Thursday, June 22, 2006

Zidan - The Latest

Wednesday, June 21, 2006

Selamat Datang di Pasar Bebas

SPBU Shell mulai masuk ke hati konsumen. Pom bensin Pertamina masih lamban berbenah diri. Isu lingkungan menghantui.

Genderang perang Shell dan Pertamina semakin nyaring dengan dibukanya stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Shell di Jalan Gatot Subroto pertengahan Mei lalu. SPBU ini adalah SPBU keempat Shell di Jabotabek dan SPBU ketiga Shell di Jakarta. SPBU Shell perlahan tapi pasti mulai menarik perhatian konsumen di wilayah Tangerang dan Jakarta. Shell menawarkan nuansa yang berbeda. Bukan hanya ruang terbuka luas dengan desain dan warna kuning SPBU yang menyolok, konsumen tampaknya juga menyukai layanan petugas Shell yang ramah dan trik-trik layanan kecil seperti layanan cek tekanan angin ban kendaraan dengan mesin digital dan upaya membersihkan kaca depan mobil saat sedang melakukan pengisian bahan bakar, gratis. “Antriannya juga tidak begitu panjang,” ujar salah seorang konsumen yang enggan disebut nama.

Shell memang terjun ke pasar bahan bakar non subsidi beroktan tinggi. Konsumen mengenali pasar ini dengan produk-produk seperti Pertamax dan Pertamax Plus produksi Pertamina. Tidak hanya dari sisi layanan, dari sisi harga pun BBM Shell bersaing. Shell Super dan Shell Super Extra dijual mengikuti standar harga international. Dari data per 6 Juni, Shell Super dijual dengan harga Rp6100 per liter, sementara Shell Super Extra Rp.6500. Shell berencana membuka 7 SPBU baru khusus di wilayah Jakarta hingga akhir tahun. Gatot Kariyoso, President Board of Commisioner Shell Companies di Indonesia mengatakan,” Peresmian SPBU Shell yang keempat ini adalah realisasi komitmen jangka panjang Shell di Indonesia.” Surinderdeep Singh, General Manager Retail untuk Shell Companies di Indonesia menambahkan, “Kami ingin menciptakan standar baru dalam layanan ritel bahan bakar minyak di Tanah Air.”

Pertamina menyadari ancaman ini. Khusus di SPBU yang letaknya berdekatan dengan SPBU Shell maupun Petronas, Pertamina memberikan subsidi selisih harga. Kelima SPBU yang mendapat diskon harga adalah SPBU di Jl Kemanggisan Utama Raya, Jl Kapten Tendean, Jl Mampang Prapatan Raya 8-9, Jl Imam Bonjol 63, Karawaci, dan Jl Bumi Perkemahan Cibubur. “Ini adalah konsekuensi dari liberalisasi pasar,” ujar Mochamad Harun, Juru Bicara PT Pertamina (Persero) kepada BusinessWeek Indonesia. Margin Pertamax dan Pertamax Plus yang ditawarkan oleh Pertamina untuk pemilik atau pengelola SPBU Pertamina cukup besar. Lebih dari Rp300 per liternya. Apabila Pertamax dan Pertamax Plus di SPBU bersaing dijual dengan harga Rp5900 dan Rp6200 (data per 7 Juni), berarti Pertamina harus memberikan subsidi tambahan antara Rp.300-Rp700 untuk Pertamax dan Rp350-Rp600 untuk Pertamax Plus agar harga kedua produk tersebut lebih rendah dari harga produk sejenis di SPBU pesaing. “Strategi ini adalah stategi jangka pendek, kita juga mendesak mereka untuk memperbaiki layanan dan gerai,” ujar Harun.

Bisnis BBM non-subsidi ini bagi Pertamina memang manis. Data yang diperoleh BusinessWeek Indonesia menyebutkan, omzet Pertamax dan Pertamax Plus mencapai angka 1400 kilo liter per hari. “Omzet per SPBU-nya mencapai 10-30 kilo liter per hari,” tutur Harun. Menurut Kurtubi, pengamat perminyakan, margin yang diperoleh Pertamina dari bahan bakar non subsidi sangat besar. Hal ini karena Pertamina memiliki infrastruktur pendukung yang lengkap seperti kilang, depo dan sarana distribusi atau transporter. “Kalau Pertamina menurunkan harga Pertamax dan Pertamax Plus mereka masih untung, tapi mereka masih terbebani oleh tugas mendistribusikan BBM subsidi ke seluruh Indonesia,” ujar Kurtubi. Tugas layanan masyarakat (Public Service Obligation, PSO) ini yang membuat Pertamina tidak bisa luwes bersaing.

