Tuesday, March 20, 2007

Saatnya Menebar Asuransi Mikro

Asuransi mikro bisa menjadi embrio jaminan sosial nasional. Pemerintah mau tidak mau harus turun tangan.

OLEH: HIZBULLAH ARIEF

Semua orang tahu, masa pemerintahan SBY-JK penuh dengan bencana. Tsunami. Gempa bumi. Tanah longsor. Banjir. Wabah virus H5N1. Malaria. DBD. Kelaparan. Lumpur Lapindo, hingga kecelakaan di darat, laut dan udara. Bencana-bencana itu secara total telah menelan korban ratusan ribu jiwa. Belum lagi “bencana struktural” akibat kenaikan harga BBM. Semuanya menciptakan kemiskinan dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.

Per Maret 2006, jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 19,1 juta. Melonjak dari perkiraan BPS sebelumnya yang 15,5 juta. Data ini adalah data yang digunakan oleh pemerintah untuk penyaluran subsidi langsung tunai (SLT). Bila diasumsikan setiap rumah tangga memiliki 4 anggota keluarga, maka jumlah penduduk miskin dan tidak mampu (poor dan near poor) akan mencapai 76,4 juta. Data di atas mempertegas keberadaan rakyat miskin dan tidak mampu di tanah air yang jumlahnya mencapai 34% dari jumlah penduduk Indonesia.

Dan pada kenyataannya, golongan rakyat miskin dan kurang mampu adalah mereka yang paling berisiko ketika terjadi bencana. Golongan ini tidak memiliki sistem perlindungan (buffer) seperti tabungan atau investasi. Sehingga ketika bencana datang, mereka akan menggantungkan uluran tangan orang lain atau pemerintah, jika tidak berutang. Mereka sangat jauh dari kemandirian. Padahal sistem untuk menciptakan kemandirian tersedia. Sistem itu adalah asuransi.

Pelajaran inilah yang bisa dipetik dari Begum, seorang wanita miskin di India. Seperti ditulis dalam laporan khusus The Review September 2005 lalu, suami Begum tewas akibat tsunami. Kehilangan sumber pendapatan keluarga tidak menjadikan keluarga Begum terlilit masalah keuangan. Mereka bisa mandiri dan terselamatkan oleh polis asuransi yang preminya hanya EUR3,2 atau sekitar Rp38.000 per tahun. Selamat datang di dunia asuransi mikro. Asuransi dengan premi yang terjangkau untuk kantong rakyat miskin.

Ancaman dan peluang

Di Indonesia, asuransi seperti ini masih jauh panggang dari api. Jangankan asuransi untuk rakyat miskin, jumlah tertanggung di industri asuransi jiwa secara keseluruhan pun masih minim. Menurut laporan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) yang belum diaudit, hingga kuartal ketiga tahun lalu, jumlah tertanggung individu hanya mencapai 5,5 juta jiwa. Turun dari 5,6 juta tertanggung pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu jumlah tertanggung grup naik menjadi 25,8 juta dari 12,6 juta tahun sebelumnya. Alih-alih menggarap pasar rakyat miskin, saat ini perusahaan asuransi lebih cenderung menciptakan produk untuk kalangan menengah ke atas.

Bencana yang menimpa rakyat Indonesia belakangan ini menurut Madjdi Ali, Direktur Utama AJB Bumiputera 1912 awal Februari lalu, seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, bencana membuka peluang melonjaknya permintaan penutupan asuransi—khususnya asuransi kerugian seperti asuransi rumah dan kendaraan. Pada kelas menengah atas, permintaan asuransi jiwa, boleh jadi, juga mengalami peningkatan signifikan. Tapi di sisi lain, bencana ini merupakan pukulan telak bagi industri. “Di kelas menengah ke bawah, bencana justru memperlemah daya beli mereka,” tuturnya. Padahal menurut Madjdi, golongan ini lebih berhak mendapatkan proteksi.

Lalu mengapa tidak menciptakan produk untuk mereka? Padahal hitung punya hitung, jika industri asuransi jiwa misalnya, bisa menggarap pasar rakyat miskin dan kurang mampu yang berjumlah 76,4 juta jiwa tersebut, jumlah tertanggung individu dan atau grup di industri asuransi jiwa akan melonjak hingga 200%. Dengan skema premi yang Rp38.000 per tahun atau sekitar Rp3000 per bulan seperti yang harus dibayar oleh Begum, maka industri asuransi jiwa berpeluang menangguk perolehan premi bisnis baru sebesar Rp2,9 triliun per tahun.

