Saturday, July 24, 2004

Pilih Daging Daripada Tulang

Perusahan farmasi berjuang merubah komposisi produk demi menaklukkan pasar

Satu tahun belakangan ini Dani Pratomo, Direktur Utama Indofarma harus menghadapi cobaan berat. Bergabung dengan Indofarma sejak Juli 2003, Dani harus “mewarisi” perusahaan yang di 2003 mengalami kerugian total Rp129 miliar. Lebih dari 70% kerugian tersebut akibat dicadangkannya (obat) atau kerugian persediaan karena penurunan kualitas. Stok obat yang menumpuk di Indofarma ini setara dengan penjualan selama 10-12 tahun berdasarkan nilai penjualan rata-rata. Mau tidak mau Dani harus membersihkan sampah yang menumpuk yang membebani kinerja Indofarma.

Namun ada cerita panjang di balik memburuknya kinerja BUMN farmasi ini. Indofarma adalah perusahaan yang memang didisain untuk memproduksi obat secara massal, khususnya obat generik, untuk melayani kebutuhan pasar pemerintah. “Pada saat itu pemerintah memang menerapkan pola sentralisasi untuk pengadaan obat,” ujar Dani. Dulunya menurut Dani, Departemen Kesehatan (Depkes) memegang peranan dalam menentukan obat apa yang dibutuhkan berdasarkan kebutuhan di daerah-daerah. “Selain mereka punya standar sendiri. Jadi pendekatannya selain bottom up tapi juga top down,” ujarnya. Seluruh kebutuhan obat-obatan ini disalurkan oleh Depkes ke seluruh wilayah di Indonesia sampai ke tingkat kabupaten dan kecamatan.

Adalah tugas Indofarma dan BUMN farmasi lain seperti Kimia Farma, Biofarma serta Rajawali Phapros untuk memproduksi pesanan obat dari pemerintah. Diantara ketiga BUMN itu Indofarma memperoleh bagian terbesar. Sepanjang tahun 1990-an sampai 2000, Indofarma hidup dari berbagai macam fasilitas. “Boleh dibilang kita tidak perlu mikir omset, omset itu pasti akan datang. Tinggal nunggu kontraknya,” ujar Dani. Dulu, dari 100% anggaran pemerintah untuk penyediaan obat-obatan, 80% diberikan di pusat dan 20% di daerah. Dari angka 80% itu Indofarma memperoleh sekitar 40-50%. Setelah desentralisasi pola ini berubah. Kini, semua dana didesentralisasi. Daerah pun bisa mengadakan obat sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Yang semakin membuat repot pemulihan Indofarma, adalah besarnya kapasitas produksi Indofarma. Alih-alih bisa memanfaatkan kapasitas secara maksimal, kini kapasitas produksi Indofarma semakin turun karena ketatnya persaingan. Dulu saat kondisi perusahaan masih normal, kapasitas puncak Indofarma bahkan hanya terpakai 80%-90%. Dari angka 90% tersebut 81% dipakai untuk memproduksi obat generik dan sisanya untuk memproduksi obat bermerek (branded) atau non generik. “Setelah daerah didesentralisasi yang branded-nya tetap, tapi yang generiknya menyusut,” ujar Dani. Dengan kompetitor yang semakin banyak, sementara pasar tumbuh tidak signifikan, kapasitas produksi obat generik Indofarma turun dari 81% menjadi 40-60%.

Kini sebagaimana perusahaan lain Indofarma harus menghadapi melemahnya nilai tukar rupiah. Seperti diberitakan Kompas, dua minggu lalu produsen obat yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Farmasi, diwakili oleh Sekjen GP Farmasi, Syamsul Arifin, meminta kenaikan harga obat generik ke pemerintah. Ketergantungan terhadap bahan baku impor yang tinggi (95%) menyebabkan obat generik kehilangan margin keuntungan. Komponen bahan baku menempati 70-80% porsi harga obat generik. Padahal sebelum rupiah melemah, kondisi nilai tukar rupiah terhadap US dolar yang cukup stabil selama kurang lebih 18 bulan, sangat membantu para pelaku farmasi untuk menciptakan pertumbuhan yang relatif signifikan.

