Monday, May 30, 2005

Ketika Musim Bunga Tiba

Perbankan berbagi strategi menghadapi kenaikan suku bunga. Nasabah sedikit bisa bernafas lega

Siang itu, 9 Mei, di sebuah ballroom hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, tak ada suasana muram walau masanya bagi Francis Andrew Rozario, Direktur Utama Bank Danamon untuk perpisah. “Sebuah kebanggaan bagi saya bisa bekerja sama dengan tim tangguh di Bank Danamon. Saya yakin kami akan terus mampu menyebarkan nilai-nilai baru sesuai dengan misi kami membantu mencapai kesejahteraan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Manajemen Bank Danamon melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) Tahunan mengganti Francis dengan Sebastian Paredes, mantan CEO Citibank di Afrika Selatan dan Sub-Sahara. Sekitar dua minggu (28 April) sebelum penggantian dirinya, BusinessWeek Indonesia sempat berbincang dengan mantan bankir Citibank ini. Tidak ada resah di matanya. “Saya tak menyangka akan bertahan lama di Bank Danamon,” ujarnya saat itu.

Keyakinan Francis mungkin terpancar dari kondisi bank yang telah digawanginya selama 2 tahun terakhir ini. Dalam laporan kinerja kuartal pertama 2005, Bank Danamon mencatat kenaikan rasio pendapatan atas harga saham (PER, price earning ratio) 8,8% per 31 Maret 2005. Naik dari 5,9% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Margin bunga bersih (NIM) naik menjadi 9,2% dibandingkan dengan 8,2% pada periode yang sama tahun lalu. Kredit bertumbuh 45% menjadi Rp30,3 triliun per akhir Maret 2005. Menjadikan LDR (loan to deposits ratio) melonjak menjadi 76,4% dari 54,1% tahun sebelumnya. Pertumbuhan kredit ini didominasi oleh kredit konsumen (43%), kredit UKM/komersial (39%) dan kredit korporat (18%).

Namun, sepeninggal Rozario, Bank Danamon--seperti halnya bank-bank yang lain—harus berhadapan dengan tren kenaikan suku bunga yang dipicu salah satunya oleh kenaikan suku bunga Bank Sentral AS. Gubernur Bank Sentral AS, Alan Greenspan sejak tahun lalu telah mengisyaratkan, pihaknya akan menaikkan suku bunga secara bertahap. “Tingkat suku bunga mendatang akan naik secara terukur, lebih dari 25 poin basis (bps)," ujar Greenspan di hadapan Komite Perbankan Senat, 15 Juni 2004.

Bank Indonesia pun melakukan hal yang sama. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi, BI terus menaikkan suku bunga guna menyerap likuiditas di pasar. Pada 18 Mei, suku bunga SBI jangka waktu satu bulan sudah mencapai level 7,90%. Naik 58 poin basis (bps) dari 7,32% pada periode yang sama tahun lalu. Sementara pada 4 Mei, suku bunga SBI jangka waktu 3 bulan naik 49 poin basis (bps) menjadi 7,81%, dari 7,32% pada periode yang sama tahun lalu. BI juga menaikkan suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam dollar AS sebesar 135 poin basis (bps) menjadi 2 persen selama periode 1-31 Mei 2005. Suku bunga tersebut berlaku untuk semua jangka waktu simpanan di bank. Suku bunga penjaminan dalam rupiah juga naik menjadi 7,51 persen untuk yang berjangka waktu satu bulan dan 7,56 persen untuk yang berjangka waktu tiga bulan.

Tarikan investasi

Naiknya suku bunga akan berdampak pada bisnis perbankan. “Kredit murah untuk sektor individual akan berkurang,” ujar Radianto Kusumo, analis dari PT HSBC Securities Indonesia, awal Mei lalu di Jakarta. Lebih lanjut Radianto memprediksi, dengan berkurangnya ketersediaan dana murah, kredit konsumen (consumer lending) juga akan turun. Di saat konsumsi diperkirakan turun, “tingkat utilisasi korporat mencapai level tertinggi dalam 20 tahun terakhir,” ujarnya. Mulai pertengahan 2004, investasi tetap (fixed investment) terus tumbuh. Banyak perusahaan yang neracanya sudah direstrukturisasi, kembali bisa mengajukan pinjaman modal baru untuk menopang pertumbuhan mereka. Kontribusi investasi tetap terhadap total PDB diperkirakan melampaui 21% tahun ini. “Pertumbuhan PDB akan ditopang oleh investasi, karena penjualan barang-barang komersial dan impor barang modal mengalami kenaikan,” ujarnya.