Sementara Shell mendatangkan bahan bakarnya langsung dari kilang Shell di Singapura. Dari Singapura bahan bakar tersebut di simpan di depo yang disewa Shell di Merak sebelum kemudian didistribusikan ke empat SPBU Shell di Jakarta dan Tangerang. Menurut Fathia Syarief, Manager Corporate Communication, Shell Companies di Indonesia, pihaknya untuk saat ini belum memiliki rencana untuk membuka SPBU di luar wilayah Jabotabek.

Bukan kebetulan, karena pasar yang paling gemuk bagi Pertamina juga ada di wilayah-wilayah ini yaitu di Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Dari data yang diperoleh BusinessWeek Indonesia, terdapat 838 SPBU Pertamina di tiga wilayah ini. Dari jumlah tersebut sebesar 60% (sekitar 503 SPBU) menjual BBM non-subsidi diantaranya adalah Pertamax dan Pertamax Plus. Secara nasional jumlah SPBU Pertamina juga terus bertumbuh dengan pesat. Tahun ini Pertamina menargetkan pembangunan 683 SPBU baru. Pada kuartal pertama saja, Pertamina telah mengeluarkan 458 ijin pendirian SPBU atau 67% target rencana pembangunan SPBU tahun ini.

Apabila Shell bersaing dari sisi jumlah SPBU melawan Pertamina, itu bagaikan gajah melawan pelanduk. Shell akan butuh banyak energi dan investasi untuk bisa menyamai jumlah SPBU Pertamina. Dalam tataran praktis Shell juga akan butuh berinvestasi di kilang dan depo untuk mendistribusikan bahan bakarnya ke seluruh Indonesia. Siapkah Shell? “Draft regulasi PSO masih dalam tahap diskusi, kami belum ingin berkomentar. Kami siap melakukan investasi yang signifikan apabila kondisi yang diperlukan diterapkan,” ujar Fathia. Menurut Fathia, kini Shell akan terlebih dahulu fokus pada kuantitas, kualitas dan layanan pada konsumen.

Namun di sisi kualitas pula Shell sempat terganjal. Salah satu pompa di SPBU Shell di Karawaci hingga kini masih ditutup karena alasan yang sama. Bahan bakar Shell ditenggarai menyebabkan mobil konsumen mogok karena tercampur dengan air. Dari informasi yang diperoleh BusinessWeek Indonesia, aditif yang terkandung dalam bahan bakar bisa memicu sifat hidroskopis (menyerap air). Shell saat ini menggunakan MTBE (Methyl Tertiary Butyl Ether) untuk menggenjot oktannya. Ketika dikonfirmasi, Fathia menyatakan, MTBE tidak bersifat hidroskopis. “Ethanol lah yang mengandung sifat itu,” tuturnya.

Agus Eko Tjahjono, Kepala Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) kepada BusinessWeek Indonesia menyatakan, baik bio ethanol maupun MTBE sama-sama memiliki sifat hidroskopis. “Namun kadar hidroskopis MTBE jauh lebih kecil dibanding bio ethanol,” tutur Agus. Dalam artian, tercampurnya air ke dalam bahan bakar secara alamiah (akibat sifat hidroskopis tersebut), kecil kemungkinan terjadi. Penentunya adalah luas permukaan kontak dan waktu kontak yang terlalu lama dengan udara. “Sifat itu kemungkinan besar muncul karena kesalahan perlakukan penyimpanan,” tutur Agus. Menurut Agus, MTBE justru tidak disukai di beberapa negara karena sifatnya yang mencemari lingkungan. Walau zat aditif ini masih banyak digunakan di pasar AS misalnya, “Beberapa negara bagian sudah melarang penggunaan zat aditif ini,” tuturnya. PR baru bagi Shell?

PDA: Antara Kopi dan Teknologi

Peranti genggam ini semakin dikenal lewat fungsi dan teknologi. Ritel PDA semakin marak dan produsen berlomba mengeluarkan produk baru. Persaingan merambat ke operator seluler.

Jakarta pertengahan Mei, 2004. Saya tengah dikejar tenggat waktu. Hari Kamis adalah hari terakhir sebelum majalah naik cetak. Sebuah editan naskah yang masih setengah jadi sudah menunggu sementara saya harus melakukan wawancara pada hari yang sama. Di dalam taksi saat menuju ke lokasi wawancara, di tengah kemacetan Jakarta, PDA (Personal Digital Assistance) saya, Palm Zire 21 terbukti sangat membantu. Besarnya tidak lebih dari telapak tangan. PDA ini murah dan sederhana, berbingkai putih dengan bagian belakang abu-abu dan pelindung layar dari karet berwarna biru muda. Dengan bantuan peranti lunak Docs to Go naskah pun berhasil terselesaikan ketika saya masih dalam perjalanan kembali menuju kantor. Sesampai di meja kerja, saya melakukan sinkronisasi ke komputer dan wala…naskah pun siap di lay out oleh bagian desain grafis.