Menurut Direktur dan Corporate Secretary PT. Kalbe Farma, Vidjongtius, pasar farmasi Indonesia secara umum menunjukan pertumbuhan yang positif dengan tren yang mengarah ke tingkat pertumbuhan sebelum krisis yaitu antara 11% - 14% setiap tahunnya. Angka ini beda-beda tipis dengan data dari IMS, sebuah perusahaan market riset di bidang farmasi. IMS menyebutkan, total pasar farmasi di Indonesia diperkirakan sebesar Rp7,6 triliun dengan pertumbuhan lebih dari 13,5% di tahun 2003. Rata-rata laju pertumbuhan selama 4 tahun terakhir ( 2000 - 2003) menurut IMS sebesar 23% namun trennya menurun dari tahun ke tahun. Saat ini ada 199 jumlah perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 35 perusahaan adalah PMA (Penanaman Modal Asing) dengan pangsa pasar yang diperkirakan mencapai 29.5%. Empat perusahaan lain adalah BUMN dengan pangsa pasar sebesar 7,0% dan sisanya PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dengan pangsa pasar 63.5%. Sebanyak 10 besar perusahaan Farmasi di tahun 2003 umumnya didominasi oleh 9 perusahaan lokal yaitu Sanbe Farma, Kalbe Farma, Dexa Medica, Bintang Toedjoe, Tempo Scan Pacific, Kimia Farma, Konimex, Phapros, Indofarma dan 1 perusahaan PMA yaitu Pfizer. Market share dari 10 perusahaan terbesar ini kurang lebih 40%.

Lebih baik

Nasib Kimia Farma (KF), “saudara kandung” Indofarma, boleh jadi lebih baik. Walaupun juga harus bermain di obat generik, Kimia Farma mempunyai bisnis yang lengkap dari hulu ke hilir. Tidak sebesar Indofarma, komposisi produk generik di KF “hanya” sebesar 60%. Sisanya 40% dibagi dua yaitu branded ethical dan Over The Counter (OTC), produk yang dijual bebas. KF total memproduksi sekitar 350 produk, termasuk di dalamnya obat generik berlogo (OGB). Untuk produk OGB, KF membatasi diri untuk bermain di produk amoxycilyn dan amphycilyn. Menurut Rusdi kedua produk ini harus tetap diproduksi demi guna melengkapi produk. “Walaupun kita tidak main di diskon besar-besaran kita harus tetap memetik keuntungan dari produk itu,” ujar Rusdi. Caranya, sebagai barang yang fast moving atau “pareto”, KF mencoba menekankan pada sisi kualitas. “Dibantu dengan jaringan apotik kita tidak kalah,” ujarnya.

Namun kini, kecenderungan mengurangi porsi obat generik bagaikan menjadi solusi. Perusahaan-perusahaan yang tidak dibebani dengan harus memproduksi obat generik, dan hanya memasarkannya, mencatat pertumbuhan yang signifikan. Contohnya Kalbe Farma. Perusahaan farmasi terbesar kedua di Indonesia, mencatat penjualan konsolidasinya yang tumbuh sebesar 13% dari tahun 2002 menjadi Rp2,9 triliun di 2003. “Kalau hanya dilihat penjualan divisi farmasi dan makanan kesehatan saja (tanpa divisi packaging) maka pertumbuhan penjualannya menjadi 15% dan berarti lebih besar dari pertumbuhan pasar farmasi Indonesia,” ujar Vidjongtius. Pertumbuhan yang baik ini didukung oleh pemasaran obat baru seperti Paxus (obat kanker), Hemapo (penambah sel darah merah), Fimalbumin (albumin), Fatigon Spirit (multi-vitamin) dan Chil School (susu bubuk untuk balita). Divisi farmasi Kalbe Farma memberikan kontribusi revenue sekitar 74% dari penjualan konsolidasi Kalbe. Angka ini disusul sumbangan 18% dari divisi makanan kesehatan, sementara divisi kemasan menyumbang 8%.