Bank pun bereaksi beragam dengan kenaikan suku bunga ini. BCA misalnya, sejak 1 Mei, telah menaikkan suku bunga deposito berjangka 1 bulan hingga 12 bulan dari rata-rata 5,5% menjadi 6% untuk deposito berjangka 3 bulan, 6,25% untuk deposito 6 bulan dan 6,5% untuk deposito berjangka 1 tahun. Suku bunga deposito berjangka 1 bulan tidak mengalami perubahan. Tingkat suku bunga ini masih di bawah tingkat suku bunga penjaminan BI yang berkisar antara 7,51%-7,56%. Sedangkan suku bunga deposito valuta asing ditingkatkan dari 0,65% menjadi 2%, sama dengan tingkat suku bunga penjaminan BI.

Strategi selisih suku bunga yang lebih tinggi untuk deposito berjangka 6 dan 12 bulan ini menurut Stephen Liestyo, Senior GM Consumer Banking BCA, adalah strategi BCA guna menggaet dana jangka panjang. “Suku bunga deposito dollar kita yang 2% sudah cukup OK. Sementara yang deposito rupiah (kenaikannya) kita tunggu ALCO (Komite Aset dan Liabilitas), kita ikutin tapi nggak langsung,” ujar Stephen pada BusinessWeek Indonesia, 10 Mei lalu. Bank lain seperti BNI dan BRI juga melakukan hal yang sama. Menaikkan suku bunga dengan kisaran 25-50 poin basis (bps).

Berburu dana murah

Walaupun suku bunga deposito perbankan naik, namun daya tarik utama bagi perbankan tetap pada ketersediaan dana murah yang bersumber dari tabungan. Dengan naiknya suku bunga, biaya dana (cost of fund) pasti akan mengalami kenaikan. Apabila tidak disertai dengan pertumbuhan pendapatan, maka margin bunga bersih (net interest margin, NIM, selisih antara pendapatan operasional dan beban operasional) perbankan berpotensi tertekan. Dengan ketersediaan dana murah yang mencukupi, perbankan bisa membiayai pinjaman tanpa harus menaikkan suku bunga dan menekan semakin berkurangnya margin bunga bersih.

BII adalah salah satu bank yang getol memburu dana murah ini. Menurut Rudy N. Hamdani, Direktur Perbankan Konsumen BII, komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) BII per Maret tercatat sebesar Rp28,5 triliun. Dari jumlah tersebut sebesar 55,8% adalah dana di luar deposito berjangka (non time deposits) yaitu tabungan dan giro. Sementara dana di deposito mencapai 44,2%. Posisi ini meningkat dari komposisi per akhir Desember lalu. Saat itu rasio dana di tabungan dan giro mencapai 52,5% sementara dana di deposito berjangka 47,5%. Jumlah dana murah BII meningkat menjadi Rp6,2 triliun per Desember 2004, naik Rp1,4 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. BII terus berupaya memperlebar selisih antara dana murah dan dana deposito berjangka dengan meluncurkan program baru 6 April lalu.

Juaranya adalah BCA. “Kalau suku bunga cuma naik beberapa poin basis, kami punya keuntungan karena kami kuat di tabungan dan giro,” ujar Stephen. Komposisi tabungan dan giro BCA mencapai 75% sementara deposito 25%. Hingga akhir April dana tabungan BCA tercatat Rp67 triliun. Dana deposito berjangka BCA mencapai Rp30 triliun dengan nilai dana valuta asing (valas) Rp3 triliun. Penyebabnya, untuk produk tabungan dengan nilai Rp0-Rp500 ribu, BCA tidak mengenakan suku bunga. Sementara untuk tabungan dengan nilai Rp500 ribu hingga Rp 5 juta, dikenakan bunga 2%. Tabungan di atas Rp5 juta, 3,75%.

