Monday, March 05, 2007

Paradoks Bursa Efek Jakarta

Bursa Efek Jakarta butuh darah segar untuk memperkuat fundamentalnya yang rapuh

OLEH: HIZBULLAH ARIEF

Apakah Anda pernah mendengar perusahaan bernama PT Tudung Putrajaya? Jika tidak, saya ada sedikit petunjuk. Perusahaan ini adalah produsen tepung tapioka yang didirikan oleh Darmo Putro di Pati, Jawa Tengah pada 1958. Masih belum nyantol juga? Bagaimana bila satu lagi petunjuk? Dalam perkembangannya mereka memproduksi kacang garing bermerek Garuda. Ya… Kacang Garuda. Otak Anda pasti langsung teringat satu nama: Garudafood.

Anda benar, perusahaan itu kini tampil sebagai Grup Garudafood. Nama Garudafood saat ini bisa dijumpai di mana saja, bahkan di warung kelontong di dekat rumah Anda. Produknya tidak hanya kacang garing. Ada biskuit, kacang atom, kacang telor, kacang madu, minuman ringan, hingga keripik kentang. Pada 1998, perusahaan ini menguasai 65% pangsa pasar produk makanan kacang di Indonesia. Kini jaringan pemasarannya sudah merambah seluruh wilayah ASEAN, bahkan hingga ke wilayah Eropa, Australia, Amerika Utara hingga Timur Tengah.

Keberhasilan perusahaan yang digawangi CEO, Sudhamek A.W.S ini menjadikannya sebagai perusahaan yang digadang-gadang untuk segera masuk bursa oleh para analis saham. Parto Kawito, manajer investasi dari Indopremier Securities adalah salah satunya. Apalagi tahun ini dipandang sebagai tahun yang tepat bagi perusahaan tertutup seperti Garudafood untuk mencatatkan diri di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Apa pasal?

Sejak 2002, BEJ terus menunjukkan kinerja yang sangat dinamis. Indeks berkali-kali menembus rekor dan telah naik 350% pada akhir tahun lalu. Likuiditas yang pada 2002 tercatat hanya Rp493 miliar per hari, saat ini telah mencapai angka Rp2,55 triliun perhari. Itu semua berarti kesempatan besar bagi perusahaan tertutup dengan masa depan cerah seperti Garudafood untuk mendapatkan modal dari BEJ. Apalagi dalam wawancara dengan BusinessWeek Edisi Indonesia, 19 Februari lalu Sudhamek menyatakan perusahaannya sudah siap lahir batin untuk masuk bursa.

Belum saatnya

Lantas, apa lagi yang ditunggu? Alih-alih memilih bursa lokal. Apabila waktu go public tiba nanti, Sudhamek malah mengincar bursa tetangga, Singapore Stock Exchange (SSE) atau Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE), sebagai tempat untuk melabuhkan kepemilikan sahamnya. Dan sebelum saat itu tiba, perusahaannya lebih memilih untuk mendapatkan pendanaan dari pasar uang atau dalam bentuk dedicated loan, kredit dari perbankan. “Sekarang bukan waktu yang tepat (untuk mencatatkan diri di Bursa Efek Jakarta),” tuturnya.

Aspirasi Sudhamek mungkin mewakili ratusan bahkan ribuan perusahaan tertutup lain di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk mencatatkan diri di BEJ. Pada kenyataannya dari tahun ke tahun, jumlah perusahaan baru yang mencatatkan diri ke BEJ masih bisa dihitung dengan jari. Walau tahun lalu kapitalisasi pasar BEJ mengalami lonjakan yang luar biasa dari Rp800 triliun ke Rp1200 triliun, kapitalisasi pasar primer (primary market)—yang bersumber dari pencatatan emiten baru—tercatat hanya berkisar Rp3 triliun atau $300 juta. Sisanya disumbang pasar sekunder yaitu pasar emiten yang sudah eksis.

Langkanya emiten baru di BEJ bukan tanpa sebab. Sudhamek menyebut pertimbangan PER (Price Earning Ratio) sebagai salah satu alasannya. Dibanding dengan bursa efek regional seperti Bursa Efek Singapura (SSE) dan Bursa Kuala Lumpur (KLSE), PER—yang mengindikasikan rasio harga saham dibanding dengan pendapatan—BEJ, termasuk paling rendah yaitu 14,7. Sementara PER di SSE dan KLSE tercatat 17.