Kimia Farma juga berusaha mempercepat pertumbuhan obat baru. Hingga 2007 Kimia Farma berusaha meningkatkan porsi obat ethical dan OTC menjadi 60%, dari hanya 40%. Hal ini berarti menurunkan porsi produksi obat generiknya dari 60% menjadi 40%. “Kenapa? Karena kita mau daging daripada tulang,” ujar Rusdi. Obat generik menurut Rusdi sudah diproteksi oleh pemerintah. “Marginnya tipis sekali padahal kalau kita main di obat OTC dan etikal marginnya besar,” ujar Rusdi. Beberapa waktu yang lalu Kimia Farma meluncurkan produk bedak merek Mars. Kimia Farma juga mengembangkan obat HIV dan menjadi satu-satunya perusahaan yang dipercaya oleh pemerintah untuk memproduksi obat AIDS untuk ODA. ”Dan produk ini menurut betul-betul daging,” ujar Rusdi. Tahun ini Kimia Farma menargetkan meluncurkan 7 produk. “Arahnya memang ke ethikal dan OTC,” aku Rusdi.

Jumlah produk yang beredar di Indonesia kurang lebih 7,500 produk dimana 69% diantaranya adalah produk ethical dengan market share sebesar 62%. Sisanya 31% adalah produk OTC dengan market share sebesar 38%. Di 2003 terdapat 180 produk baru yang diluncurkan ke pasar dengan total kontribusi sebesar 0.7% dari total market. Dari jumlah tersebut, 61 diantaranya adalah produk OTC dengan market share sebesar 0.3%.

Setelah direstrukturisasi Kimia Farma mendirikan dua anak perusahaan yaitu PT Kimia Trading & Distribution dan PT Kimia Farma Apotik. Kekuatan jaringan apotik inilah yang jarang dimiliki oleh perusahaan lain. Per 31 Desember 2003, KF tercatat telah memiliki 316 jaringan apotik. “Jaringan ini membantu 10% distribusi obat KF,” ujarnya. Namun penyumbang laba terbesar KF menurut Rusdi Rosman, Investor Relationholding yaitu unit industrinya. Tahun 2003 Kimia Farma holding menyumbang laba sebelum pajak sebesar Rp39 miliar. Kimia Farma, ada di

Selain itu Kimia Farma juga mengembangkan bisnis baru yaitu laboratorium klinik. Tahun lalu KF sudah punya 9 laboratorium klinik. Tahun ini ditargetkan bertambah menjadi 24 klinik. ''Visi kita menjadi nomor dua setelah Prodia,'' ujar Rusdi. Margin untuk lab klinik KF menurut Rusdi jauh lebih besar daripada ''dagang obat". Oleh sebab KF tahun ini berani menargetkan laba bersih total setelah pajak Rp76 miliar. Dengan jaringan apotik di seluruh Indonesia, KF tidak perlu berinvestasi lagi karena klinik KF digabung dengan apotik-apotik KF yang mempunyai lokasi yang prima. “Tapi kita masih tetap konservatif, berhati-hati untuk mengembangkan perusahaan ini jangan sampai kejadian seperti 2 tahun yang lalu.” Ujar Rusdi. Laba KF dari tahun ke tahun mengalami penurunan drastis. Di 2000 KF sempat mencetak laba sebesar Rp169 miliar. Angka ini turun menjadi Rp99 miliar di 2001 dan turun lagi menjadi Rp22 miliar pada 2002. “Nah kalau 2003 ini kita tidak bisa bangkit, ya sudah kita habis,” ujarnya. Kuncinya menurut Rusdi adalah restrukturisasi dan fokus. “Kalau tidak fokus, terlalu banyak yang kita urusin, akhirnya kita kecolongan yang di investasi,” ujarnya. Tahun ini KF menargetkan penjualan menembus angka Rp2 triliun atau tumbuh 10,5%.

