Friday, February 11, 2005

Untuk Aceh, Asuransi Bencana!

Manajemen risiko pasca bencana tsunami adalah tugas perusahaan asuransi

Sebuah email masuk ke meja redaksi BusinessWeek Indonesia, Jum’at, 11 Februari lalu. Email tersebut dikirim oleh Sonja Gyallay-Pap, distribution supervisor Project Syndicate, di Praha, Republik Ceko. “Ya, kami memberikan hak kepada Anda untuk merujuk pada Professor Shiller,” ujarnya dalam email tersebut. Tidak lupa Sonja mengabarkan bahwa Jeremy Hurewitz, Senior Global Analyst Project Syndicate yang rencananya akan berada di Jakarta bulan Maret atau April ini ingin bertemu.

Robert J. Shiller adalah seorang profesor ekonomi di Yale University, dan pengarang buku “Irrational Exuberance and The New Financial Order: Risk in the 21st Century.” Baru-baru ini sang Profesor menulis mengenai asuransi, terkait dengan bencana tsunami dalam artikelnya yang berjudul, “Can We Insure against Tsunamis?” Sebuah kebetulan yang menyenangkan. BusinessWeek Indonesia telah berencana menulis artikel dengan tema serupa sejak sebulan yang lalu. Ketika sebuah email yang memuat tulisan sang Profesor diterima redaksi, kami pun serentak mengontak Sonja.

Apa yang ditulis oleh Profesor Shiller sangat menarik. Disebutkan, selama ini pemerintah negara-negara yang terkena dampak tsunami, hanya terfokus pada program pemulihan dan skema resmi untuk membangun sistem peringatan dini. Namun mereka lupa untuk membahas pentingnya sebuah lembaga manajemen risiko swasta, bernama asuransi. “Sungguh sayang,” ujarnya, “padahal lembaga inilah yang mampu menyediakan manajemen risiko secara profesional dan mendetil, sesuai dengan kompleksitas risiko dan kebutuhan masing-masing individu”. Mempromosikan asuransi swasta (private insurance) menurut Shiller mungkin terasa kurang pas sebagai respon langsung atas tsunami, namun sebenarnya, “ini adalah respon yang rasional dan tepat untuk itu,” ujarnya.

Penetrasi asuransi di negara-negara yang menderita kerugian terbesar akibat tsunami menurut Shiller masih sangat minim. Menurut sebuah studi oleh Insurance Information Institute, pengeluaran (expenditure) di luar asuransi jiwa (non-life insurance) di 2003 hanya berkisar 0.83% dari GDP di Indonesia, 1.19% di Thailand, dan 0.62% di India. Tertinggal bila dibandingkan dengan rasio 5.23% per GDP di Amerika Serikat. Shiller juga menyatakan bahwa bantuan luar negeri bukanlah pengganti asuransi. “Bantuan amal hanyalah cerminan dari sifat kemanusiaan seseorang dan seringkali tidak bisa diandalkan,” ujarnya.

Indonesia

Cukup kutipan dari Professor Shiller, bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Menurut Sri Mulyani, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan Sumatra Utara akhir tahun lalu menimbulkan kerugian sebesar $4-4,5 miliar (Rp37,2-41,85 triliun). Untuk menanggulanginya dibutuhkan dana yang besar dan waktu yang panjang. Salah satu sumber dana yang diharapkan adalah dari bantuan negara-negara donor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI). Menurut Sri, Januari lalu, kebutuhan pemerintah dari CGI adalah sebesar $3,3 miliar (Rp30,7 triliun) dengan rincian $2,8 miliar akan digunakan di APBN dan $500 juta adalah bantuan off budget, langsung dari negara donor ke masyarakat.

Pemerintah terlihat cenderung menggantungkan diri pada bantuan luar negeri? Apa daya, kenyataannya memang demikian. Sri mungkin lupa, sebagaimana pejabat yang lain, untuk menyebut perlunya perusahaan asuransi dalam manajemen risiko pasca bencana tsunami. Menurut Frans Sahusilawane, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) akhir Januari lalu, estimasi klaim industri asuransi secara keseluruhan akibat bencana ini tercatat senilai Rp3,2 triliun. Asuransi umum, dikenal pula dengan nama asuransi kerugian, menempati jumlah klaim pasca bencana terbesar senilai Rp1,9 triliun. Laporan itu berasal dari 56 perusahaan asuransi umum yang ada di Aceh. Sisanya dibagi klaim asuransi sosial Rp100 miliar dan klaim asuransi jiwa Rp1,2 triliun.

