Farmasi: Mandiri dengan Produk Alami
Produk-produk herbal bersinergi dengan litbang modern bisa menciptakan kemandirian di industri farmasi
OLEH: HIZBULLAH ARIEF
Ini adalah kisah penemuan obat berbahan alami Indonesia. Adalah Suprapto Ma’at, seorang peneliti asal Jawa Timur yang tertarik mengembangkan meniran (Phyllantus Niruri) setelah membaca sebuah jurnal kesehatan yang menyebutkan bahwa di Madras, India, tanaman ini dapat digunakan untuk mengobati penyakit Hepatitis B. Meniran adalah jenis tanaman semak yang bisa Anda temukan di halaman rumah Anda. Tanaman ini mudah tumbuh di daerah tropis. Daunnya bersirip genap, di bawahnya terdapat bulatan kecil putih seperti bulir padi atau menir dalam bahasa Jawa.
Setelah meneliti tanaman obat ini selama 5 tahun (dari 1992-1997), Suprapto menemukan bahwa meniran ternyata tidak hanya berkhasiat untuk mengobati Hepatitis B namun juga bisa digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. PT. Dexa Medica—berdasarkan hasil penelitian Suprapto—tertarik untuk memproduksi tanaman obat ini dengan merek dagang Stimuno. Menurut Raymond R. Tjandrawinata, Director of Scientific Affairs and Corporate Development, Dexa Medica, Stimuno kali pertama diluncurkan pada 1998 dalam bentuk jamu. Pada 2000 dilakukan uji klinis yang mencakup 20 protokol. Uji klinis tersebut baru selesai pada 2004. Pada Maret 2005, Stimuno mendapatkan sertifikat fitofarmaka, yaitu obat berbahan alami Indonesia yang telah dibuktikan aman dan berkhasiat bagi manusia. Kini Stimuno telah diekspor ke berbagai negara di wilayah ASEAN, termasuk ke Jepang, Tunisia, Maroko, dan Afrika Selatan. Seratus persen bahan bakunya berasal dari Indonesia.
Stimuno adalah salah satu cerita keberhasilan industri farmasi di Tanah Air mengembangkan obat herbal berbahan baku asli Indonesia. Sudah jamak diketahui bahwa hingga kini, industri farmasi masih mendatangkan 90% bahan baku obatnya dari luar. Ketergantungan bahan baku ini karena industri farmasi dasar Indonesia, jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain seperti India, Korea, Taiwan dan China. Bahan baku obat impor ini biasanya dipakai untuk memroduksi obat-obatan hasil formulasi dari obat-obatan yang telah habis masa patennya (off paten).
Dana minim
Memroduksi obat-obatan formulasi memang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan meneliti atau menciptakan obat-obat baru. Apalagi menurut Rifatul Widjhati, Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT), industri farmasi di Tanah Air memang masih sangat lemah dalam bidang penelitian. “Masih banyak perusahaan farmasi yang sifatnya hanya trading (melakukan perdagangan) dan manufacturing (memanufaktur) obat,” ujarnya. Bagi perusahaan farmasi, penelitian dan penemuan obat-obat baru adalah cost center. Biaya untuk riset obat baru bisa mencapai $500-700 juta. Dan dibutuhkan waktu yang lama, 10-12 tahun, untuk menemukan obat baru. “Sehingga harga obat menjadi sangat mahal. “(Penemuan obat baru) menjadi wilayah dari negara-negara maju,” tuturnya.
Menurut data Gabungan Perusahaan Farmasi, industri farmasi di Tanah Air baru menganggarkan 1-2% dari penjualan mereka untuk penelitian. Sehingga industri farmasi lokal, menurut KAI Selomulya, Ketua Badan Litbang GP Farmasi, tidak dapat bersaing dengan negara maju dalam penciptaan produk baru. Masalah lain, pasar farmasi Indonesia masih relatif kecil dibandingkan pasar dunia. Menurut Selomulya, pangsa pasar dunia tahun lalu telah mencapai lebih dari $600 miliar, sedangkan pangsa pasar Indonesia baru $2,5 miliar. Jadi tidak heran bila industri farmasi lokal lebih melayani pasar dunia dengan memproduksi obat-obat formulasi atau bekerja sama dengan perusahaan luar untuk memroduksi obat-obatan lisensi. “Belanja obat perkapita penduduk Indonesia juga sangat kecil, sekitar $11. Hal ini karena biaya kesehatan sebagian besar (85%) ditanggung sendiri, baru sisanya (15%) ditutup oleh perusahaan asuransi,” tutur Selomulya.
Walau tak bisa bersaing dalam penciptaan produk baru, menurut Selomulya, industri farmasi lokal masih bisa bersaing dalam pasar OTC (over the counter, obat yang dijual bebas). Dan obat herbal bisa menjadi solusi untuk mengatasi minimnya biaya penelitian dan besarnya ketergantungan akan bahan baku dari luar negeri. Apalagi potensi pasar obat herbal di Tanah Air juga lebih bersinar. Menurut penelitian Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT, pertumbuhan pasar obat herbal di Tanah Air mencapai 15-20% per tahun. Lebih unggul dari obat modern yang hanya 10-12% per tahun.