Monumental

Bersyukurlah Kimia Farma. Bagi Indofarma kini semua langkah menjadi penting. Apakah itu menggenjot produksi obat-obatan baru, melakukan efisiensi, dan merubah komposisi. Menurut Dani, Indofarma kini berusaha melakukan berbagai pendekatan. Yang pertama menurut Dani, memotong overall cost leadership. “Itu kunci untuk bisa bersaing di obat generik,” ujarnya. Indofarma juga harus bisa beroperasi dengan biaya serendah mungkin di semua lini, di distribusi, di produksi dsb. Langkah efisiensi ini diterapkan dalam semua jaringan pemasok dari mulai produksi sampai ke distribusi.

Namun itu teorinya. Seperti yang diakui Dani, prakteknya belum tentu sama. “Saya terus terang (sekarang) menjual kapasitas (pabrik),” tuturnya. Menurut Dani, Indofarma kini tidak akan memaksakan diri harus pakai merek Indofarma. Karena Indofarma collaps, banyak perusahaan lain yang mendapatkan, “durian runtuh dari Indofarma,” ujarnya. Dengan volume yang bertambah namun kapasitas kurang, Indofarma berinisiatif akan merangkul mereka. Hingga kini baru 1-2% kapasitas produksi Indofarma yang dimanfaatkan oleh perusahaan lain. “Saya lagi negosiasi untuk bulky atau produksi dalam jumlah yang banyak. Hitungan saya kurang lebih 10% kapasitas akan mereka pakai,” ujarnya.

Walaupun termasuk pasar “tulang”, untuk merebut pasar generik yang dulu dikuasai Indofarma menurut Dani sangat sulit. “Generik itu tidak ada loyalitas merek, seperti teh botol apapun makanannya minumnya teh botol,” ujarnya. Dengan kondisi pasar obat generik yang over supply harga jadi turun. Saat ini Indofarma memproduksi sekitar 160 obat generik. Yang paling besar pangsa pasarnya adalah amoxicilyn. Masalah lain, Indofarma selama ini lebih besar di pasar institusi, sehingga lupa untuk membesarkan pasar reguler. Pasar farmasi reguler menurut Dani harus didukung oleh armada untuk mendistribusikan produk ke apotik, toko obat dsb. Untuk itu tahun ini menurut Dani Indofarma membagi pembenahan dalam tiga tahap. Tahap pertama, survival, fokusnya lebih pada cash flow. Tahap ini dimulai dari bulan Juli 2003 hingga Maret 2004. Selanjutnya adalah tahap stabilisasi hingga akhir tahun 2005. “Di 2006 baru kita take off dengan New Indofarma dengan growth,” ujarnya.

Namun sekali lagi itu teori. “Kenyataannya saya harus melihat dengan kasus yang kemarin dengan adanya write of. Hal itu sebenarnya upaya untuk meringankan beban karena itu adalah aset yang tidak produktif,” ujar Dani. Masalahnya citra Indofarma menjadi korban. Saat ini Indofarma masih mengandalkan pinjaman dari bank sebesar Rp115 miliar. Dari Bank Mandiri sekitar Rp80 miliar dan dari Bank Bukopin sekitar Rp35 miliar. “Semua untuk modal kerja,” ujar Dani. Pinjaman ini sudah ada sejak 2001. “Waktu saya masuk total pinjaman Rp265 miliar sekarang tinggal Rp115 miliar. Kalau boleh dibilang ini adalah salah satu yang saya boleh klaim sebagai perbaikan yang saya lakukan,” ujarnya. Posisi terbaik pangsa pasar Indofarma terjadi di 2002 dengan market share 3,8%. “Dari data terakhir market share kita tinggal 2,2% jadi turun 1,6-1,7%,” ujarnya. Memang ini cobaan berat bagi Dani dan seluruh jajaran Indofarma. Namun apabila Dani berhasil langkah restrukturisasinya akan menjadi monumental.