Di Indonesia, terutama di Jakarta, pengguna PDA tumbuh dengan pesat. Salah satu komunitas pengguna PDA, id-pocket pc, per 13 Juni telah memiliki 4554 orang anggota. Komunitas yang berdiri sejak 21 Juli 2001 ini menurut Herman Tjahya, sang admin adalah satu-satunya komunitas pengguna pocket pc di Indonesia yang diakui oleh Microsoft Mobile. “Tahun lalu anggota kami bertambah lebih dari 1000 orang,” ujar Rudy Aryanto, salah seorang pendiri kepada BusinessWeek Indonesia. Penguna Palm juga memiliki komunitasnya sendiri. Palm-Indo, yang berdiri pada 22 Mei 2001, per 13 Juni telah menjaring 2881 anggota. Anggota id-pocket pc lebih beragam, mereka adalah pemakai PDA berbagai merek yang menggunakan sistem operasi Windows Mobile. Sementara Palm-Indo beranggotakan pemilik PDA dengan sistem operasi Palm. Selain dua mahzab besar sistem operasi tersebut, pengguna PDA dengan sistem operasi alternatif seperti Linux pun sudah mulai bermunculan.

PDA menarik penguna dengan berbagai cara. Kebutuhan akan peranti lunak pengolah kata (words processors) mobil seperti yang saya lakukan adalah salah satu alasannya. Daftar alamat, kalender, agenda kerja, bahkan naskah dalam format word dan excel semuanya dapat diproses dengan cara yang mudah dan lebih menyenangkan. Kini fungsionalitas PDA telah berkembang sangat pesat. Fungsi multimedia, mobilitas dan koneksi tanpa kabel menjadi isu utama.

Puncaknya terjadi pada 2003. Konsumen Indonesia sebagaimana konsumen lain di wilayah Asia Pasifik semakin dimanja dengan perpaduan fungsionalitas PDA dan telepon (pdaphone). Tahun itu adalah tahun kejayaan O2, salah satu merek PDA phone asal Britania Raya. Toko ritel PDA baru pun bermunculan. Salah satunya adalah Tokopda.com, yang berdiri sejak Juni 2003. Hingga kini Tokopda memiliki 5 buah gerai dan dalam waktu dekat akan membuka satu gerai lagi di wilayah Jakarta. Nama-nama lain adalah C-Palm yang berdiri sejak 2000, Triyaso dan masih banyak lagi. C-Palm memiliki 4 buah gerai ritel dan berencana membuka satu gerai pada akhir tahun di Grand Indonesia.

Mendengar cerita dari para peritel ini adalah cerminan bagaimana PDA bisa semakin dikenal paling tidak di wilayah Jakarta. Sebelum mendirikan C-Palm, Tjandra Kisnata adalah seorang penggila gadget. “Saya sangat suka dengan Apple Newton (PDA dari Apple yg gagal dipasarkan) gara-gara menonton film Steven Seagal berjudul Under Siege,” tutur Tjandra. Dalam film itu, unit tersebut digunakan untuk mengirim fax dalam KA yg dibajak oleh terroris. “Saya mati-matian mencarinya hingga ke luar negeri,” tuturnya. Berawal dari memiliki Apple Newton inilah kegilaan Tjandra utk berganti-ganti PDA terus berlanjut. C-Palm mengawali bisnisnya dengan mendistribusikan produk HP Ericsson pertama yg dilengkapi modem infra merah (seri SH888 dan I888). Produk tersebut termasuk produk yang “aneh” yang susah dipasarkan untuk konsumen pengguna layanan suara (voice). Tjandra membidik pasar yang menggunakan produk itu untuk sms, email dan menjelajah internet. Pasar yang kini dikenal dengan nama pasar pengguna data. PDA pada saat itu memang masih menjadi pelengkap peranti seluler. “Saat itu kami masih menawarkan solusi dua pasang yang memadukan peranti mobil dengan PDA,” tutur Tjandra.

Pasar Data

Kini setelah fungsi PDA dan telepon terintegrasi, semua operator seluler juga mengincar pasar yang sama, pasar data. Indosat meluncurkan Indosat Blackberry pada akhir 2004. Ini adalah paket PDA Phone pertama yang didukung langsung oleh layanan seluler. Fitur unggulannya adalah teknologi push mail dimana pengguna bisa menerima email secara real time laksana menerima sms. Menurut Adita Irawati, Vice President Public Relations PT Indosat, sambutan pasar terutama di segmen korporasi atas produk ini sangat baik. “Hingga triwulan pertama 2006, pelanggan BlackBerry Indosat mencapai 3000 orang,” tuturnya. Hingga akhir tahun Indosat menargetkan pertumbuhan pelanggan hingga 66% atau mencapai hampir 5000 pengguna.

