko di tiket,” ujar Tommy. Artinya promotor harus mematok target minimal tiket yang akan terjual. Misalnya 70%. Dengan adanya dana sponsor sebesar 30%, promotor baru bisa mencapai titik impas. “Tapi ada juga sponsor yang 50%, tapi tiket sold out 100%, jadi kita untung 50%,” ujarnya.

Namun, untuk konser setingkat The Rolling Stones, Tommy mengaku tidak mampu mengandalkan pada sponsor dan penjualan tiket. Original rencananya akan menjual putus kepada pemerintah. “Kalau nggak diambil ya bodo,” ujarnya. Seperti yang terjadi di Hong Kong, The Rolling Stones dibayar $4 juta hanya untuk menunjukkan bahwa negara itu bebas dari virus SARS. “Ini PR yang efektif, karena musik bahasa dunia,” ujarnya.

Apalagi saat ini menurut Peter Basuki, buying power masyarakat terus menurun. “Dulu saya bisa meng-cover semua show saya dari real penjualan tiket,” ujarnya. Sekarang terbalik. “Kalau dengan harga tiket dulu—yang dengan kurs sekarang sekitar Rp750.000—penonton mungkin teriak-teriak,” ujarnya. Dan dari pengalaman Buena, dana yang diperoleh dari salah satu sponsornya Sampoerna hanya 30%-40% dari fee artis, tidak dari seluruh biaya konser. “Saya tidak percaya ada promotor yang bisa untung besar. Kecuali kita kejar harga tiket mahal,” ujar Peter. Untuk mengatasi hal itu, Buena, yang akhir-akhir ini lebih banyak mengundang artis jazz, mentargetkan tiket harus terjual minimal 80-90%.

Menanggapi hal ini Sendi Sugiharto, Senior Manager, Sampoerna A Mild, menyatakan, Sampoerna tidak pernah berhitung-hitung untuk memberikan yang terbaik bagi konsumen dalam setiap kegiatan musik. “Kami ingin secara konsisten bisa menyelenggarakan even-even sejenis yang berkualitas,” ujarnya. Sejak tahun 1994, sebelum industri musik tumbuh, pihaknya telah terjun ke dunia ini. “Kegiatan-kegiatan seperti ini sangat efektif untuk mendekatkan diri kepada para konsumen, “ ujarnya.

Musisi-musisi mancanegara yang telah disponsori Sampoerna diantaranya adalah Scorpions, Incognito, Al Jarreau, Peter Cetera, Mr. Big, David Benoit, George Benson, Kitaro, serta Mariah Carrey pada awal tahun 2004. Namun seperti biasa, Sendi tidak mau menyebut angka. Menurutnya total biaya promosi bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahunnya. Besar kecilnya dana yang disalurkan Sampoerna terkait dengan target karakter konsumen pada setiap even yang diselenggarakan. “Even, khususnya musik yang kami selenggarakan, selalu mengikuti pola tersebut,” ujarnya.

Pasar

Bicara mengenai pasar menurut Adrie, di Jakarta tidaklah sulit mendatangkan penonton. Angka 4000-6000 penonton menurut Adrie hanyalah sebagian kecil dari total penduduk Jakarta (yang menurut sensus penduduk pada 2000) mencapai 8,4 juta jiwa. Hal ini tentu berbeda apabila konser diadakan di luar kota Jakarta. Selain gedung pertunjukan (venue) yang terbatas, daya beli yang rendah dan masalah pajak menjadi persoalan tersendiri. “Ini yang menjadikan konser di luar Jakarta tidak visible,” ujar Adrie.

Dan kunci sukses Java adalah promosi. Kelebihan Java, sebelum konser, Java terlebih dulu melakukan survey ke perusahaan rekaman mengenai penjualan si artis dan menyimak tren di masyarakat. Setelah itu Java menyebar 100.000 flyers di tempat-tempat kumpul anak muda atau target pasarnya. Setiap minggu flyers ini berubah desain dengan warna yang lebih menarik dan berbeda. “Kadang-kadang saya agak nakal dengan sedikit memperlihatkan sesuatu yang seksi. Tapi itu salah satu strategi pemasaran saya,” ujarnya tertawa. Prinsip promosi Java: gembar-gembor dengan biaya terjangkau. “Kalau kita pakai internet saja, cost-nya nothing, Anda sekali pencet sudah bisa menyebarkan berita untuk 10.000 milis,” ujarnya.