Thursday, July 01, 2004

Nikmatnya Kartu Debit

Di Indonesia dan di seluruh dunia, kartu debit mulai mengalahkan kartu kredit

Sejak dua tahun yang lalu pola belanja Ratna, 29, karyawati sebuah BUMN berubah. Dulu ia mengandalkan kartu kredit untuk membeli segala hal, dari pakaian hingga belanja bulanan. Kini, masa itu sudah lewat. Sejak menikah dengan bekas pacarnya dulu semasa SMA, Doni, Ratna kini lebih bijaksana. Kartu kredit kini lebih banyak berfungsi sebagai hiasan di dompetnya. Andalannya adalah dua kartu debit dari sebuah bank swasta terkemuka. Dua? Ya, satu berfungsi sebagai tabungan dan yang kedua berfungsi sebagai alat belanja. Rekening kartu debit sebagai alat belanja, diisi dananya dari rekening Doni sesuai dengan kebutuhan.

Tren penggunaan kartu debit dan kartu debit di dunia memang mengalami pergeseran. Menurut Visa, hingga kuartal pertama 2004, pemakaian kartu debit Visa tumbuh 107% per tahun. Di Indonesia, Visa mulai memperkenalkan layanan kartu debitnya sejak 2000 dan hingga kini jumlah pemegang kartu debit Visa, menurut Ellyana C Fuad, Country Manager Indonesia, Visa Asia Pacific, mencapai 4 juta kartu. Jumlah ini disumbangkan oleh tujuh bank meliputi Bank Bukopin, Bank Buana Indonesia, Lippobank, Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Niaga dan Bank Permata. “Potensinya mencapai 60 juta nasabah,” tuturnya.

Data dari Global Insight Visa 2002, menyebutkan, di Indonesia, penggunaan kartu (baik debit maupun kredit) untuk pembayaran, yang disebut dengan “PCE penetration” baru berkisar 1,2% dari potensinya yang sebesar $115 miliar. PCE (Personal Consumption Expenditure) adalah jumlah pengeluaran keseluruhan konsumen dikurangi cicilan bulanan untuk dana pinjaman. Dilihat dari polanya, pembayaran dengan uang tunai masih mendominasi, angkanya mencapai 88,2%. Jumlah keseluruhan transaksi tanpa uang tunai (cashless transaction) ditambah pola pembayaran lain seperti pembayaran dengan cek, hanya sebesar 11,8%.

Bahkan, menurut Brian McGrory, Direktur Deposit Acces Visa Asia Pasifik, untuk pertama kalinya, volume transaksi kartu debit Visa di seluruh dunia berhasil melampaui volume kartu kredit, dengan nilai transaksi sebesar $1,48 triliun untuk kartu debit dan $1,45 triliun untuk kartu krebit. Diperkirakan di 2010, jumlah transaksi kartu debit di seluruh dunia akan tumbuh menjadi 91 miliar transaksi, meningkat dari hanya 33 miliar di 2001. Bandingkan dengan jumlah transaksi kartu kredit yang di 2010 diperkirakan mencapai 73 miliar (meningkat dari 33 miliar di 2001) atau jumlah transaksi dari pembayaran otomatisasi yang di tahun yang sama mencapai 46 miliar (naik dari hanya 20 miliar di 2001). “Di Indonesia, jumlah kartu debit bisa mencapai 15 juta di 2010,” ujar Ellyana.