Telkom tidak mau kalah dengan meluncurkan layanan Ventus akhir Januari tahun lalu. Para pengguna PDA dengan sistem operasi minimal Windows Mobile 2003—selain pengguna Smartphone dengan sistem operasi Symbian—bisa memanfaatkan layanan email bergerak dari Telkom ini. Sementara Fren yang berbasis CDMA2000-1x menawarkan paket paska bayar Palm Treo 650 dengan biaya akses hanya Rp0,45- Rp2 per kilo byte.

Lillian Tay, Principal Analyst for Client Platforms dari Gartner kepada BusinessWeek Indonesia menyatakan, kerjasama dengan operator adalah salah satu alasan konsumen memlilih PDA berbasis seluler. Dari data Gartner, Blackberry produksi Research in Motion (RIM) yang dipakai oleh Indosat dan Palm oleh Fren adalah dua dari lima produk yang memimpin pasar penjualan PDA di wilayah Asia Pasifik. Ketiga produsen lain adalah HP, O2, dan Mio. Namun menilik dari sistem operasi yang digunakan—dari 1,41 juta unit yang dikirim untuk kawasan Asia Pasifik—sebanyak 74% menggunakan sistem operasi Microsoft. Hal ini berarti, jumlah penjualan PDA dengan sistem operasi Microsoft dari HP, O2, Mio dan sebagian di Palm masih unggul di wilayah ini dibandingkan dengan pesaingnya yaitu RIM dan Palm dengan sistem operasi mereka sendiri.

Awal bulan ini HP mengeluarkan dua produk baru, yaitu iPAQ 6828 dan 6818. Kedua PDA tersebut sudah dipersenjatai dengan prosesor Intel 416 Mhz, layar warna 2,7” berkualitas TFT, dengan memori internal sebesar 128 MB. Produk ini dipastikan akan bersaing langsung dengan produk O2 XDA Atom yang memiliki bentuk dan spesifikasi teknis yang hampir sama. Apalagi harganya juga tidak jauh berbeda. O2 Atom dijual lebih mahal sekitar Rp500 ribu. Pemain baru lain yang muncul adalah DOPOD. DOPOD menggunakan prosesor keluaran Texas Instrument OMAP berkekuatan 200 Mhz dengan layar yang sedikit lebih besar, 2,8”. Spesifikasi dan harga DOPOD juga hampir mirip dengan kedua pesaingnya.

Menurut Lillian, memori besar, ukuran layar, fasilitas WiFi dan email menjadi alasan konsumen membeli sebuah PDA baru. Konsumen juga memilih produk-produk yang lebih bergaya dan mudah digunakan. “Promosi dari mulut ke mulut—selain tentunya penciptaan brand awareness dan promosi oleh produsen (vendor) menjadi kunci sukses produk-produk baru ini.,” tuturnya.

Kunci sukses yang lain adalah gaya hidup. Para pengguna PDA di Jakarta kini juga semakin dimanja dengan maraknya konektifitas nirkabel melalui fasilitas hot spot baik berbayar maupun gratis yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Apabila Anda berkunjung di Hotel Nikko yang terletak di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat misalnya, Anda bisa menjelajah internet dengan gratis via fasilitas wi fi dari PDA Anda. Atau datanglah ke Plaza Semanggi. Sambil minum kopi di salah satu café di sana, Anda bisa berbagi informasi melalui akses berkecepatan tinggi bersama rekan-rekan Anda. Menurut Darwin Sutrisno, pemilik gerai Tokopda, produk-produk baru sekalipun dengan cepat bisa diterima oleh konsumen melalui kekuatan komunitas ini.

Dengan semakin banyak produk baru yang diluncurkan bisnis PDA menjadi semakin bergairah. Menurut Darwin saat ini terdapat sekitar 10.000 pengguna PDA di Indonesia yang bisa menjadi target pasar produk-produk baru ini. Tidak hanya bagi peritel juga bagi operator. HP mengkalim produk barunya adalah produk PDA pertama yang dilengkapi teknologi Microsoft Push Mail, fitur yang memungkinkan pengguna mendapatkan fasilitas push mail laksana Blackberry. Tanpa adanya produk baru, Tokopda menurut Darwin rata-rata hanya menjual 3-4 PDA setiap hari. Sesuatu yang tentunya bisa tertolong dengan kopi dan teknologi.