Dengan biaya dana (cost of fund) yang sangat rendah ini, pantas bagi BCA untuk jumawa. “BCA berusaha untuk lari dari perang bunga dengan mengutamakan pada fasilitas dan kemudahan,” ujar Stephen. BCA sejak awal telah memposisikan diri sebagai bank transaksi (transactional bank). Tahun ini BCA menargetkan penambahan 39 cabang, 1250 ATM dan 9000 unit mesin EDC (Electronic Data Capture).

Motor meraja

Namun, melimpahnya dana murah menjadi tiada arti tanpa fungsi intermediasi—yang menjadi bisnis inti perbankan. Dan kenyataannya perbankan masih bergantung pada sektor konsumen. HSBC misalnya. Menurut Richard McHowat, CEO HSBC Indonesia, tahun ini HSBC menargetkan pertumbuhan pendapatan dan aset minimal 15 %. Penyumbangnya adalah dari pertumbuhan bisnis-bisnis baru. Pertumbuhan kartu kredit (KK) HSBC ditargetkan sebesar 300.000 kartu—menjadi 800.000 kartu—hingga akhir tahun. “Dengan rasio utang rumah tangga (household debt) terhadap PDB masih di bawah 10%, ini masih menjadi peluang besar bagi sektor perbankan,” ujarnya pada BusinessWeek Indonesia, 10 Mei lalu. Richard memperkirakan, terdapat potensi 14-15 juta jiwa di pasar KK, dibanding dengan 6-7 juta pemegang kartu saat ini.

Bank Danamon juga masih bergantung pada sektor konsumen. Menurut Jerry Ng, Wakil Presiden Direktur Bank Danamon, pihaknya tidak akan merubah target penyaluran kredit dengan naiknya suku bunga. Saat ini komposisi kredit Danamon 40% adalah kredit konsumen, 40% kredit komersial/UKM dan 20% merupakan kredit korporasi. Yang menarik, tampaknya akuisisi Adira Finance memberikan hasil yang menggembirakan bagi Bank Danamon. Kredit sepeda motor Bank Danamon—yang disumbang Adira—mendominasi kredit konsumen dengan rasio 47%, sementara sisanya disumbang oleh kredit perumahan (22%), kredit mobil (26%) dan kartu kredit (5%).

Tren ini tampaknya diikuti oleh perbankan lain. BII berupaya untuk memperluas basis nasabak dengan pengambilalihan saham WOM Finance. Per 31 Maret, sektor konsumen menyumbang 37,7% dari total kredit yang disalurkan BII. UKM/Komersial menyumbang 31,6% sementara korporasi 30,7%. BCA juga semakin serius menggarap pasar pembiayaan. Baru-baru ini BCA mengubah nama lembaga pembiayaan miliknya, Sentral Sari Finance (SSF) menjadi BCA Finance. Dalam pertemuan analis 8 Maret lalu, DE Sutijoso, Direktur Utama Bank BCA menyatakan, pihaknya berencana menambah 10 cabang SSF baru tahun ini dan meningkatkan permodalannya dengan menambah aset dari Rp2 triliun menjadi Rp3,5 trilliun.

Korporasi?

Lantas apakah sektor korporasi juga bertumbuh sebagaimana prediksi Radianto? Bank Indonesia dalam laporan kinerjanya menyebutkan, investasi tumbuh 16-16,5% (yoy) pada triwulan pertama 2005. Dari data Bank Indonesia per Februari, jumlah kredit modal kerja yang disetujui di bank umum naik 42% menjadi Rp12,789 triliun dibanding Rp7,389 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara kredit investasi yang disetujui di bank umum bertumbuh 41% menjadi 3,849 triliun dibanding 2,269 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Yang menarik, kredit konsumsi juga naik 30% menjadi Rp9,283 triliun dibanding Rp6,490 tahun lalu. Menjadikan total kredit yang disetujui di bank umum per Februari naik 37,7% menjadi Rp25,921 triliun dibanding Rp16,148 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Kredit korporasi BCA dalam 4 bulan pertama 2005, menurut Stephen bertumbuh Rp700 miliar menjadi Rp13 triliun. Sementara kredit konsumen tumbuh Rp900 miliar menjadi Rp6,9 triliun.