Permasalahan ini sudah dihadapi industri asuransi jiwa di Tanah Air puluhan tahun lamanya. Menurut Herris B. Simandjuntak, Direktur Utama Asuransi Jiwasraya, masalah utama adalah mendesain produk asuransi mikro yang memenuhi skala bisnis. Produk asuransi mikro harus memperhitungkan berapa premi yang harus dibayar, berapa biaya kolektibilitas premi dan biaya administrasi yang lain. “Kalau tidak maka itu akan seperti asuransi sosial,” tuturnya pada BusinessWeek Indonesia.

Yang kedua, karena premi yang ditawarkan sangat terjangkau—perusahaan asuransi jiwa sudah ada yang berani menjual produk dengan premi Rp5000-7500 per tahun—maka harus ada lembaga yang mengkoordinir sehingga menjadi sebuah asuransi kumpulan. Misal satu desa, satu kecamatan, satu kelompok arisan, satu rukun tangga (RT) atau satu partai. “Ini adalah hukum bilangan banyak, law of the large number,” tutur Herris.

Hukum itu juga harus mempertimbangkan kemampuan mayoritas masyarakat miskin untuk membayar premi. Menurut Eddy Berutu, Direktur Eksekutif AAJI, jangankan produk asuransi jiwa berpremi Rp5000 per tahun, produk dengan premi Rp50.000 per tahun pun masih sangat terjangkau bagi rakyat miskin dan kurang mampu. Analoginya sangat sederhana. “Biaya itu tidak lebih besar dari biaya yang mereka keluarkan untuk (membeli) rokok setiap bulan,” tutur Eddy. Harga rokok rata-rata sebesar Rp5000 per bungkus. Apabila perokok menghabiskan satu bungkus per hari, maka biaya yang harus mereka sisihkan mencapai Rp150.000 per bulan. Menurut survey Biro Pusat Statistik, proporsi belanja rokok keluarga miskin pada 2003 meningkat menjadi 13% pada 2003 dari 8% pada 1999. Sementara proporsi belanja makanan pokok justru turun menjadi 19% pada 2003 dari 28% pada 1999.

Pemerintah harus terlibat

Memang, kesadaran masyarakat miskin akan pentingnya asuransi masih sangat minim. Mereka akan baru merasakan manfaatnya ketika tertimpa bencana. Permasalahannya, siapa yang harus berinisiatif untuk mengenalkan produk asuransi mikro dengan premi yang terjangkau ini kepada mereka? Jiwasraya telah memiliki produk Siharta, sementara Bumiputera memiliki ASRI (Asuransi Rakyat Indonesia). Allianz muncul dengan skema asuransi kredit bernama Asuransi Payung Keluarga dengan premi yang disesuaikan dengan jumlah pinjaman masyarakat tidak mampu. Misal untuk pinjaman senilai Rp1 juta, premi yang harus dibayar sebesar Rp5000 dengan manfaat Rp2 juta untuk pinjaman berdurasi 5 bulan. Namun penetrasi produk tersebut di masyarakat masih sangat minim. Madjdi Ali berharap pemerintah serius berinisiatif memikirkan skema perlindungan asuransi bagi masyarakat menengah ke bawah. Jens Reisch, Direktur Utama Alliaz Life sepakat dengan Madjdi bahwa masih dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk menjangkau masyarakat yang sangat miskin.

Dan pada prakteknya, beberapa pemerintah daerah sudah bergerak untuk mengasuransikan warga mereka. Pemerintah Kabupaten Yakuhimo, Papua yang warganya sempat dilanda kelaparan, saat ini telah mengasuransikan kesehatan seluruh warganya. Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatera Selatan telah mengasuransikan jiwa warganya sejak 2002. Semua Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur kecuali Bontang telah bekerja sama dengan Askes memproteksi kesehatan warga mereka.