Di Buena sistemnya berbeda. Sampai saat ini, sejak berdirinya tahun 1968, Buena masih mengandalkan sistem promosi door-to-door, memanfaatkan massa atau jaringan Buena. “Kelebihan Buena adalah memelihara hubungan dengan pelanggan, apalagi yang sudah berumur seperti saya,” ujar Peter, 57. Iklan bagi Buena hanyalah 30%. Sisanya, 70%, Buena harus fight. “Jauh-jauh hari sebelum konser berlangsung, Buena sudah main telepon atau email teman-teman kita yang masih rindu dengan misalnya, Level 42,” ujar Peter. Cara ini ternyata berhasil. Hanya dengan 30% iklan, tiket sudah sold out. “Kelihatannya strategi ini sampai sekarang masih ampuh. Jadi saya bilang, Buena harus memelihara mereka (massa Buena),” ujar Peter.

Untung

Hitung punya hitung, dalam setiap konser, apabila tiket dijual dengan harga rata-rata Rp300.000 dan sold out sejumlah 5000 tiket, maka promotor sudah akan mengantongi Rp1,5 miliar. Dengan dana dari sponsor katakanlah 40% dari fee artis yang $150.000 (Rp1,275 miliar), promotor hanya mengeluarkan $80.000 (Rp680 juta). Ditambah dengan biaya produksi untuk (misalnya) konser indoor Rp400 juta, maka seorang promotor bisa mengantungi keuntungan bersih hingga Rp420 juta setiap konsernya.

Apabila dalam satu tahun ada 3-4 konser, maka keuntungan yang didapat bisa mencapai Rp1,26-1,68 miliar. Lain cerita kalau sponsor bisa menutup 100% dari biaya produksi. Ini adalah berkah. Promotor bisa mengambil keuntungan bersih dari tiket, sehingga keuntungannya bisa melonjak mencapai Rp1 miliar, setiap konsernya. Belum lagi tambahan pemasukan lain dari hak siar konser yang bisa dijual ke stasiun TV dengan harga $10.000-20.000.

Walaupun menjanjikan, bisnis ini bukannya tanpa resiko. Setiap promotor menghadapi kesulitan dari mencari venue sampai pembatalan artis. Masalah venue ini juga yang menjadi pesan Tommy kepada BusinessWeek Indonesia. “Kita nggak ada gedung konser yang layak,” ujarnya. Tommy berharap pemerintah bisa membangun venue yang representatif seperti di Singapura dengan Singapore Indoor Stadium, di Hong Kong dengan Hong Kong Harbour Pavillion dan di Syney, Australia dengan Sydney Superdome-nya.

Mengenai pembatalan konser, Original mengalaminya saat konser Deep Purple pada 2001. Dan bahkan selama 2003, Original mengalami 3 pembatalan konser yaitu Yes, Limp Bizkit dan Julio Iglesias. Sebagian besar karena travel warning yang dikeluarkan negara asal si artis. “Saya pikir tidak fair kalau pemerintah mereka menghimbau dengan embel-embel peristiwa yang seram-seram. Tentu saja orang jadi takut kemari," papar Tommy.
Pembatalan konser, walaupun konser itu kebanyakan sudah diasuransikan, menurut Peter, menimbulkan kerugian materiil dan immateriil. Kerugian materiil datang dari sponsor. Sementara kerugian immateriil, “(yaitu) Moril saya, (dan kerugian) kepada orang lain yang tidak bisa dibayar dengan uang,” ujarnya. Hal ini terjadi saat konser Tina Turner—yang kabur, dan Jose Feliciano—gitaris dan penyanyi buta peraih 6 Grammy Award—ketika akan menggelar konsernya di Jakarta. “Saat kita sudah jual tiket, dia (Jose) sakit gigi,” ujar Peter tertawa. Inilah showbizz. Oleh Hizbullah Arief di Jakarta

Saturday, February 07, 2004

Bisnis Istana Menyerbu Jakarta

Apartemen mewah bertebaran di seluruh penjuru Jakarta. Sebuah anomali berbuah hoki

Sebuah bangunan dengan gaya renaissance berdiri megah di samping Hotel Sahid Jaya. Dari luar tampak hiasan patung-patung klasik jaman Yunani kuno. Dengan membawa nama besar artis Leonardo Da Vinci, PT Wijaya Karya menghadirkan Menara Da Vinci, bangunan mewah di tengah belantara gedung megah di Jalan Sudirman, Jakarta. Gedung Da Vinci yang bernilai Rp 10 miliar ini hanyalah salah satu bukti, maraknya proyek pembangunan apartemen di Jakarta. Apartemen dengan harga ratusan juta sampai puluhan milyar rupiah kini tersedia. Apartemen Pakubuwono contohnya dijual dengan harga Rp2 miliar per unit. Apartemen Kempinski dijual dengan harga $3000 per meter persegi, Sailendra $2500 per meter persegi, Airlangga $1.818 per meter persegi, Apartemen Dharmawangsa $2.700 per meter persegi, Four Season $2.200 per meter persegi, dan masih banyak lagi. Anehnya berapapun harga yang ditawarkan, apartemen ini selalu ludes bak pisang goreng. Apartemen Da Vinci, yang dilepas dengan harga minimal Rp 22 miliar (furnished) per unit, laku keras. Pembeli sudah memborong habis seluruh unit apartemen ini ketika pembangunan fisik apartemen jauh dari tahap selesai.