Saat ini obat-obatan herbal baru menyumbang 10% dari jumlah obat-obatan yang ada di pasar, 90% sisanya adalah obat modern. Pada 2010, Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT memperkirakan komposisi obat-obatan herbal di pasar akan meningkat hingga 17%. Untuk membahas potensi tanaman obat ini, pemerintah telah membentuk Kelompok Kerja Tanaman Obat Indonesia yang melakukan pertemuan dua kali dalam setahun yang beranggotakan para peneliti dan praktisi industri farmasi.
Kecolongan
Namun tetap saja Indonesia sudah banyak kecolongan. Bulan lalu, BPPT kedatangan tamu delegasi dari Korea. Kunjungan yang difasilitasi oleh kementrian riset dan teknologi kedua negara tersebut membahas salah satunya mengenai obat herbal. Anggota rombongan, Profesor Hwang dari Hounsei University, Korea, menunjukkan produk-produk herbal dalam bentuk jadi yang diproduksi dari bahan baku asli Indonesia yaitu temulawak. Mulai dari odol, sampo, obat perawatan wajah, hingga obat kanker. Menurut Hwang, seperti dikutip oleh Rifatul, “Temulawak jauh lebih berkhasiat dari ginseng Korea.” Negara-negara lain seperti Jepang juga telah mengembangkan produk herbal berbahan baku asli Indonesia, seperti produk herbal berbahan baku Buah Merah dari Papua.
Menyadari ketertinggalan ini, kementrian riset dan teknologi menganggarkan Rp70-100 miliar per tahun untuk menggairahkan penelitian. Namun lagi-lagi dana itu harus dibagi dalam enam fokus penelitian: teknologi informasi dan telekomunikasi, pangan, energi, transportasi, pertahanan dan keamanan (hankam) serta kesehatan dan obat-obatan. Untungnya industri farmasi yang telah melihat potensi produk herbal ini tak tinggal diam. Menurut Sukma Nuswantara, Director Biotechnology & Research Division, Sanbe Farma, pihaknya tengah membangun pusat riset dan pengembangan enam lantai di daerah Cimahi yang mengakomodir riset bioteknologi, obat-obatan kimia dan obat herbal. Sementara Dexa telah memiliki pusat riset di daerah Cikarang. Baik Sukma maupun Raymond menolak menyebutkan jumlah investasinya. Namun dipastikan mencapai ratusan miliar rupiah.
Proses pengembangan produk herbal baru berbahan alami Indonesia biasanya melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah berbentuk produk jamu—seperti Stimuno ketika pertama kali dipasarkan. Tahap kedua berbentuk produk herbal terstandar yang telah diuji dan dinyatakan aman pada hewan, dan tahap ketiga adalah fitofarmaka yang telah diuji klinis dan dinyatakan aman pada manusia. Menurut Rifatul, biaya uji klinis untuk fitofarmaka bisa mencapai Rp2-4 miliar. Biaya ini jauh lebih murah bila dibandingkan dengan biaya riset obat baru yang mencapai $500-700 juta.
Mandiri
Namun biaya uji klinis tersebut tidak berbanding lurus dengan jumlah produk herbal baru di pasar. Produk level ketiga, yaitu fitofarmaka yang sudah beredar hanya 5 produk. Yaitu Stimuno dari Dexa Medica, No Diare dari Kimia Farma, Rheumanir dari Nyonya Meneer, Tensi Gard dan X-Gra dari Phapros. Sementara jumlah produk level kedua, yaitu produk herbal terstandar, baru mencapai 17 produk. Di bawahnya ada ribuan jamu yang berpotensi naik kelas menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka.
Potensinya luar biasa besar. Menurut Rifatul, Indonesia memiliki ragam biologi (bio diversity) terbesar kedua setelah Brasil. “Terdapat 30.000 spesies tanaman, 10.000 diantaranya adalah tanaman obat,” ujarnya. Namun berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Tim CoData Indonesia pada 2000, baru sekitar 260 tanaman obat Indonesia mulai dari Adas, Andong, Angsana, Mahkota Dewa, Permot, Kenop hingga Wijaya Kusuma yang sudah masuk dalam industri komersial.
Kuncinya kembali ke penelitian. Pengalaman Afrika Selatan layak dicontoh. Negara tersebut bahkan berinisiatif mengumpulkan para healer (seperti tabib di Indonesia) yang jumlahnya mencapai 200.000 orang, hanya untuk mencatat informasi-informasi empiris dari pengobatan warisan para lelulur yang digunakan oleh mereka. Bidang ilmu ini disebut sebagai etnofarmasi. “Di Indonesia, siapa yang mau mengejar data-data ini? Jangan sampai potensi yang luar biasa besar ini hilang,” ujar Rifatul.
Dan apabila potensi produk herbal Indonesia disinergikan dengan kemajuan di bidang bioteknologi dan nanoteknologi, Indonesia mungkin tidak butuh waktu berpuluh tahun mengejar ketertinggalannya di industri farmasi. “Karena semua obat berasal dari alam. Bahkan unsur obat kimiawi juga berasal dari alam, mengapa tidak mengoptimalkan potensi alam kita,” tutur Rifatul. Dan warisan dari para leluhur bisa jadi awal yang sempurna.