Bagaimana keterlibatan pemerintah pusat? Program yang saat ini telah berjalan adalah asuransi kesehatan bagi rakyat miskin atau Askeskin. Menurut Orie Andari Sutadji, Direktur Utama PT.Askes, pada 2005 pemerintah menganggarkan dana Rp2,3 triliun untuk asuransi kesehatan 36 juta rakyat miskin. Dengan skema yang dipakai: Rp5000 / jiwa / bulan. Menurut Orie, Askeskin saat ini telah memproteksi 41% dari jumlah penduduk Indonesia. Namun saat jumlah RTM bertambah, skema yang dianggarkan pemerintah tidak berubah, Rp5000 per jiwa per tahun. Padahal manfaat layanan kesehatan yang dinikmati oleh rakyat miskin hampir tak terbatas, dari mulai layanan cuci darah, operasi jantung, penyakit katastropis hingga perawatan sakit jiwa. Menurut Orie, sesuai dengan standar aktuaris, premi ideal yang seharusnya dianggarkan oleh pemerintah adalah Rp12.000 per jiwa per bulan (Rp144.000 per tahun). Jika dibandingkan dengan premi asuransi kesehatan yang ada di industri, premi ini tergolong sangat murah.

Hanya separuh

Namun untuk bisa mencapai hitung-hitungan premi semurah ini perusahaan asuransi kesehatan menurut Orie, harus memiliki jaringan layaknya PT. Askes: kantor perwakilan yang menjangkau seluruh wilayah di Tanah Air, jaringan rumah sakit, puskesmas, termasuk jaringan dengan perusahaan farmasi. Perusahaan asuransi kesehatan juga harus mengelola klaim yang sangat besar. “Biaya kesehatan di tanah air sangat mahal, termasuk harga obat,” tutur Orie. PT. Askes harus membayar klaim untuk layanan kesehatan sebesar Rp300 miliar setiap bulan. Hingga saat ini, belum ada perusahaan asuransi kesehatan yang berani menawarkan skema premi murah dengan manfaat tak terbatas seperti yang sudah dilakukan oleh Askeskin ini.

Untuk mempromosikan embrio asuransi mikro ini, pemerintahan SBY mau tidak mau harus turun tangan, paling tidak untuk perlindungan dasar yaitu asuransi jiwa dan kesehatan. Dengan skema premi asuransi kesehatan ideal Rp144.000 per jiwa per tahun, pemerintah harus menganggarkan dana sebesar Rp11 triliun per tahun, ditambah Rp2,9 triliun untuk asuransi jiwa berdasarkan skema premi Rp38.000 per jiwa per tahun. Jumlah ini ternyata hanya separuh dari anggaran pemerintah pada tahun ini yang akan disalurkan ke departemen dan lembaga untuk penanggulangan kemiskinan sebesar Rp25,41 triliun. Sudah menjadi rahasia umum jika dana disalurkan ke departemen atau lembaga maka peluang terjadinya moral hazards seperti korupsi sangat besar. Dengan menyalurkannya ke industri asuransi, pemerintah lebih mudah melakukan kontrol. Demi transparansi pemerintah juga bisa menenderkan program ini untuk mendapatkan solusi yang terbaik.

Herris mengusulkan pembiayaan dilakukan secara bertahap. Untuk tahun pertama pemerintah mungkin harus membayar penuh, tapi pada tahun-tahun berikutnya pemerintah bisa membayarnya separuhnya. Porsi pemerintah semakin kecil ketika masyarakat semakin sadar berasuransi dan mandiri. “Sekarang ini masyarakat miskin seperti peminta-minta. Dan kalau terjadi bencana mereka tak punya daya tahan,” tutur Herris. Padahal menilik pembahasan di atas, asuransi mikro adalah solusi yang logis dan terjangkau. Apalagi bila pemerintah terlibat. SBY, apakah Anda mendengar?

Friday, March 16, 2007

Damai

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir kepada Allah. Ingatlah hanya dengan dzikir pada Allah hati menjadi tenang." (QS Ar-Rad [13]:28)

Prasangka

"Allah berfirman, Aku ini sebagai mana prasangka hamba-Ku. Aku bersama dia apabila ia ingat kepada-Ku. Apabila ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun ingat padanya dalam diri-Ku. Dan apabila ia mengingat-Ku dalam ruang yang luas, Aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik." (Hadits Qudsi)

Sombong

I feel so arrogant, when I am denying God.

