Monday, December 05, 2005

Reformasi Pajak: Buruk Rupa Cermin Dibelah

RUU Perpajakan seharusnya menjadi ladang amal bagi semua pihak untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi dunia usaha, sekaligus menyelamatkan Indonesia.

Pendekatan patron dan client—pemegang kekuasaan dan hamba sahaya—ternyata masih digunakan dalam penegakan hukum perpajakan. Bahkan pola itu seringkali digunakan oleh “oknum” aparat pajak untuk “menekan” para wajib pajak. Kesimpulan ini adalah salah satu yang tersurat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Gerakan Masyarakat Pembayar Pajak (GMPP) pertengahah November lalu di Jakarta. “Pajak bisa digunakan untuk melakukan pemerasan (black mail), tekanan politik ataupun alat di luar (kepentingan) perpajakan,” ujar Faisal Basri, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia. Penyebabnya tidak lain adalah lingkup kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang teramat luas. DJP menurut Faisal berwenang untuk menentukan kebijakan pajak, penafsir kebijakan, penentu target, operator (pengumpul pajak) , pemeriksa, sekaligus penentu besarnya pembayaran denda bagi pelanggar pajak. “Setiap upaya untuk mengurangi kewenangan DJP selalu ditolak,” ujar Faisal.

Dalam sebuah tinjauan akademis yang berjudul “Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak,” yang dilakukan oleh Danny Septriadi dan Darussalam, spesialis pajak dari Danny-Darussalam Tax Research Centre disebutkan, salah satu sumber terciptanya kekuasaan yang tidak terbatas di DJP terletak pada pendelegasian kekuasaan untuk mengenakan pajak yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh tahun 2000. Dalam pasal itu disebutkan; atas penghasilan dari (i) bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya; (ii) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek; (iii) penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan; serta (iv) penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). Butir (iv) yang menyebut “penghasilan tertentu lainnya” menurut Danny menjadikan objek pajak yang dapat dikenakan pajak melalui PP menjadi tidak terbatas.

Pendelegasian kekuasaan untuk mengenakan pajak (menetapkan basis pajak, tax base dan besaran pajak, tax rate) kepada pemerintah (melalui PP) menjadi sumber masalah selanjutnya. “Pada pasal 23A UUD 1945 secara tegas dinyatakan, pengenaan pajak harus melalui undang-undang,” ujar Danny. Ini artinya, setiap pengenaan pajak (basis dan besaran pajak) harus sepengetahuan dan persetujuan DPR. “Tidak pada tempatnya apabila DPR mendelegasikan pengenaan pajak terhadap jenis penghasilan tertentu, terutama masalah penentuan basis pajak dan besaran pajak, kepada Pemerintah,” tegasnya.


Di depan mata


Masalah ada di depan mata. Survei yang dilakukan WEF (World Economic Forum) terhadap para pembuat keputusan (eksekutif) pada 2005 menyebutkan, peraturan pajak menempati peringkat ketiga faktor-faktor yang paling menghambat dunia bisnis di Indonesia. “Posisi ini naik dari posisi tahun lalu yang peringkat enam,” ujar Faisal. Menurut Faisal hal ini konsisten dengan penelitian Transparency International (TI) yang menempatkan DJP sebagai instansi terkorup kedua setelah Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC). Menurut data Bank Dunia (World Bank), jenis pajak yang harus dibayar di Indonesia jumlahnya mencapai 52 jenis—di Asia Tenggara angka ini hanya kalah dengan Philipina yang 62 jenis. Sementara persentase total pajak yang dibayar dibanding laba kotor mencapai 38,8%. Bandingkan dengan Hongkong dimana persentase total pajak dibanding laba kotor mencapai 14,3%, Malaysia 11,6%, Singapura 19,5% dan Thailand yang 28,2%.

Ini berarti, beban pajak yang harus ditanggung dunia usaha di Indonesia, masih jauh lebih besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Paskah Suzetta, Ketua Komisi XI DPR-RI menegaskan, ada beberapa angka statistik yang bisa dijadikan parameter atau patokan untuk mengukur kinerja DJP. Salah satunya adalah jumlah pembayar pajak terdaftar—yang sejak reformasi perpajakan bergulir pada tahun 1980-an hingga saat ini—hanya mencapai angka 3,5 juta. “Dari jumlah tersebut hanya 30% yang aktif mengisi SPT (Surat Pemberitahuan),” ujar Paskah. Angka nisbah pajak (tax ratio) juga dinilai masih rendah, 12-13%. “Level tersebut masih kalah jauh dengan Malaysia dan Thailand,” ujar Paskah tanpa menyebut angka.