Ini artinya, harga saham perusahaan di BEJ masih dinilai lebih rendah dibanding harga saham di bursa sewilayah. Akibatnya, bila ada perusahaan yang hendak mencatatkan diri di BEJ, itu berarti, mereka harus siap menjual kepemilikan (saham) lebih banyak untuk mendapatkan modal yang mereka butuhkan, karena harga saham mereka yang masih dinilai murah.
Kapitalisasi pasar BEJ yang kecil menjadi kekhawatiran Sudhamek yang kedua. “Dengan jumlah pemain yang terbatas, BEJ jadi mudah digoyang,” tuturnya.

Fundamental bermasalah

Hal ini sangat disadari oleh Airlangga Hartarto, Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI). Menurut Airlangga, pertumbuhan kapitalisasi pasar di BEJ sangat rentan. Faktor fundamental BEJ menurutnya “sedikit” bermasalah. “Bursa kita hanya didorong oleh 22 saham saja,” tuturnya pada BusinessWeek Edisi Indonesia, 26 Februari lalu. Sebanyak 45 emiten menguasai 80% kapitalisasi pasar.

Akibatnya, kenaikan keuntungan dari perusahaan publik tidak tercermin pada kenaikan kapitalisasi pasar. Kenaikan kapitalisasi pasar lebih tergantung pada faktor regional dan sentimen lokal. Penyebabnya menurut Airlangga adalah investor asing. Dari 600.000 investor yang tercatat di data resmi BEJ, 60%-nya masih dikuasai oleh investor asing. “Dan investor asing sangat terpengaruh oleh dua hal tadi (faktor regional dan sentiment lokal),” tuturnya.

Melonjaknya transaksi di BEJ (kabarnya mencapai Rp4 triliun, jauh di atas rata-rata transaksi harian yang sebesar Rp2,5 triliun) yang terjadi pada Rabu (28/2) lalu—yang dipicu oleh terkoreksinya bursa Shanghai sebesar 9% akibat ketakutan akan prospek ekonomi China—membuktikan teori ini. IHSG juga sempat terkoreksi hingga 5%. Dan karena kebanyakan dana yang lari adalah dana asing, maka rupiah pun tertekan hingga mencapai level Rp9.172.
Untuk mengatasinya, tidak ada jalan lain selain mengganjal lemahnya faktor fundamental itu dengan emisi-emisi baru. Jumlah modal yang bisa diraup di BEJ juga harus terus ditingkatkan. “Dalam artian pasar modal harus benar-benar dijadikan sumber pembiayaan sebagaimana terjadi di luar negeri,” tutur Airlangga.

PER yang rendah di satu sisi menguntungkan investor karena bisa membeli saham dengan harga murah dengan potensi pendapatan yang besar. Namun di sisi lain merugikan perusahaan tertutup yang akan masuk bursa karena harga sahamnya dinilai murah. Saat ini emiten di BEJ menurut Airlangga masih membatasi jumlah saham yang beredar di bawah 40%.
Dengan kondisi itu, menarik perusahaan untuk masuk bursa tidak mudah. Erry Firmansyah, Direktur Utama BEJ adalah sosok yang paling bertanggung jawab di balik upaya ini. Saat ini BEJ baru memiliki 342 emiten. Bandingkan dengan 709 emiten yang tercatat di Bursa Efek Singapura per Januari. Berbagai rayuan pun dijuruskan. Kepada BusinessWeek Edisi Indonesia akhir Februari lalu, Erry menyatakan, PER di BEJ sudah tidak lagi murah namun juga tidak mahal. “PER kita sudah fair dengan kondisi regional,” tutur Erry. PER BEJ hanya kalah dengan bursa Korea dan Thailand yang lebih rendah. Namun masih di bawah Singapura dan Malaysia. Sehingga, “Masih ada ruang untuk tumbuh, waktunya untuk masuk pasar” tuturnya.

Haryajid Ramelan, Sekretaris Asosiasi Analis Efek Indonesia juga menilai masih ada ruang untuk mengeruk pendapatan (earning) dari bursa. Rata-rata pendapatan di BEJ mencapai 20-30%.