Dari data PSPI (Pusat Studi Properti Indonesia), jumlah pasokan kondominium (apartemen strata-title, apartemen dengan hak milik) di Jakarta sampai 2003 mencapai 26.051 unit. Selama 2003, jumlah pasokan kondominium meningkat 286% menjadi 721 unit, dari 252 unit di 2002. Pasokan kondominium hingga akhir 2003, diperoleh dari konversi Apartemen Setiabudi sebanyak 87 unit, Apartemen Pantai Mutiara Dua, 92 unit, Apartemen Pantai Mutiara Tiga berikut hasil konversi 102 unit, Apartemen Ibis Mangga Dua, 39 unit, Apartemen Permata Senayan, 18 unit, Apartemen Pantai Mutiara Empat, 112 unit, Apartemen Four Season Tower 3&4, 236 unit dan Apartemen Da Vinci, 35 unit.

Tahun ini, pasar kondominium menurut PSPI akan meledak dengan jumlah pasokan kondominium sebesar 6.815 unit atau meningkat 945% dari total stok kondominium di tahun 2003. Sehingga secara kumulatif, jumlah total pasokan kondominium di 2004 akan mencapai 32.866 unit. Luar biasa!

Sampai 2005, menurut data Ray White Indonesia, terdapat 22 proyek kondominium baru yang sedang dibangun di Jakarta. Total unit dari 22 proyek kondominium tersebut mencapai 15.778 unit, yang diperkirakan akan memasuki pasar mulai tahun ini. Banyaknya peluncuran proyek kondominium baru sejak kuartal kedua 2002 menurut Ray White telah mendorong pertumbuhan permintaan dan penjualan, tidak hanya pada proyek-proyek yang baru, tetapi juga pada kondominium / apartemen lama yang sudah ada.

Investasi

Apa yang membuat pengembang terus tertarik membangun proyek kondominium baru ini? Menurut pengamat properti Panangian Simanungkalit, pasar apartemen strata-title (kondominium) terbagi dua, pasar jual dan pasar sewa. “Mereka (pengembang) melihat pasar jualnya bagus, walaupun pasar sewanya belum terlalu bagus,” ujarnya kepada BusinessWeek Indonesia. Pasar sewa yang selama ini didominasi oleh orang asing belum kembali. Tingginya pasar jual ini menurut Panangian, karena banyak orang bingung menempatkan dananya. Dengan suku bunga yang sudah dibawah 7 % dan inflasi yang mendekati suku bunga, menurut Panangian, secara teoritis, menempatkan uang di bank itu bukanlah prilaku yang pintar. ”Sementara produk investasi seperti reksadana dan saham bagi pemilik dana yang berjumlah besar, masih dianggap belum solid, masih volatile,” tuturnya.

Suburnya pasar apartemen strata-title juga dipengaruhi oleh prilaku pembeli. Menurut Jay Smith dari Property Group, PriceWaterhouseCoopers, investor lebih banyak tertarik untuk memborong proyek apartemen strata-title yang baru diluncurkan, yang belum mulai dibangun, karena mereka berharap akan mendapatkan pengembalian modal lebih cepat. “Ketika unit tersebut selesai dibangun nilainya tentu akan lebih tinggi,” ujar Smith. Faktor lain yang menjadi pertimbangan investor untuk membeli apartemen adalah lokasi, prestise, kenyamanan dan harga.

Menurut Panangian, pasar kondominium memiliki variasi yang sangat besar dari sisi harga. “Dari Rp200 juta, sampai yang termewah, Rp 23 miliar,” ujarnya. Sementara dari sisi pasokan, kondominium dengan harga di bawah Rp 500 juta menempati porsi paling banyak sebesar 50%. Kondominium dengan harga Rp500 juta - Rp1 miliar memberikan kontribusi sebesar 25%, Rp1 miliar - Rp2,5 miliar sebesar 10%, dan sisanya merupakan kelas premium. Kondominium dengan harga di bawah Rp500 juta, menurut Panangian, daya serapnya paling besar, karena supply-nya juga paling banyak. “Tapi ketika terjadi over supply, justru kelas ini yang susah dijual, karena motivasi orang beli di sana, masih ikut-ikutan, terpengaruh situasi pasar,” tuturnya. Hal ini berbeda dengan pasar apartemen kelas premium dimana investor biasanya lebih melihat jangka panjang. “Mereka (investor premium) tidak butuh cash,” ujar Panangian.