Jumlah klaim ini diperkirakan masih akan membengkak. Kepada BusinessWeek Indonesia 16 Februari lalu Frans menyatakan, jumlah klaim asuransi umum di Aceh dan Sumatra Utara menurut estimasinya bisa mencapai angka Rp3 triliun. Kalau klaim di Aceh dijadikan cermin kondisi asuransi nasional, maka dari data ini berarti seluruh industri asuransi hanya menanggung sekitar 10% dari jumlah kerugian di Aceh dan Sumatera Utara yang mencapai Rp40 triliun. Asuransi umum (dengan jumlah klaim yang diperkirakan Rp3 triliun) hanya menanggung sekitar 7,5% dari seluruh kerugian di Aceh dan Sumatera Utara. Ada yang salah? Mari kita tengok kondisi industri asuransi umum di tanah Air.

Menurut data Dewan Asuransi Indonesia (DAI)—asosiasi yang membawahi perusahaan asuransi jiwa, asuransi umum dan asuransi sosial—jumlah perusahaan asuransi umum yg masih beroperasi hingga tahun 2004 ada sekitar 90 perusahaan. Tiga perusahaan diantaranya adalah BUMN (Jasindo, Askrindo dan ASEI), 19 perusahaan asuransi umum asing dan sisanya adalah perusahaan lokal. Menurut Hotbonar Sinaga, Ketua DAI, pertumbuhan penerimaan premi bruto perusahaan asuransi umum dari 2002 ke 2003 mengalami penurunan dengan hanya bertumbuh kurang dari 5 % (dengan jumlah Premi Bruto pada 2003 sebesar Rp14,48 triliun). Jumlah klaim asuransi umum nasional pada 2003 tercatat sebesar Rp5,28 triliun. Pasca tsunami, jumlah klaim ini dipastikan membengkak menjadi sekitar Rp8-9trilliun, atau bertumbuh mencapai 60%.

Mampukah perusahaan asuransi umum Indonesia mengatasi peningkatan jumlah klaim tersebut? Dilihat dari sisi jumlah aset, hanya lima perusahaan yang memiliki aset di atas Rp. 1 trilyun. Perusahaan tersebut adalah Tugu Pratama, Jasindo, PANIN, Astra Buana serta Asuransi Central Asia. Dan dari 85 perusahaan yang tersisa, 24 perusahaan asetnya di bawah Rp1 trilyun dan 61 perusahaan asetnya di bawah Rp. 100 milyar. “Secara umum hanya yg besar-besar saja yang kinerja keuangannya cukup baik dan sehat. Yg kecil agak susah memenuhi RBC 120 % akhir tahun 2004,” ujar Hotbonar, sehingga, “perlu tambahan modal untuk memperbaiki solvabilitas atau RBC (Risk Based Capital).”

Dari kondisi tersebut, sebagian klaim perusahaan asuransi umum akhirnya “lari” ke perusahaan reasuransi. Namun Indonesia masih dihadapkan pada kondisi yang kurang menguntungkan. “Perusahaan reasuransi (ada empat) assetnya kecil-kecil, sehingga kemampuan retensinya juga kecil,” ujar Hotbonar. Akibatnya jumlah premi yg lari ke luar negeri (direasuransikan ke luar negeri) besar. “Neraca pembayaran Asuransi tahun 2003 defisit Rp3 trilyun,” ujar Hotbonar. Hal ini diakui Frans, menurutnya kejadian ini sudah terjadi bertahun-tahun. “Seharusnya tidak begitu, kita berusaha memaksimalkan retensi dalam negeri,” ujarnya.

Asuransi bencana!

Namun ada semangat, keinginan dan harapan. Perusahaan asuransi umum dan reasuransi nasional bersatu padu menjawab tantangan. “Kami sejak lahir sudah terbiasa dengan klaim-klaim yang besar,” ujar Frans. Dari awal para praktisi asuransi umum juga telah sadar, mereka butuh proteksi reasuransi yang baik. Namun sebagaimana Shiller, Frans harus mengakui rendahnya jumlah populasi tertanggung asuransi umum di Indonesia. Frans tidak menyebut angka populasi yang pasti namun menurutnya, dari jumlah populasi tertanggung itu hanya 2% yang membeli asuransi risiko gempa bumi atau menjamin risiko gempa bumi. Menurut data AAUI per 2003 jumlah persentase premi kotor asuransi non jiwa (non life) dan reasuransi terhadap GDP hanya sekitar 0,69%, sementara persentase aset asuransi non jiwa dan reasuransi terhadap GDP hanya 0,82%.

