Wednesday, October 04, 2006

Berdialog dengan Bank Syariah

Bank syariah memerlukan lebih dari pendekatan spiritual untuk bersaing dengan perbankan konvensional. Ini sebagian diantaranya.

Apa kabar perbankan syariah? Jika sistem ini dianggap sebagai sebuah organisme ia tentu akan menjawab, “Baik-baik saja, terima kasih.” Bagaimana tidak, dalam lima tahun terakhir, sejak Desember 2001 sampai Juni tahun ini, total asset perbankan syariah terus meningkat dari Rp2,728 triliun menjadi Rp 22,701 triliun. Jumlah dana pihak ketiga (DPK) pun terus bertambah, dari Rp1,806 triliun menjadi Rp16,433 triliun. Rata-rata pertumbuhan asset perbankan syariah dalam lima tahun terakhir mencapai 65% per tahun. Bandingkan dengan pertumbuhan asset di perbankan konvensional yang hanya 7% per tahun.

Namun jika ditilik lebih lanjut, jumlah asset dan dana pihak ketiga di perbankan syariah masih kalah jauh dengan perbankan konvensional. Total asset bank umum per Juni 2006 telah mencapai angka Rp1.519 triliun dengan jumlah DPK yang mencapai Rp1.168 triliun. Asset perbankan syariah hanya 1,5% dari perbankan nasional sementara DPK perbankan syariah hanya 1,4% dari perbankan konvensional.

Apa artinya? Masih tersisa ruang yang sangat besar bagi perbankan syariah untuk terus tumbuh. Masalahnya, memasarkan produk-produk perbankan syariah memang gampang-gampang susah. Sebanyak 85% dari penduduk Indonesia adalah muslim. Namun jika menilik data statistik di atas tampaknya bank syariah harus berjuang keras untuk bisa merebut pangsa pasar muslim—pasar yang notabene identik dengan sistem perbankan ini—dari perbankan konvensional.

Bahkan setelah lebih dari 14 tahun perbankan syariah berkiprah, masih sering terdengar di kalangan awam pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa itu riba? Apa perbedaan antara perbankan syariah dan konvensional? Atau kalimat seperti ini: “ ‘Istri saya curiga saya akan pindah agama ketika membuka rekening di bank syariah,’ atau ‘Produk-produknya terlalu banyak berbahasa Arab.’ ”

Masalah rasional

Kondisi di atas tak lepas dari berbagai permasalahan yang masih lekat dengan perbankan syariah. Jaringan distribusi bank syariah adalah salah satunya. Secara psikologis atau praktis, jaringan bank syariah berfungsi mendekatkan layanan syariah kepada konsumen atau nasabah. Bahkan layanan Shar-E dari Bank Muamalat Indonesia yang memungkinkan nasabah untuk membuka rekening dengan membelinya di kantor pos dan melakukan aktivasi via telepon belum mampu menggantikan “kedekatan fisik” ini.

Dari data per Juni tahun ini, jumlah kantor bank umum syariah (BUS) melonjak menjadi 312 kantor dari hanya 84 kantor pada akhir 2001. Sementara kantor unit usaha syariah (UUS) berkembang dari hanya 12 kantor pada akhir 2001 menjadi 145 kantor pada Juni 2006. Namun jumlah itu masih jauh dari mencukupi untuk bisa menjangkau seluruh wilayah Tanah Air. Jaringan kantor perbankan syariah seperti terpusat di wilayah DKI Jakarta (107 kantor BUS dan 67 UUS), diikuti dengan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sumatra Utara.

Saefudin Noer, Direktur Bank Muamalat Indonesia mengakui kekurangan ini. “Target pasar yang tersebar tidak dapat dilayani oleh jaringan fisik perbankan syariah,” tuturnya. Bank Muamalat Indonesia memperkirakan, biaya untuk pembukaan kantor di lebih dari 450 kabupaten mencapai Rp1 triliun. “Tidak ada modal yang mampu menanggung investasi ini,” ujar Saefudin. Menurut Adiwarman Karim, President Director, Karim Business Consulting dalam presentasinya akhir Agustus lalu, saat jaringan perbankan syariah terus bertambah, perhatian nasabah juga akan semakin meningkat. Demikian juga tuntutan konsumen terhadap kualitas layanan dan kenyamanan di perbankan syariah. Konsumen akan selalu memperbandingkannya dengan layanan yang mereka peroleh dari perbankan konvensional.

Sedikit yang inovatif

Isu jaringan distribusi, kualitas pelayanan dan kenyamanan bisa mengurangi motif nasabah untuk mengadopsi sistem perbankan syariah. Alasannya, mengutip Alexander Mulya, Brand Specialist dari Markplus Institute of Marketing, hanya seperenam dari populasi usia produktif (15-55 tahun) di Tanah Air yang memiliki sifat inovatif, dalam arti berani mengambil risiko untuk mencoba hal-hal baru. Sebagian besar penduduk Indonesia bertipe pragmatis dan konservatif.