Monday, March 05, 2007

Paradoks Bursa Efek Jakarta

Bursa Efek Jakarta butuh darah segar untuk memperkuat fundamentalnya yang rapuh

OLEH: HIZBULLAH ARIEF

Apakah Anda pernah mendengar perusahaan bernama PT Tudung Putrajaya? Jika tidak, saya ada sedikit petunjuk. Perusahaan ini adalah produsen tepung tapioka yang didirikan oleh Darmo Putro di Pati, Jawa Tengah pada 1958. Masih belum nyantol juga? Bagaimana bila satu lagi petunjuk? Dalam perkembangannya mereka memproduksi kacang garing bermerek Garuda. Ya… Kacang Garuda. Otak Anda pasti langsung teringat satu nama: Garudafood.

Anda benar, perusahaan itu kini tampil sebagai Grup Garudafood. Nama Garudafood saat ini bisa dijumpai di mana saja, bahkan di warung kelontong di dekat rumah Anda. Produknya tidak hanya kacang garing. Ada biskuit, kacang atom, kacang telor, kacang madu, minuman ringan, hingga keripik kentang. Pada 1998, perusahaan ini menguasai 65% pangsa pasar produk makanan kacang di Indonesia. Kini jaringan pemasarannya sudah merambah seluruh wilayah ASEAN, bahkan hingga ke wilayah Eropa, Australia, Amerika Utara hingga Timur Tengah.

Keberhasilan perusahaan yang digawangi CEO, Sudhamek A.W.S ini menjadikannya sebagai perusahaan yang digadang-gadang untuk segera masuk bursa oleh para analis saham. Parto Kawito, manajer investasi dari Indopremier Securities adalah salah satunya. Apalagi tahun ini dipandang sebagai tahun yang tepat bagi perusahaan tertutup seperti Garudafood untuk mencatatkan diri di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Apa pasal?

Sejak 2002, BEJ terus menunjukkan kinerja yang sangat dinamis. Indeks berkali-kali menembus rekor dan telah naik 350% pada akhir tahun lalu. Likuiditas yang pada 2002 tercatat hanya Rp493 miliar per hari, saat ini telah mencapai angka Rp2,55 triliun perhari. Itu semua berarti kesempatan besar bagi perusahaan tertutup dengan masa depan cerah seperti Garudafood untuk mendapatkan modal dari BEJ. Apalagi dalam wawancara dengan BusinessWeek Edisi Indonesia, 19 Februari lalu Sudhamek menyatakan perusahaannya sudah siap lahir batin untuk masuk bursa.

Belum saatnya

Lantas, apa lagi yang ditunggu? Alih-alih memilih bursa lokal. Apabila waktu go public tiba nanti, Sudhamek malah mengincar bursa tetangga, Singapore Stock Exchange (SSE) atau Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE), sebagai tempat untuk melabuhkan kepemilikan sahamnya. Dan sebelum saat itu tiba, perusahaannya lebih memilih untuk mendapatkan pendanaan dari pasar uang atau dalam bentuk dedicated loan, kredit dari perbankan. “Sekarang bukan waktu yang tepat (untuk mencatatkan diri di Bursa Efek Jakarta),” tuturnya.

Aspirasi Sudhamek mungkin mewakili ratusan bahkan ribuan perusahaan tertutup lain di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk mencatatkan diri di BEJ. Pada kenyataannya dari tahun ke tahun, jumlah perusahaan baru yang mencatatkan diri ke BEJ masih bisa dihitung dengan jari. Walau tahun lalu kapitalisasi pasar BEJ mengalami lonjakan yang luar biasa dari Rp800 triliun ke Rp1200 triliun, kapitalisasi pasar primer (primary market)—yang bersumber dari pencatatan emiten baru—tercatat hanya berkisar Rp3 triliun atau $300 juta. Sisanya disumbang pasar sekunder yaitu pasar emiten yang sudah eksis.

Langkanya emiten baru di BEJ bukan tanpa sebab. Sudhamek menyebut pertimbangan PER (Price Earning Ratio) sebagai salah satu alasannya. Dibanding dengan bursa efek regional seperti Bursa Efek Singapura (SSE) dan Bursa Kuala Lumpur (KLSE), PER—yang mengindikasikan rasio harga saham dibanding dengan pendapatan—BEJ, termasuk paling rendah yaitu 14,7. Sementara PER di SSE dan KLSE tercatat 17.

