Wednesday, April 25, 2007

"Kartono" Kecilku

Monday, April 23, 2007

Bank-Bank Asing Kembali Bergerilya

Dengan prospek ekonomi yang membaik, bank-bank asing kian menyasar undersub segment—mereka yang tak memiliki akses ke perbankan.

OLEH HIZBULLAH ARIEF

Gedung bulu tangkis di kawasan Istora Senayan, akhir Maret lalu, bergemuruh. Yel-yel supporter membahana di udara, bagaikan di tengah pertandingan besar antara Indonesia melawan China—musuh bebuyutannya. Saat itu, hadir pula Rudy Hartono, sang legenda bulu tangkis dunia, juara delapan kali All England. Namun, coba tebak siapa yang duduk di samping Rudy? Pelatih bulu tangkiskah? Ternyata bukan. Ia adalah Stephen K. Green, Group Chairman HSBC Holding Plc, bos besar bank asal China tersebut. Bankir disamping Rudy? Tentu ini bukan pertandingan bulu tangkis. HSBC Indonesia tengah meluncurkan layanan keuangan personalnya berjuluk Pinjaman HSBC.

Diawali oleh ABN Amro Bank Indonesia tujuh tahun yang lalu, dalam beberapa tahun terakhir, bank-bank asing semakin giat meluncurkan layanan ini. Layanan yang dibungkus dengan istilah kredit tanpa agunan (KTA). Ada Standard Chartered Bank dan Citibank—yang hadir dengan Citifinancial 3 tahun lalu—yang turut meramaikan pasar. Pasar yang menurut istilah mereka disebut sebagai undersub segment. Ciri-ciri penghuni segmen ini adalah orang yang memiliki kemampuan meminjam tapi tidak memiliki dokumentasi yang dibutuhkan oleh perbankan—dengan kata lain, golongan ini tidak memiliki catatan di perbankan. “Orang-orang ini potensial tapi tak pernah bisa meminjam,” ujar Armand Furhad, Vice President Citifinancial Business Director, Citibank N.A.

Secara spesifik, HSBC mengelompokkan mereka sebagai orang yang memiliki pendapatan minimal Rp1,5 juta per bulan. ABN Amro mensyaratkan gaji minimal Rp3 juta per bulan atau menyasar segmen yang lebih tinggi. Citibank mengidentifikasi mereka dari prilaku memimjam. Segmen ini sering meminjam ke channel tradisional seperti penggadaian atau bahkan ke lintah darat. Mereka membutuhkan dana dalam waktu singkat untuk kebutuhan konsumsi maupun modal usaha. Menurut Armand, bagi mereka, jumlah cicilan per bulan jauh lebih penting daripada total pinjaman. “Kalau jumlah cicilan masuk dalam hitungan mereka, berapapun bunganya, mereka akan ambil,” ujarnya.

Singkat kata, menurut Riko Abdurrahman, Head of Consumer Finance, ABN Amro Bank Indonesia, ada 16 juta orang yang masuk dalam segmen ini. Armand dari Citibank juga meyebutkan angka yang sama. Mereka ini adalah karyawan dan wirausahawan yang tersebar di seluruh kota besar di Indonesia. Citibank berusaha mendekati mereka dengan membuat pusat kredit (loan center) di komunitas. Dari data terakhir, Citibank telah memiliki 34 loan center—18 diantaranya di Jabotabek dengan separuh sisanya di Bandung, Surabaya, Semarang dan Denpasar. HSBC menargetkan memiliki 90 cabang tahun ini dan 150 cabang tahun depan.

Baru 10% tergarap

Jaringan ini bagaikan “benteng” yang akan bergerilya merebut nasabah di setiap wilayah dalam radius 2,5 km dari tempat cabang didirikan. Berkembang bersama nasabah menjadi moto dari Citifinancial, layanan keuangan personal Citibank. Ini berarti mereka harus menyelami kebutuhan nasabah sekaligus membangun database mereka. Menurut Armand saat ini pihaknya “sedang belajar” untuk memberikan pinjaman secara tepat. Apabila berhasil, pembelajaran tersebut akan membawa Citifinancial melayani segmen yang lebih ke bawah dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah lagi.

Tak menampik kemungkinan, suatu saat Citifinancial akan bersaing dengan BPR dan layanan peminjaman lain seperti Danamon Simpan Pinjam (DSP). Namun hal itu dipastikan butuh waktu yang lama. Biaya pembukaan cabang menurut Armand dan Riko membutuhkan biaya yang sangat mahal. Bahkan ABN Amro yang telah terjun ke pasar ini selama lebih dari setengah dasawarsa pun masih mengandalkan sistem penjualan langsung. Menurut Riko, ABN Amro saat ini memiliki 1000 tenaga pemasaran kredit tanpa agunan.

