Friday, December 02, 2005

Selamat Datang di Rimba Ritel

Bisnis ritel tumbuh dan bersaing ketat di tengah inflasi biaya tinggi dan melambatnya ekonomi.

Sebuah toko khusus (specialty store) yang menyediakan produk-produk kehamilan dibuka di Kingston, Surrey, Inggris, 1961. Setahun kemudian, pada 1962, toko ini meluncurkan unit bisnis baru yang melayani pemesanan melalui pos—layanan yang agak jarang pada masanya. Melalui layanan inilah toko itu menorehkan reputasi di seluruh dunia. Empat puluh empat tahun kemudian, pada 13 Oktober 2005, Mothercare—nama toko itu—membuka gerainya yang ketiga di Jakarta, tepatnya di Mal Kelapa Gading 3, Jakarta Utara. Jerry Cull, perwakilan Mothercare dari Inggris menyatakan, pihaknya berencana membuka 15 gerai dalam jangka waktu 6-7 tahun ke depan. “Kami tidak bisa memperkirakan lebih dari itu, karena kondisi perekonomian sekarang. Angka 15 mewakili potensi yang ada,” ujar Jerry kepada BusinessWeek Indonesia pertengahan Oktober lalu.

Konsumen Indonesia terutama konsumen di Jakarta tampaknya akan terus berhadapan dengan gerai ritel asing dalam beberapa tahun mendatang. Seibu, jaringan department store dari Jepang—tokonya di Tokyo tercatat merupakan department store terbesar ketiga di dunia—disebut-sebut akan membuka cabangnya di Grand Indonesia, kompleks pertokoan yang kini sedang dibangun di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Central, pesaingnya dari Thailand juga telah mengokupasi 41.000 m2 lahan di tempat yang sama. Ipung Kurniawan, pemegang saham utama PT Hero Supermarket Tbk menurut sumber BusinessWeek Indonesia berada dibalik dua inisiatif ini. Isetan, peritel besar dari Jepang—yang namanya sudah menjadi trademark pusat perbelanjaan terkemuka di beberapa negara, seperti Singapura dan Malaysia—juga akan masuk pada 2008. Sementara Tesco, perusahaan ritel dari Inggris juga telah membentuk tim untuk mempelajari pasar Indonesia.

Perekonomian Indonesia sekilas menawarkan potensi besar bagi usaha ritel modern. Menurut Heru Nasution, Sekretaris Jenderal APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia) pada BusinessWeek Indonesia akhir Oktober, tren pembangunan pusat belanja masih akan terus berlangsung hingga 2008. Berdasarkan data AC Nielsen yang dikeluarkan Juli tahun lalu, jumlah pasar modern seperti hypermarket, supermarket dan mini market di Indonesia, meningkat sebesar 31,4% dalam 2 tahun terakhir. Sebaliknya jumlah pasar tradisional mengalami penurunan sebesar 8,1% setiap tahun. Jumlah pasar modern pada 2003 tercatat sebanyak 5.079 meningkat dari 3.865 pada 2001. Sementara pasar tradisional jumlahnya turun dari 1.899.736 pada 2001 menjadi 1.745.589 pada 2003. Tuntutan konsumen yang mencakup harga rendah, kemudahan dengan konsep belanja di satu tempat (one stop shopping), hingga kenyamanan menjadi alasan berkembangnya ritel modern ini.

Tentangan inflasi

Namun pasca kenaikan harga BBM pada 1 Oktober, perekonomian Indonesia—terutama bagi pengelola pusat perbelanjaan dan pengusaha ritel—bagaikan menyimpan segudang ketidakpastian. Berdasarkan hasil pantuan Badan Pusat Statistik (BPS) di 45 kota, inflasi pada Oktober 2005 mencapai 8,70 persen. Indeks harga konsumen (IHK) naik 10,82 poin dari 124,33 pada September 2005 menjadi 135,15 pada Oktober 2005. Laju inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2005 tercatat mencapai 15,65%, sedangkan inflasi year-on-year (Oktober 2005 terhadap Oktober 2004) tercatat sebesar 17,89%. “Ini merupakan tingkat inflasi bulanan dan inflasi year-on-year tertinggi sejak tahun 2001," ujar Choiril Maksum, Kepala BPS, 1 November. Kenaikan harga BBM, bensin, minyak tanah dan solar menyumbang presentase inflasi tertinggi sebesar 3,47%. Sedangkan kenaikan tarif transportasi menyumbang sebesar 2,08%.

Efek langsung kenaikan BBM yang terasa adalah kenaikan tarif dasar listrik (TDL) oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) per 1 Oktober. Menurut A. Stefanus Ridwan, Ketua DPP APPBI, dalam TDL baru yang diberlakukan PLN, sebanyak 50% dari pemakaian waktu beban puncak (WBP) rata-rata dikenakan harga TDL pemakaian dengan faktor pengali (K), 2 (dua). Sisanya dikenakan harga TDL pemakaian dengan faktor pengali 4 (empat). Sebelumnya, dalam harga TDL lama, pemakaian WBP adalah total pemakaian WBP dikalikan faktor pengali (K) 1,4. Menurut Sunggu Anwar Aritonang, Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan PLN, kenaikan faktor K adalah wewenang dari direksi PLN.

Akibatnya menurut Ridwan, pengelola pusat perbelanjaan harus menanggung kenaikan biaya listrik sebesar 114,28% (dari harga Agustus) mulai 1 Oktober. “Kenaikan ini belum termasuk biaya beban,” ujarnya. Biaya beban mengalami kenaikan 16,25% menjadikan total kenaikan biaya listrik menjadi sekitar 49%. Konsekuensinya, untuk membagi beban tersebut, pengelola pusat belanja dalam waktu dekat akan menyesuaikan biaya layanan (service charge) kepada para pengusaha ritel. Menurut perhitungan APPBI, kenaikannya berkisar 29,4%. Ditambah dengan biaya kenaikan yang lain akibat kenaikan BBM seperti biaya gaji, transportasi dan suku cadang—yang diperkirakan sebesar 10%, maka total kenaikan biaya yang harus ditanggung peritel menjadi sebesar 33,4%.