Potensial, namun…

Menteri Keuangan, Jusuf Anwar pada 31 Oktober lalu menyatakan, tahun depan, pemerintah menargetkan perolehan pajak senilai Rp416,3 triliun atau 13,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rinciannya, pajak dalam negeri ditargetkan Rp399,3 triliun dan pajak perdagangan internasional diperkirakan Rp16,9 triliun. Angka ini lebih besar dari target tahun ini Rp352 triliun (13,3 persen dari PDB). Menurut Jusuf nisbah pajak 13,7 persen (pada 2006) itu merupakan target yang cukup realistis. Hadi Poernomo, Dirjen Pajak Depkeu menambahkan rata-rata kenaikan penerimaan dari sektor pajak sekitar Rp30 triliun per tahun.

Namun pajak—sebagai sumber pendapatan negara yang paling potensial—saat ini lebih berfungsi sebagai penambal defisit anggaran negara. Menurut Paskah hal ini karena pemerintah sulit untuk memperoleh sisi pendapatan lain akibat berubahnya Indonesia menjadi negara importir minyak, rendahnya kinerja ekspor dan buruknya iklim investasi. “Hal ini mengakibatkan neraca perdagangan lemah, tidak sustainable serta mengakibatkan defisit neraca pembayaran,” ujarnya. Kondisi tersebut semakin ironis mengingat pengeluaran terbesar dari struktur APBN saat ini adalah untuk membayar bunga utang domestik dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. “Sudah menjadi rahasia umum bahwa utang domestik dalan struktur APBN adalah dosa-dosa perbankan yang harus ditanggung masyarakat luas,” ujarnya.

Sebagai gambaran menurut Paskah, dalam RAPBN 2006, total pengeluaran pemerintah tercatat Rp559,2 triliun. Dari angka tersebut pengeluaran untuk pembayaran bunga utang domestik dan pembayaran cicilan pokok adalah sebesar Rp133,9 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dana yang digunakan untuk stimulus pembangunan ekonomi. Pengeluaran belanja modal (investasi) dalam RAPBN 2006 hanya Rp45 triliun, sementara untuk belanja barang (konsumsi) Rp77,8 triliun. “Dengan kondisi tersebut pajak telah kehilangan fungsi aslinya baik fungsi alokasi maupun stabilitas ekonomi,” ujarnya.

Peluang reformasi

Kini peluang perubahan besar—termasuk untuk mengembalikan fungsi asli pajak di masa datang—ada di RUU Perpajakan yang baru. Menurut Paskah, masalah yang harus ditangani pemerintah secara serius adalah masalah kebijakan administrasi pajak dan rasionalisasi tarif. Dalam hal administrasi pajak, selama ini proses pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) pajak dinilai masih sangat menyulitkan.Sementara dalam hal rasionalisasi tarif, beberapa tarif pajak masih tergolong tinggi dan tidak kompetitif secara internasional. ‘’Akibatnya, kita sering kalah bersaing dengan negara lain. Sehingga, struktur tarif memang harus diperbaiki,’’ ujarnya. Rencana pemerintah untuk mempeluas basis pajak, sambungnya, juga harus disertai dengan kompensasi yang bisa langsung dinikmati.

Tahun depan adalah momentum bagi DPR akan membahas secara rinci RUU tersebut. Selain usulan untuk mengembalikan fungsi dan kewenangan perpajakan melalui Undang-Undang, salah satu usulan terpenting adalah mereformasi organisasi DJP. Menurut Faisal harus ada lembaga pengawas independen yang bertugas memantau kinerja DJP, termasuk melakukan audit terhadap penerimaan dan target pajak. Fungsi pengawas ini menurut Faisal tidak bisa dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK) karena kewenangan BPK yang terlalu luas. “Jadi harus dibentuk badan yang spesifik,” ujarnya kepada BusinessWeek Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak, Hadi Poernomo, dalam sebuah wawancara menyatakan, (semua pihak) hendaknya harus membedakan antara sistem dengan kasus. “Saya benar-benar ingin sistem dijalankan dengan keterbukaan, langsung, dan kejujuran. Ini prinsip dasar pajak,” ujarnya sebagaimana dikutip Kompas, 26 November. Niat baik Hadi pasti dihargai, namun menilik sistem perpajakan yang belum sempurma, RUU Perpajakan seharusnya menjadi ladang amal bagi semua pihak untuk menyempurnakannya. Tahun depan tinggal selangkah lagi. Jangan sampai buruk rupa cermin pun dibelah. Oleh Hizbullah Arief di Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home