Sebagai yang tertua di pasar, saat ini menurut Riko, ABN menguasai 20% pangsa pasar kredit tanpa agunan dengan 200.000 nasabah. Dari data tersebut, hitung punya hitung, penetrasi pasar kredit tanpa agunan, baru mencapai 1 juta nasabah. Masih ada 15 juta nasabah baru yang siap digarap. Apalagi dalam kenyataannya produk ini tidak hanya dimanfaatkan oleh mereka yang masuk dalam katagori undersub segment. Golongan menengah pun memanfaatkan KTA untuk renovasi rumah, biaya perkawinan atau untuk biaya sekolah anak. “Kalau sudah buka cabang kita tidak bisa pilih-pilih,” ujar Armand.

Dengan kata lain, mereka juga bisa masuk ke pasar kartu kredit (KK)—segmen yang sudah lama digarap oleh bank-bank asing ini. Apakah bisnis KTA ini menjadi kompensasi penurunan bisnis KK? Baik Riko maupun Armand menolak pendapat tersebut. “KTA dan KK berbeda. Kalau KTA lebih berdasarkan kebutuhan (need base), KK lebih ke gaya hidup,” tutur Riko. Menurut Armand, melalui Citifinancial, Citibank berupaya menggarap pasar yang belum tersentuh dan menargetkan pertumbuhan yang tinggi baik untuk KK maupun KTA.

Bukan Muhammad Yunus

Kini, persaingan tampak semakin sengit. Bank-bank lokal juga menawarkan layanan yang sama. Bank Mandiri misalnya, menawarkan kredit bebas agunan dengan plafon lima kali lipat dari gaji atau 2,5 kali dari limit kartu kredit. Lippobank juga sudah menawarkan layanan kredit tanpa agunan ini ke nasabahnya. Strategi dijalankan. HSBC menggandeng komunitas bulu tangkis dan mengucurkan dana hibah sebesar Rp2 miliar untuk pengembangan olah raga ini. Nantinya, di setiap turnamen yang digelar atau di setiap lapangan bulu tangkis yang dibangun, akan muncul logo Pinjaman HSBC. Dana hibah tersebut sekaligus alih-alih bisa menjadi biaya promosi. Citifinancial dalam waktu dekat akan menggandeng lembaga nasional untuk mempromosikan produknya. Armand menolak untuk menyebutkan nama lembaga itu pada BusinessWeek Edisi Indonesia.

Menurut survey perbankan yang diadakan oleh Bank Indonesia, permintaan kredit tahun ini akan terus meningkat. Pemberian kredit baru diperkirakan naik rata-rata 22% tahun ini. Sementara suku bunga konsumsi dalam rupiah terus turun dari rata-rata 17,17% pada triwulan IV tahun lalu menjadi rata-rata 16,42% pada triwulan I tahun ini. Suku bunga kredit modal kerja pada periode yang sama juga turun dari 15,67% menjadi 15,02%. Dengan tren positif ini, plus ramalan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6-7%, pasar-pasar baru akan tumbuh. Mereka yang jeli melihat peluang dan menerapkan strategi yang tepat di layanan keuangan pribadi akan memimpin—tak terkecuali di layanan KTA. Dan yang lebih penting lagi bank-bank asing ini sudah behitung dengan risiko. “Ini bukan kedit mikro ala Muhammad Yunus,” ujar Ravi Sreedharan, Head of Personal Financial Services HSBC Indonesia.

Tuesday, April 17, 2007

Tanjakan

Seorang rekan di komunitas pekerja bersepeda, B2W Indonesia, mengirim email pengalaman pertamanya yang membuatku terkesan.

Kira-kira bunyinya begini: "Aku sangat suka tanjakan. Bukan hanya karena tanjakan itu sendiri, tapi karena setelah tanjakan, selalu ada turunan."

Sungguh, bagiku, dibalik kalimat itu terkandung makna yang dalam. Setelah tanjakan selalu ada turunan. Allah berfirman: "Sesungguhnya setelah kesulitan selalu ada kemudahan."

Nikmatilah tanjakan dengan tabah dan tawakkal. Jangan lupa berikhtiar untuk mencapai puncaknya. Setelah itu nikmatilah turunan.

Dengan sepeda, angin terasa berhembus semilir menyejukkan jiwa. Kaki sejenak bisa beristirahat untuk bersiap menghadapi kayuhan dan tanjakan berikutnya. "That's what really life is all about isn't it?"

NB:

Untuk teman-teman Rodex (Rombongan Depok), Robeks (Rombongan Bekasi) dan semua rekan-rekan B2W Indonesia.

Wednesday, April 11, 2007

Sepeda Bagiku

Sepeda, bagiku adalah kemandirian
Adalah perjuangan hidup
Adalah determinasi
Sepeda adalah membumi

Monday, April 02, 2007

Depok, March 30, 2007, 05.30 a.m