Ini artinya, harga saham perusahaan di BEJ masih dinilai lebih rendah dibanding harga saham di bursa sewilayah. Akibatnya, bila ada perusahaan yang hendak mencatatkan diri di BEJ, itu berarti, mereka harus siap menjual kepemilikan (saham) lebih banyak untuk mendapatkan modal yang mereka butuhkan, karena harga saham mereka yang masih dinilai murah.
Kapitalisasi pasar BEJ yang kecil menjadi kekhawatiran Sudhamek yang kedua. “Dengan jumlah pemain yang terbatas, BEJ jadi mudah digoyang,” tuturnya.

Fundamental bermasalah

Hal ini sangat disadari oleh Airlangga Hartarto, Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI). Menurut Airlangga, pertumbuhan kapitalisasi pasar di BEJ sangat rentan. Faktor fundamental BEJ menurutnya “sedikit” bermasalah. “Bursa kita hanya didorong oleh 22 saham saja,” tuturnya pada BusinessWeek Edisi Indonesia, 26 Februari lalu. Sebanyak 45 emiten menguasai 80% kapitalisasi pasar.

Akibatnya, kenaikan keuntungan dari perusahaan publik tidak tercermin pada kenaikan kapitalisasi pasar. Kenaikan kapitalisasi pasar lebih tergantung pada faktor regional dan sentimen lokal. Penyebabnya menurut Airlangga adalah investor asing. Dari 600.000 investor yang tercatat di data resmi BEJ, 60%-nya masih dikuasai oleh investor asing. “Dan investor asing sangat terpengaruh oleh dua hal tadi (faktor regional dan sentiment lokal),” tuturnya.

Melonjaknya transaksi di BEJ (kabarnya mencapai Rp4 triliun, jauh di atas rata-rata transaksi harian yang sebesar Rp2,5 triliun) yang terjadi pada Rabu (28/2) lalu—yang dipicu oleh terkoreksinya bursa Shanghai sebesar 9% akibat ketakutan akan prospek ekonomi China—membuktikan teori ini. IHSG juga sempat terkoreksi hingga 5%. Dan karena kebanyakan dana yang lari adalah dana asing, maka rupiah pun tertekan hingga mencapai level Rp9.172.
Untuk mengatasinya, tidak ada jalan lain selain mengganjal lemahnya faktor fundamental itu dengan emisi-emisi baru. Jumlah modal yang bisa diraup di BEJ juga harus terus ditingkatkan. “Dalam artian pasar modal harus benar-benar dijadikan sumber pembiayaan sebagaimana terjadi di luar negeri,” tutur Airlangga.

PER yang rendah di satu sisi menguntungkan investor karena bisa membeli saham dengan harga murah dengan potensi pendapatan yang besar. Namun di sisi lain merugikan perusahaan tertutup yang akan masuk bursa karena harga sahamnya dinilai murah. Saat ini emiten di BEJ menurut Airlangga masih membatasi jumlah saham yang beredar di bawah 40%.
Dengan kondisi itu, menarik perusahaan untuk masuk bursa tidak mudah. Erry Firmansyah, Direktur Utama BEJ adalah sosok yang paling bertanggung jawab di balik upaya ini. Saat ini BEJ baru memiliki 342 emiten. Bandingkan dengan 709 emiten yang tercatat di Bursa Efek Singapura per Januari. Berbagai rayuan pun dijuruskan. Kepada BusinessWeek Edisi Indonesia akhir Februari lalu, Erry menyatakan, PER di BEJ sudah tidak lagi murah namun juga tidak mahal. “PER kita sudah fair dengan kondisi regional,” tutur Erry. PER BEJ hanya kalah dengan bursa Korea dan Thailand yang lebih rendah. Namun masih di bawah Singapura dan Malaysia. Sehingga, “Masih ada ruang untuk tumbuh, waktunya untuk masuk pasar” tuturnya.

Haryajid Ramelan, Sekretaris Asosiasi Analis Efek Indonesia juga menilai masih ada ruang untuk mengeruk pendapatan (earning) dari bursa. Rata-rata pendapatan di BEJ mencapai 20-30%.