Bagaikan bola salju, efek kenaikan biaya layanan ini akan semakin membesar. Ujung-ujungnya peritel akan membagi beban tersebut kepada konsumen dengan menaikkan harga barang. APPBI memperkirakan kenaikan harga akan sebesar 3,4% pada toko ritel besar—seperti supermarket dan hypermarket—dan 7% pada toko kecil. Tutum Rahanta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan, sampai saat ini, peritel masih berusaha keras untuk menekan harga. Namun Tutum menambahkan, apabila peritel ingin bertahan (survive) dan berkembang, mereka juga harus tumbuh melebihi biaya beban dan inflasi.

Dari data Aprindo, selama ini, margin keuntungan yang diperoleh oleh toko-toko kecil mencapai 45%. Margin keuntungan department store, seperti Matahari, Ramayana mencapai 35%. Sementara margin supermarket dan hypermarket lebih kecil lagi—hanya 15%. “Sepertiga (30%) dari margin itu digunakan untuk (membayar) biaya sewa dan biaya layanan (service charge),” ujar Tutum. Dengan tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Oktober) mencapai 15,65% dan inflasi year on year mencapai 17,89%, maka tekanan sangat berat akan jatuh pada bisnis supermarket dan hypermarket.

Lesu

Saat inflasi sangat tinggi, otomatis daya beli juga menurun. Menurut Heru, omset pusat perbelanjaan pada lebaran tahun ini turun 20% dibanding omset lebaran tahun lalu. Padahal omset selama tiga bulan (November, Desember, Januari) untuk event lebaran, natal dan tahun baru menurut Ridwan menyumbang 70% dari omset ritel per tahun. Sementara sisa 9 bulan yang ada peritel hanya tinggal berharap 30%-nya. Dari data 2004—data 2005 belum tersedia—dari Badan Pusat Statistik menyebutkan, nilai omzet perdagangan ritel nasional mencapai Rp330 triliun. Perusahaan anggota Aprindo, menurut Tutum baru meraih nilai omzet ritel sebesar Rp33 triliun atau sekitar 11% dari total omzet perdagangan ritel nasional.

Kondisi bisnis ritel yang lesu ini didukung oleh hasil survei konsumen Bank Indonesia (BI) pada September 2005. Survei yang dilakukan sebelum kenaikan harga BBM itu menunjukkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menurun 9,6 poin dari 99,7 menjadi 90,1. Ini berarti konsumen berada pada kondisi yang semakin pesimis (indeks di bawah100). Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) juga turun dari 114,5 menjadi 101,8 dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) turun dari 84,8 menjadi 78,3. Penyebabnya antara lain persepsi konsumen akan adanya kenaikan harga pasca kenaikan harga BBM, kurs rupiah yang melemah, serta ketersediaan lapangan kerja yang semakin menurun.

Namun, dalam kondisi yang bearish bukan berarti bisnis perdagangan dan ritel sudah putus harapan. Menurut analisa BI, sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan akan tumbuh sejalan dengan perkiraan meningkatnya kegiatan ekonomi nasional. Pada 2005 pertumbuhan sektor ini diperkirakan akan mencapai masing-masing sekitar 8,2%-9,2%. Salah satu pemicunya adalah penerbitan 100 izin pembangunan pasar modern baru sepanjang tahun 2005. Pertumbuhan akan sedikit turun pada 2006 menjadi 7,5%-8,5%.

Menurut Andreas Kartawinata, Chairman DPD-DKI Jakarta Raya APPBI, saat ini Indonesia memang masih dibayangi oleh tren pembukaan department store (department store minded). Rencana masuknya Tesco, Seibu dan Isetan mewakili tren tersebut. Namun ditilik dari tren bisnis ritel dunia, department store akan semakin tergantikan dengan specialty store yang bersifat tematik. Dalam laporan yang berjudul 2005 Global Powers of Retailing yang diterbitkan oleh Deloitte Touche Tohmatsu, AS, Januari lalu terungkap, dari peringkat 250 peritel global terbesar di dunia—yang diukur berdasarkan tingkat penjualan ritel—sebanyak 108 diwakili oleh format specialty store. Format supermarket yang masuk peringkat, sebanyak 96 buah, department store 56 buah, sementara hypermarket, 37 buah.

Wal-Mart yang menggabungkan format toko diskon, hypermarket, supermarket, superstore dan pergudangan (warehouse), menempati peringkat pertama dengan jumlah penjualan ritel pada 2003 sebesar $256,3 juta. Carrefour, raksasa ritel dari Perancis yang menggabungkan format cash & carry, convenience store, toko diskon, supermarket, hypermarket dan specialty store menempati posisi kedua dengan penjualan ritel pada 2003 sebesar $79,8 juta. Sementara Home Depot, toko ritel dengan format DIY (Do It Yourself), menempati posisi ketiga dengan penjualan $64,8 juta. Melihat tren ini, akankah pembukaan Central, Seibu, Tesco dan Isetan—di tengah pesaingan ketat bisnis hypermarket, supermarket, department store, toko diskon serta toko cash & carry, akan berhasil? Dengan kondisi kondisi perekonomian sekarang yang sedang turun, tampaknya hanya waktu yang akan menjawabnya. Oleh Hizbullah Arief di Jakarta.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home