Friday, January 16, 2004

Pariwisata: Fajar Menyingsing

Industri pariwisata Indonesia jatuh bangun setelah kerusuhan Mei 1998, tragedi WTC 2001 dan tragedi bom Bali 2002. Bagaimana prospeknya di 2004?

Bagi Dedier Lamiere, 42, wisatawan asal Cologne, Perancis, Bali tidak secerah dulu. Sebelum tragedi Bali Oktober 2002 ia telah berkunjung dua kali ke Bali. Menikmati matahari terbit di Sanur dan sunset di Kuta. Kini setelah bom meledak di Paddy’s, kunjungan ketiganya Januari, 2003, bagaikan ziarah. Perjalanan pribadi ke Bali (individual travel) anjlok hingga 90%. Angka ini baru mulai menunjukkan pergerakan di awal 2004. Suramnya industri pariwisata di Bali merembet ke industri pariwisata tanah air.

Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X (HB X) dari Keraton Yogyakarta dalam diskusi mengenai Dinamika Pariwisata Indonesia Outlook 2004 yang diselenggarakan LPEM, UI pertengahan Januari lalu, sebelum Tragedi Bom Bali, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia mulai 1990 mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pada 1990, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 2,18 juta orang atau meningkat 33,9% dari tahun sebelumnya, atau melampaui 11,8% dari angka target 1,95 juta.

Tahun 1991, melalui pencanangan Visit Indonesia Year, jumlah wisatawan meningkat lagi menjadi 2,57 juta atau melebihi 18% dari target yang dipatok sebesar 2,44 juta orang. Peningkatan ini menurut Sultan HB X merupakan prestasi yang spektakuler, mengingat tahun itu terjadi Perang Teluk. Ketika kunjungan wisman di negara-negara lain terpuruk, Indonesia justru meraup penambahan kedatangan wisman yang cukup besar,” ujarnya. Banjirnya wisman ini menurutnya lebih banyak dipengaruhi oleh jaminan keamanan. Hotel-hotel benar-benar puas menangguk keuntungan. Pembangunan hotel pun menjamur.

Cerita manis ini berlanjut hingga 1996. Sektor wisata mengalami pertumbuhan yang fantastis. Target 2,93 juta wisman dilewati 19,2% menjadi 3,06 juta dan tahun 1996 junjungan wisman mencapai puncaknya dengan angka 5,03 juta orang dan menghasilkan devisa $6,3 miliar. “Perolehan itu merupakan peraihan devisa tertinggi dari sektor pariwisata hingga saat ini” tutur Sultan.

Mendung

Namun seiring dengan perubahan politik di 1997, mendung pun mulai menggayut. Tahun 1998 Presiden Soeharto turun. Menurut Sultan HB X pergantian kekuasaan itu tidaklah terlalu mengganggu citra keamanan apabila tidak disertai kerusuhan Mei 1998 yang disusul berbagai kerusuhan bernuansa SARA, sehingga pertumbuhan arus kunjungan wisman anjlok menjadi minus 11%.

Tahun 2000 suhu politik nasional mulai mereda. Pergerakan arus wisman mulai beranjak naik. Bahkan Agustus 2001, kunjungan wisman dari 13 pintu masuk tercatat mengalami peningkatan 6,49% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Tak urung sejumlah pihak kembali memandang masa depan pariwisata dengan penuh optimisme. Namun Tragedi WTC 2001 merusak optimisme tersebut. Kedatangan wisman kembali sepi. Dan ketika optimisme sedikit demi sedikit mulai pulih, Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002, memprorakporandakan semua.

Efek bom Bali jauh lebih dahsyat. Target kunjungan wisman 2002 gagal tercapai. “Realisasinya hanya 4,3 juta, jauh dari 5,4 juta target wisman yang direncanakan,” ujar Sultan. Setelah Bom Bali, pada Agustus 2003 kembali terjadi tragedi bom di Hotel Marriot sehingga kunjungan wisman kembali meleset 10-12% dari target angka 4,8 juta orang.

Berdasarkan penelitian LPEM UI, di seluruh dunia, pada 2002 lalu, jumlah wisatawan yang melakukan perjalanan, untuk pertama kalinya mencapai angka 700 juta orang. Walaupun dunia masih diwarnai perang Irak, wabah SARS dan Bom Bali yang mengguncang dunia pariwisata dengan banyaknya korban. Pertumbuhan kedatangan wisatawan internasional, naik 3,1% dibandingkan kedatangan wisatawan 2001, walaupun tahun 2000-2001 mengalami penurunan 0,5%.

Yang menjadi motor adalah pertumbuhan di wilayah Asia Pasifik yang tumbuh 7,9%, dengan kawasan Asia Timur dan Utara sebagai leader, dengan angka pertumbuhan spektakuler 11,9%. Namun pertumbuhan jumlah wisatawan Indonesia pada 2000-2001 menurut Ringoringo Achmadi, peneliti dari LPEM-UI justru mengalami penurunan sebesar 1,9%. Tanpa konsep yang jelas dalam pengembangan dari sisi ekonomi menurut Ringo, pariwisata tidak akan tumbuh dengan baik padahal potensi wisatawan yang bisa digarap sangat besar. Pada 2002 jumlah wisatawan yang masuk ke kawasan Asia-Pasifik tercatat sebanyak 130 juta orang. Hanya 5 juta wisatawan yang masuk ke Indonesia.