Over supply

Jadi benarkah sudah terjadi kelebihan pasokan (over suplly)? “Kenyataannya, ya,” ujar Jay Smith. Menurut Smith, sejak krisis moneter tahun 1998, apartemen sewa tingkat huniannya masih dibawah 80%. PSPI juga berpendapat sama. Tingkat penyerapan (pembelian) kondominium pada 2003, hanya mencapai 47%, meningkat hanya 2% dibanding 2002. Di 2004, karena besarnya pasokan, jumlah pembelian diperkirakan akan meningkat hingga 60%. Pembelinya menurut Panangian juga “itu-itu saja”. “Ini memang tipikal ekonomi Indonesia yang dibangun selama 30 tahun,” ujarnya. Mereka ini menurut Panangian merupakan kalangan elit yang hanya berjumlah 1% dari jumlah total penduduk Indonesia.

Menurut Panangian walaupun over supply, pasar properti Indonesia sangatlah unik, yang berbeda dengan pasar properti di negara yang sudah mature, seperti AS dan Australia. “Di sana pasar propertinya sudah jenuh. Kalau disini, jenuhnya dalam tanda petik,” ujarnya. Di Indonesia jenuh dari sisi pengisian, menurut Panangian, sah-sah saja, tapi tidak dari sisi pembelian. “Ini soal trust. Ada orang yang rumahnya di Sentul dibiarin sampai dimakan ngengat. Bagi mereka yang percaya properti itu solid investment, mau digigit ngengat pun tak masalah. Inilah uniknya di Indonesia,” tuturnya.

Anomali lain menurut Panangian terletak pada segi harga. Properti sebagai investasi menurut Panangian menghasilkan gain rata-rata mencapai 20% per tahun. “Lebih besar dalam sejarah suku bunga di tahun kapanpun,” ujarnya. Bila dibandingkan dengan harga properti di Eropa yang dalam satu tahun hanya naik 1-2%, dan di Singapura yang hanya naik 3% setahun, Indonesia adalah tempat yang paling prospektif. Sebagai contoh di Pondok Indah. Harga tanah pada 1979 hanya Rp50 ribu per meter persegi. Saat ini harga itu sudah menjadi Rp50 juta per meter persegi. “Melonjak seratus kali dalam tempo 26 tahun,” ujar Panangian. Sementara di Kelapa Gading, harga tanah yang di tahun 1980-an hanya Rp50 ribu per meter persegi, sekarang sudah mencapai sekitar Rp8 juta per meter persegi. Daya tarik lain investasi di properti adalah keamanan. Menurut Panangian bagi orang yang mempunyai sifat konservatif, mereka lebih suka menabung dalam bentuk tanah. “Karena secara psikologis mereka seolah-olah tidak sadar makin lama kekayaannya makin banyak,” ujarnya.

Mulai pulihnya bisnis properti di tanah air ini pula yang menjadi daya tarik investor asing untuk masuk ke Indonesia. Salah satu pengembang asing yang sudah masuk di Indonesia sejak 1998 adalah PT Les Nouveaux Constructeurs (Premier) dari Perancis. Menurut Olivier Mitterand, CEO Premier, sejak saat itu Premier sudah mengucurkan dana investasi antara Rp100 miliar hingga Rp160 miliar untuk setiap proyek yang digarapnya. Untuk proyek perumahan dan common area yang baru saja dibangun di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang misalnya, nilai proyeknya mencapai Rp160 milyar. Nilai yang sama juga dikucurkan untuk proyek Premier di Central Park, Kota Wisata, Cibubur. “Sebelum akhir tahun kita akan luncurkan 3 proyek baru bernilai sekitar Rp300 milyar dengan melipatduakan investasi kita di Indonesia,” ujarnya.

Apa yang membuatnya mantap berinvestasi di Indonesia? “Kami sangat yakin bahwa ekonomi Indonesia sudah mulai pulih, dengan tingkat pertumbuhan yang bagus. Kami sangat percaya dengan dinamisnya perekonomian Indonesia,” tutur Olivier mantap kepada BusinessWeek Indonesia. Menanggapi bullish-nya pasar apartemen, Premier memperkirakan, peluang baru pembangunan apartemen akan muncul di wilayah yang tidak terkonsolidasi. “Wilayah yang lebih dekat ke pusat kota Jakarta, seperti di Central Business District (CBD),” ujarnya, Wilayah inilah yang menjadi ambisi Premier di masa datang. Mendengar optimisme ini, masih ragukah Anda? Oleh Hizbullah Arief di Jakarta