BCA

Dan pemimpin pasarnya adalah BCA. Menurut Ina Suwandi, Deputy Division Head, Consumer Banking Division BCA dan Jack Rusli Irawan, Deputy Manager, Consumer Banking Division BCA, BCA memimpin pangsa pasar kartu debit dengan angka 80%. Per Juni 2004, jumlah pemegang kartu debit BCA mencapai 5,7 juta nasabah. “Kami saat ini lebih menekankan pada kualitas transaksi,” ujar Jack. Sejak difungsikannya kartu ATM BCA menjadi kartu debit di 1998, volume transaksi kartu debit BCA terus mengalami pertumbuhan. Dari data terakhir, volume transaksi kartu debit BCA mencapai Rp1 triliun setiap bulannya. “Dengan pertumbuhan 3-5% per bulan,” ujar Ina. Jumlah kartu debit BCA ini jauh meninggalkan jumlah kartu kredit BCA yang baru mencapai 700.000 (ditargetkan menjadi satu juta hingga akhir tahun). Bahkan angka ini juga melampaui jumlah kartu kredit secara keseluruhan di Indonesia yang pada Juni diperkirakan sebesar 4,86 juta (baca BusinessWeek Indonesia, No.52/II/9 Juni 2004).

Guna membangun jaringan kartu debit (dan kartu kreditnya), BCA mengeluarkan investasi sebesar $400-500 untuk setiap EDC (electronic data capture). BCA kini memiliki 25.000 EDC di 18.000 merchant dan 22.000 outlet di seluruh tanah air. BCA juga bekerjasama dengan jaringan Maestro dan jaringan ATM Cirrus dari Mastercard di seluruh dunia. Program akuisisi BCA menambah 3000-5000 jaringan EDC-nya. Program ini telah berhasil menarik 8 bank yang memanfaatkan EDC BCA untuk bertransaksi. Keunggulan kartu debit BCA yang lain adalah jaringan ATM BCA yang pada akhir tahun ditargetkan mencapai 3000 ATM. Terlepas dari program akuisisi yang dilakukan oleh bank-bank lain, BCA adalah bank terbesar yang memiliki sendiri jaringan ATM dan EDC-nya. “Pertumbuhannya ATM 10% per tahun,” ujar Ina.

Yang membuat kartu debit BCA juga semakin powerfull, adalah keberadaan CDM atau cash deposit machine. Walaupun bukan bank yang pertama menggunakan CDM, fasilitas ini memungkinkan nasabah untuk bisa menyetor uang tunai langsung tanpa melalui kasir. Saat ini BCA sudah memiliki sepuluh mesin CDM dan berencana menambah dua puluh mesin lagi hingga akhir tahun. Biaya investasi untuk CDM ini lebih dari 2 kali lipat biaya investasi ATM yang berkisar (ATM) antara $16.000-$20.000. “Saat ini sekitar 70-80% antrian adalah untuk setor uang. Alat ini akan menghilangkan citra BCA sebagai bank capek antri,” ujar Jack.

Berapa revenue yang diperoleh BCA dari transaksi kartu debit ini? “Hingga kini BCA masih belum mengenakan biaya untuk setiap transaksi,” ujar Ina. Kepada nasabah kartu debitnya, BCA hanya mengenakan biaya administrasi antara Rp7500-Rp15.000 per bulan. Sedangkan kepada merchant, BCA mengenakan biaya pulsa. Untuk program akuisisi, BCA mengenakan charge Rp3000 per transaksi bagi bank-bank lain yang memanfaatkan jaringan BCA. Menurut Jack, “kita sekarang lebih untuk penetrasi, namun mungkin suatu saat akan kita charge,” ujarnya. Dalam satu bulan menurut Ina, rata-rata ada satu juta pemegang kartu debit BCA yang melakukan transaksi debit. Sebanyak 3 juta dari 5,7 juta nasabah dilaporkan pernah menggunakan kartu debit. Dengan fakta tersebut ditambah apabila nanti BCA mengenakan fee, kartu debit berpeluang besar menjadi lebih seksi dari kartu kredit. Oleh Hizbullah Arief di Jakarta