Tanya kenapa?

Dan potensi IPO perusahaan dalam negeri menurut Erry masih sangat besar. Salah satu sektor yang sedang hot adalah perkebunan. “Sedikit sekali perkebunan yang go public sementara perkebunan kita begitu banyak. BUMN Perkebunan satupun tidak ada, kenapa?” tanyanya. Menurut Erry menjadi perusahaan publik yang mahal adalah cost of transparency-nya. ”Dan hal itu tidak bisa dinilai dengan uang.” Erry ingin menekankan dua hal. Pertama, semakin banyak perusahaan yang masuk bursa maka tata kelola negara pun semakin membaik. Hal ini karena, “Mohon maaf, banyak perusahaan (tertutup) yang masih bisa ‘bermain’ dengan pajak,” ujarnya. Kedua, filosofi perusahaan masuk bursa harus diubah—tidak hanya untuk mencari modal tapi juga untuk kelangsungan perusahaan. “Contohnya Astra. Kalau tidak go public, Astra mungkin sudah hilang,” tambahnya lagi.

Namun berwacana tidaklah cukup. Perlu insentif riil untuk menarik perusahaan masuk bursa. AEI mengusulkan agar pemerintah memberi insentif pajak bagi perusahaan yang go public. “AEI mengusulkan pembedaan pajak 5-10% bagi perusahaan publik,” ujar Airlangga. Hal ini dikarenakan biaya go public yang tinggi. Termasuk biaya untuk memenuhi syarat-syarat keterbukaan di bursa. “Kalau tak ada kompensasi maka yang terjadi adalah seperti 5 tahun terakhir. Jumlah emisi baru relatif stagnan,” tuturnya.

Menurut Airlangga, Spanyol sudah memberikan insentif pajak seperti ini. Juga Jepang yang memberikan pajak deviden 0%. Saat ini insentif perpajakan masih mengunggu selesainya pembahasan UU perpajakan. Bola ada di tangan DPR dan pemerintah. Tahun ini BEJ menargetkan 25 emiten baru. Pada saat yang sama pemerintah berencana memprivatisasi 15 BUMN.

Sesuai kesepakatan Komite Privatisasi, BNI, Jasa Marga, Wijaya Karya, Garuda Indonesia, Merpati, ISI, Iglas, Cambrics Primisima menjadi BUMN mayoritas yang akan diprivatisasi. Menurut Menteri Negara BUMN, Sugiharto, privatisasi tahun ini akan difokuskan pada BNI, Jasa Marga dan Wijaya Karya. Khusus BNI, BNI berencana melakukan right issue untuk menambah kapitalisasinya di pasar sekunder guna meraih Rp4,4 triliun.

Menurut Airlangga, BUMN yang memiliki sifat alami (nature) monopoli, berpotensi menjadi saham blue chip di pasar. Namun menilik kasus PGN tampaknya banyak BUMN yang masih harus belajar soal transparansi, sebelum memprivatisasi diri. Menurut Parto, kasus PGN bisa menjadi contoh keseriusan BEJ dan Bapepam dalam menjaga kewibawaan bursa. Erry sendiri menanggapi positif tuntutan itu. “Ada miskomunikasi antara perusahaan dan investor (pada kasus PGN). Itu yang sedang kita selidiki,” ujarnya.

Apabila transparansi belum bisa ditegakkan dan tidak ada insentif bagi perusahaan yang go public, maka wajar Sudhamek dan ribuan CEO perusahaan tertutup lain berpikir dua kali untuk masuk bursa. Saatnya BEJ, pemerintah dan DPR membuktikannya.

Tabel.1
Lain Bursa Lain Ladangnya

BURSA / JUMLAH EMITEN / KAPITALISASI PASAR / PER

BEJ / 342 / $132,8 miliar / 14,7
SSE / 709 / $632 miliar / 17

Tabel 2.
2 juta
Target jumlah investor di BEJ pada 2008 dibanding 600.000 investor saat ini

Tabel. 3
STAGNAN
Jumlah Emiten di BEJ

TAHUN / 2002 / 2003 / 2004 / 2005 / 2006 / 2007*
JUMLAH / 331 / 333 / 331 / 336 / 344 / 342

* Per Februari 2007

0 Comments:

Post a Comment

<< Home