Perbankan juga masih menyimpan jurus-jurus baru guna menggenjot pertumbuhan. Francis yang kini menjabat sebagai komisaris Bank Danamon memberikan beberapa petunjuknya. “Kami sudah memiliki perusahaan pembiayaan (finance company). Di masa datang kami ingin mempunyai perusahaan sekuritas dan mendirikan perusahaan gabungan (joint venture) bancassurance dengan salah satu perusahaan asuransi,” ujarnya. Sebastian Paredes, Dirut baru Bank Danamon, juga menyatakan hal yang sama ketika BusinessWeek Indonesia berusaha mengonfirmasikan rencana ini. “Kami saat ini memang berupaya meningkatkan bisnis bancassurance kami dan melihat peluang menjalin kerjasama dengan perusahaan sekuritas,” ujarnya. Sementara BII baru-baru ini menjalin kerjasama dengan dua perusahaan asuransi yaitu PT AIG Life dan PT Eka Life guna meningkatkan basis nasabah potensial dan fee based income-nya.

HSBC—dengan keterbatasan cabang yang dimiliki—menyadari tak mungkin menjadi bank transaksi (transactional bank) seperti layaknya BCA. Sehingga, “Kami sangat berhati-hati dalam membidik target pasar,” ujar Richard. Salah satu target yang ditetapkan untuk menggenjot pertumbuhan adalah dengan membidik pasar nasabah premium yang saat ini jumlahnya telah mencapai 9000 nasabah. Menurut Richard, masih ada sekitar 250.000 nasabah premium baru—nasabah dengan jumlah rekening minimal $60.000—yang bisa digarap. “Kami menargetkan 30.000-35.000 diantaranya,” ujarnya.

Dengan bank tetap bertumbuh dan suku bunga dana naik, nasabah yang akan diuntungkan. BI dalam laporan kinerja triwulan pertamanya menyatakan, “Suku bunga perbankan masih bergerak dengan arah berbeda dengan kecepatan menurun.” Suku bunga deposito hanya naik tipis sebesar 3 poin basis (bps) menjadi 6,46% dari triwulan sebelumnya kendati ruang dari sisi penjaminan masih cukup lebar. Suku bunga kredit masih menurun secara terbatas, terutama kredit konsumsi. Suku bunga kredit modal kerja (KMK) stabil di 13,37%. Suku bunga kredit investasi (KI) turun 18 poin basis (bps) menjadi 13,87%. Sementara suku bunga konsumsi (KK) menurun 34 poin basis (bps) menjadi 16,23%.

Dengan kecenderungan ini—naiknya suku bunga dana dan menurunnya suku bunga kredit, paling tidak nasabah bisa sedikit bernafas lega. Di tengah semakin beratnya tekanan inflasi—yang pada triwulan pertama mencapai 8,81% (yoy)—selisih suku bunga saat ini dengan inflasi (real interest rate) juga bisa semakin menyempit. Dan kalau tidak mau terus merugi, nasabah harus pintar-pintar memilih, ke mana mereka akan menempatkan dananya. Oleh Hizbullah Arief di Jakarta.

KETIKA SBI NAIK….

TANGGAL SBI 1 BULAN TANGGAL SBI 3 BULAN

2/3/05 7,43% 5/1/05 7,30%

16/3/05 7,44% 2/2/05 7,27%

6/4/05 7,53% 2/3/05 7,31%

20/4/05 7,70% 6/4/05 7,51%

4/5/05 7,81% 4/5/05 7,81%

11/5/05 7,87% 18/5/05 7,90%

18/5/05 7,90%

Data: Bank Indonesia

SUKU BUNGA PINJAMAN TURUN….

18 BPS*

*Penurunan suku bunga kredit investasi

34 BPS*

*Penurunan suku bunga konsumsi

SUKU BUNGA DEPOSITO NAIK….

25-100 BPS*

*Kisaran kenaikan suku bunga deposito