Tanya kenapa?

Dan potensi IPO perusahaan dalam negeri menurut Erry masih sangat besar. Salah satu sektor yang sedang hot adalah perkebunan. “Sedikit sekali perkebunan yang go public sementara perkebunan kita begitu banyak. BUMN Perkebunan satupun tidak ada, kenapa?” tanyanya. Menurut Erry menjadi perusahaan publik yang mahal adalah cost of transparency-nya. ”Dan hal itu tidak bisa dinilai dengan uang.” Erry ingin menekankan dua hal. Pertama, semakin banyak perusahaan yang masuk bursa maka tata kelola negara pun semakin membaik. Hal ini karena, “Mohon maaf, banyak perusahaan (tertutup) yang masih bisa ‘bermain’ dengan pajak,” ujarnya. Kedua, filosofi perusahaan masuk bursa harus diubah—tidak hanya untuk mencari modal tapi juga untuk kelangsungan perusahaan. “Contohnya Astra. Kalau tidak go public, Astra mungkin sudah hilang,” tambahnya lagi.

Namun berwacana tidaklah cukup. Perlu insentif riil untuk menarik perusahaan masuk bursa. AEI mengusulkan agar pemerintah memberi insentif pajak bagi perusahaan yang go public. “AEI mengusulkan pembedaan pajak 5-10% bagi perusahaan publik,” ujar Airlangga. Hal ini dikarenakan biaya go public yang tinggi. Termasuk biaya untuk memenuhi syarat-syarat keterbukaan di bursa. “Kalau tak ada kompensasi maka yang terjadi adalah seperti 5 tahun terakhir. Jumlah emisi baru relatif stagnan,” tuturnya.

Menurut Airlangga, Spanyol sudah memberikan insentif pajak seperti ini. Juga Jepang yang memberikan pajak deviden 0%. Saat ini insentif perpajakan masih mengunggu selesainya pembahasan UU perpajakan. Bola ada di tangan DPR dan pemerintah. Tahun ini BEJ menargetkan 25 emiten baru. Pada saat yang sama pemerintah berencana memprivatisasi 15 BUMN.

Sesuai kesepakatan Komite Privatisasi, BNI, Jasa Marga, Wijaya Karya, Garuda Indonesia, Merpati, ISI, Iglas, Cambrics Primisima menjadi BUMN mayoritas yang akan diprivatisasi. Menurut Menteri Negara BUMN, Sugiharto, privatisasi tahun ini akan difokuskan pada BNI, Jasa Marga dan Wijaya Karya. Khusus BNI, BNI berencana melakukan right issue untuk menambah kapitalisasinya di pasar sekunder guna meraih Rp4,4 triliun.

Menurut Airlangga, BUMN yang memiliki sifat alami (nature) monopoli, berpotensi menjadi saham blue chip di pasar. Namun menilik kasus PGN tampaknya banyak BUMN yang masih harus belajar soal transparansi, sebelum memprivatisasi diri. Menurut Parto, kasus PGN bisa menjadi contoh keseriusan BEJ dan Bapepam dalam menjaga kewibawaan bursa. Erry sendiri menanggapi positif tuntutan itu. “Ada miskomunikasi antara perusahaan dan investor (pada kasus PGN). Itu yang sedang kita selidiki,” ujarnya.

Apabila transparansi belum bisa ditegakkan dan tidak ada insentif bagi perusahaan yang go public, maka wajar Sudhamek dan ribuan CEO perusahaan tertutup lain berpikir dua kali untuk masuk bursa. Saatnya BEJ, pemerintah dan DPR membuktikannya.

Tabel.1
Lain Bursa Lain Ladangnya

BURSA / JUMLAH EMITEN / KAPITALISASI PASAR / PER

BEJ / 342 / $132,8 miliar / 14,7
SSE / 709 / $632 miliar / 17

Tabel 2.
2 juta
Target jumlah investor di BEJ pada 2008 dibanding 600.000 investor saat ini

Tabel. 3
STAGNAN
Jumlah Emiten di BEJ

TAHUN / 2002 / 2003 / 2004 / 2005 / 2006 / 2007*
JUMLAH / 331 / 333 / 331 / 336 / 344 / 342

* Per Februari 2007