Untuk meningkatkannya, ada empat faktor terkait permintaan (demand) yang harus diubah. Namun repotnya mayoritas dari faktor itu adalah faktor kualitatif. Yaitu faktor budaya, pemahaman agama yang kurang tepat, sikap dalam menghadapi risiko dan pendapatan. Dari keempatnya, faktor budaya menempati peringkat pertama, disusul faktor pendapatan. “Walaupun kita berpromosi dan ngomong sampai berbusa-busa, kalau demand factors tadi tidak berubah maka tak akan ada peningkatan,” ujar Frans. Bagi sebagian orang Indonesia, menurut Frans, membeli asuransi masih dianggap sebagai melawan takdir. “Padahal tidak ada agama yang mengajarkan kita harus menyerah melawan takdir, tapi kita harus berusaha melindungi diri terhadap penderitaan, berhasil atau tidak kita serahkan ke Yang Maka Kuasa,” ujarnya.

Sebagai contoh, pasca bencana tsunami, dalam kondisi yang normal, seharusnya muncul reaksi positif di cabang asuransi apapun. “Permintaan (demand) seharusnya naik,” ujarnya. Tapi di Indonesia hal itu tidak terjadi. “Karena tidak normal maka responnya tidak seperti seharusnya. Timbul demand dalam waktu yang tidak wajar,” ujar Frans. Sebagai masyarakat yang hidup dalam lingkungan teror dan bencana, sikap masyarakat Indonesia terhadap teror dan bencana juga telah berubah, menjadi tidak normal. “Masyarakat kini sudah menjadi terbiasa (dengan teror dan bencana),” ujar Frans.

Padahal upaya untuk menghadirkan berbagai skema manajemen risiko melalui perusahaan asuransi kini telah tersedia. Sejak tahun lalu telah muncul asuransi bencana khusus bernama PT. MAI PARK. Menurut Hotbonar semula untuk gempa bumi ada Pool Reasuransi Gempa Bumi alias PRGBI. Pool ini yang kemudian menjadi cikal bakal PT MAI PARK yg sementara ini mengkhususkan diri pada risiko gempa bumi. Rencananya perusahaan ini nanti juga akan menggarap risiko bencana banjir, panen dll. Semula perusahaan ini bernama Maskapai Asuransi Indonesia alias MAI dan PARK adalah singkatan Perusahaan Asuransi Risiko Khusus. Sekarang ini PT. MAI PARK baru mendapatkan premi Rp12 miliar. “Bagi Indonesia yg beberapa daerahnya banyak dialiri patahan bumi, asuransi seperti ini memang mutlak perlu,” ujar Bonar.

Sebagai tindak lanjut dari didirikannya asuransi bencana tersebut, Frans mengusulkan dibentuknya satu skema asuransi wajib, seperti yang telah terbentuk di Turki, Jepang dan Taiwan. “Mereka punya skema asuransi wajib untuk rumah tinggal setelah mereka mengalami kerugian yang besar,” ujarnya. Asuransi rumah tinggal ini berbentuk jaring pengaman sosial (social safety net) melalui lembaga asuransi. Rumah tinggal dengan nilai tertentu harus diasuransikan. Nilai yang sepadan yang berlaku di Turki adalah Rp250-Rp500 juta. “Kalau Anda punya rumah senilai Rp100 juta, maka Anda harus mengasuransikan senilai Rp100 juta, kalau yang nilainya Rp600 juta, maka you akan harus mengasuransikan senilai minimal Rp500 juta,” terang Frans. Walaupun masih butuh waktu panjang untuk mewujudkannya—usulan ini baru sampai ke menteri keuangan—namun secara konsep manajemen risiko pasca bencana melalui asuransi telah tersedia dan tidak salah apabila nanti masyarakat Indonesia berharap pada asuransi. Oleh Hizbullah Arief di Jakarta.


0 Comments:

Post a Comment

<< Home