Tipe pragmatis adalah mereka yang cenderung menghindari risiko dan hanya mencoba sesuatu yang telah terbukti. Tipe pragmatis mendapatkan input dari mereka yang bertipe visioner. Tipe visioner adalah mereka yang memiliki wawasan luas ke depan—yang bersedia mencoba hal baru berdasarkan input dari mereka yang bertipe inovatif. Sementara tipe yang konservatif adalah mereka yang agak skeptis dan hanya mencoba sesuatu yang sudah menjadi hal yang umum. Yang paling sulit untuk dipengaruhi adalah mereka yang bertipe skeptis. Individu dengan tipe ini selalu menghindari perubahan dan tidak akan mencoba hal baru kecuali bila sudah tidak ada alternatif lain lagi.

Pengelompokan berdasarkan proses adopsi ini tampaknya lebih cocok untuk menerangkan mengapa masih besar pangsa pasar perbankan syariah yang belum tergarap. Pengelompokan ini bisa memberikan gambaran yang lebih spesifik tentang apa yang diharapkan oleh nasabah pada perbankan syariah.

Pendekatan ini juga bisa dipakai untuk mengkaji pengelompokan pangsa pasar spiritual—oleh sebagian pihak disebut sebagai pendekatan emosional—dan rasional yang dipakai oleh Bank Muamalat Indonesia. Menurut Saefudin, potensi pasar spiritual jumlahnya mencapai 17,25 juta jiwa atau 10% dari 172.550 penduduk muslim Indonesia. Sisanya lebih dari 155 ribu jiwa adalah pasar muslim rasional dan 30.450 jiwa pasar non muslim.

Diatasi dengan dialog

Dan untuk memahami harapan nasabah atas layanan dan produk perbankan syariah: merek (brand) bisa menjadi pintu masuknya. Menurut Alexander, merek adalah indikator dari nilai-nilai yang terdapat di dalam sebuah sistem. Bentuk konkret dari nilai-nilai merek ini adalah keuntungan fungsional dan emosional apa yang diperoleh nasabah—dalam hal ini tentunya dari bank syariah, termasuk biaya atau harga apa yang harus mereka dikeluarkan.

Dan cara untuk mempresentasikan merek (dalam arti mempresentasikan nilai-nilai) itu kini telah berubah. “Merek berubah dari sifatnya yang mendoktrin atau mendikte menjadi bersifat dialog atau bercakap-cakap,” tutur Alex. Merek yang mampu berdialog dalam prosesnya bisa memancing konsumen untuk lebih memahami arti (meaning) dari merek tersebut. Kunci untuk bisa menciptakan arti, menurut Alex adalah keunikan. Merek bank syariah harus unik. Sebagai contoh: logo Bank Muamalat Indonesia. Logo BMI bisa dibaca “din” yang berarti agama, perhitungan yang teliti, juga “dayn” yang berarti memberi atau menerima pinjaman. Din juga berakar dari kata madinah yang berarti manajemen. Alex menyimpulkan: “Lambang itu menunjukkan rangkaian kegiatan ekonomi yang aktif dan harmonis di suatu negeri yang subur dan berperadaban tinggi serta berdasarkan nilai-nilai agama yang luhur.”

Merek juga harus diwujudkan dalam bentuk layanan dan produk yang spesifik. Lariba (www.lariba.com) misalnya. Salah satu institusi keuangan berbasis syariah di AS yang telah berdiri sejak 1987 ini mengklasifikasikan layanan dan produknya dengan tampilan situs yang sederhana. Tampilan ini memudahkan konsumen untuk memilih layanan yang ceruk yaitu layanan perbankan bagi keluarga dan dunia usaha. Setelah tercipta merek yang unik dan layanan yang spesifik, bank syariah didorong untuk menciptakan keterikatan antara institusinya dengan nasabah.

Islamic Bank of Britain (IBB) adalah salah satu contoh sempurna. Bank syariah yang berdiri sejak 2002 ini menciptakan produk yang unik yaitu produk tabungan untuk bayi yang baru lahir (tentu saja dengan inisiatif orang tua). Program promosi yang dilakukan: cukup dengan menabung £1, sang bayi akan mendapatkan tabungan bernilai £10 dalam saldonya. IBB berharap produk ini bisa menciptakan keterikatan emosional ketika sang bayi beranjak dewasa. Semua hal di atas adalah langkah-langkah untuk merepresentasikan nilai tambah yang telah terdapat di perbankan syariah. Apa nilai tambahnya? Simak kata Alexander dalam presentasinya akhir Agustus lalu: “Perbankan sharia adalah layanan perbankan dengan akhlak,” tuturnya. Dan mendengar saran Alex, apakah itu membidik pangsa pasar rasional, pangsa pasar spitual atau sharia loyalist, atau apapun itu, semuanya akan lebih mudah bila dipresentasikan dengan dialog.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home