Pemberlakuan Kepres No 18/2003 menurut Ringo menjadi salah satu contoh dimana kebijakan pemerintah tidak menunjang pariwisata. “Pada saat industri pariwisata sedang terpuruk akibat situasi internal dan eksternal, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang semakin memukul industri pariwisata,” ujarnya. Sebagai contoh, dalam kasus kerjasama China dan Malaysia, menurut Ringo, Malaysia menerapkan kebijakan visa yang sama dengan Indonesia namun, Malaysia hanya memungut biaya yang lebih murah, $10 per orang, dibandingkan Indonesia yang $35 per orang. “Dan itu dipusatkan di Beijing, sementara konsulat Indonesia ada di Guang Zhou, sehingga menambah waktu dan biaya,” ujar Ringo.

Wisnus

Untuk tahun 2004 ini, harap-harap cemas masih membayangi pariwisata Indonesia. Pemilu yang berlangsung 3 kali putaran menurut Ringo akan mempengaruhi keinginan wisman untuk datang ke Indonesia. “Kalau pemilu putaran pertama, April, mengalami kerusuhan, maka 2004 akan lebih buruk prestasinya dari 2003,” ujarnya. Hal ini karena wisatawan akan menunggu hingga putaran final pemilu pada September, untuk pengambilan keputusan. Di lain pihak, apabila periode April dan Juni berjalan dengan baik, diperkirakan kedatangan wisatawan asing akan sama dengan 2002.

Untuk mengantisipasi hal itu, menurut Setyanto P. Santosa, dari Indonesia Tourism Watch (ITW), para pelaku pariwisata Indonesia disarankan lebih fokus ke pasar dalam negeri, menggarap wisatawan nusantara (wisnus). “ Hal ini minimal akan menolong cash flow perusahaan,” ujarnya. Dengan kondisi politik yang kurang mendukung menurut perkiraan ITW, di 2004, Indonesia hanya akan meraih maksimal 4,5 juta wisman. Kunci klasiknya adalah jaminan keamanan. Meski tidak ada satupun negara di dunia yang menjamin wisman akan aman tinggal di negaranya. “Yang penting adalah signal bahwa Indonesia bersungguh-sungguh menjaga keamanan,” ujarnya.

Industri pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar kedua bagi Indonesia setelah minyak dan gas bumi (migas). Prestasi ini terus bertahan hingga kini. Tahun 1999 menurut data LPEM-UI, sektor pariwisata menyumbang $4,71 miliar devisa bagi Indonesia sementara migas menyumbang $9,79 miliar. Di 2000 jumlah ini mengalami peningkatan yang signifikan menjadi $5,75 miliar dibanding migas yang 14,37 miliar. Jumlah ini turun pada 2001dengan nilai $5,41 miliar dan turun lagi menjadi $5,03 miliar di 2002, berbanding penerimaan di migas yang $12,64 miliar pada 2001 dan $12,11 miliar pada 2002. Selain perolehan devisa, dampak multiplier dari industri bagi penyerapan tenaga kerja sangat besar.

Menurut perhitungan BPS (Biro Pusat Statistik) 2003, sektor pariwisata mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 7,39 juta orang. Diharapkan di 2007, menurut data WTTC (World Travel & Tourism Council), angka ini meningkat menjadi 8,5 juta orang atau menciptakan 8% dari total tenaga kerja nasional. Menurut perhitungan Ringo, apabila setiap tenaga kerja diasumsikan mempunyai dari 2 anak, maka jumlah penduduk yang bergantung dari sektor ini mencapai angka 32 juta orang atau sekitar 15% dari total penduduk Indonesia. Belum lagi pendapatan dari pajak hotel dan restoran yang dari data 2001 diperkirakan mencapai angka $300 ribu.

Kini untuk memulihkan industri, menurut Ringo, pemerintah diharapkan lebih fokus mengarap pasar tradisional seperti China, Hong Kong, Korea dan Taiwan yang letaknya dekat dengan Indonesia. Sementara dari sisi regulasi, peraturan bebas visa untuk kunjungan singkat yang berlaku bagi 48 negara, yang telah dicabut, hendaknya diberlakukan kembali. Status bebas visa ini (setidaknya visa saat kedatangan) menurut Ringo bisa bertambah untuk negara-negara yang potensial seperti RRC, Rusia dan India. Untuk menarik wisatawan baru dan wisatawan yang sudah pernah berkunjung di Indonesia (repeated tourist), menurut Ringo pemerintah diharapkan mengalokasikan dana yang cukup besar untuk promosi, sebesar 10% dari jumlah valas yang dikeluarkan oleh wisatawan atau setara $500 juta pada 2002.

Selain promosi, hal lain yang perlu ditingkatkan, menurut Sultan adalah mutu produk wisata. Namun kebijakan itu terkait dengan kebijakan ekonomi pemerintah, beserta usahanya memperkuat institusi (institution building), menfasilitasi lalu lintas wisatawan internasional, memberikan jaminan stabilitas politik serta keamanan dan mengeliminir segala bentuk konflik nasional. Apabila semua hal ini dilaksanakan, menurut Sultan, industri pariwisata akan segera kembali ke khittah-nya. Menciptakan kemakmuran, nilai tambah, pajak, penanaman modal dan lapangan kerja. Semoga! Oleh Hizbullah Arief di Jakarta


0 Comments:

Post a Comment

<< Home