Tuesday, December 27, 2005

Menunggu Bin Laden dan Bush Berjabat Tangan

Kompas, 24 Desember 2005

Mungkinkah Amerika Serikat dan Osama bin Laden menjalin perdamaian? Lalu kita menyaksikan Bin Laden dan George W Bush berjabat tangan? Kesepakatan umum beranggapan itu sesuatu yang tidak mungkin bisa terjadi.

Sejak 11 September 2001, sudah puluhan ribu orang tewas akibat pertarungan negara adidaya (baca: AS) itu dengan aktor non-negara yang bertindak di luar batas kedaulatan mereka. Tatkala membaca beritanya, kita memaklumi hanya jadi penonton dari satu perseteruan mematikan antara Bush dan Bin Laden.

Sebetulnya perseteruan itu sesuatu yang mencengangkan karena keluarga Bush dan Bin Laden sudah jadi partner bisnis selama dua generasi. Kini mereka berbicara dengan saling melempar bom di antara jurang pemisah peradaban. Bagaimana retorika berkembang? Dari ranah pribadi naik ke wilayah publik dan akhirnya ke wilayah peradaban?

Mungkinkah terlontar suatu ujaran: ”Kamu telah bunuh banyak orang kami, dan kami telah bunuh banyak orang kamu. Tak berguna kita meneruskannya. Mari kita saling menjalin perdamaian.”

Perang atau damai?

Di satu sisi, kita jumpai bahasa liberalisme—perluasan kebebasan—dan di sisi lain bahasa agama. Cocokkah kedua bahasa ini, dan bisakah saling diterjemahkan?

Mustahilkah perdamaian tercipta karena tak ada satu Tuhan yang sama? Bisakah kita lepas dari keterperangkapan kita di antara dua kedaulatan yang saling bertentangan: masing-masing dengan klaim transenden, merasa paling tahu, dan ekslusif? Bisa berubahkah (sikap) kedua pihak melalui dialog?

Pertengahan April 2004, Bin Laden muncul dengan tawaran perdamaian kepada bangsa Eropa. Ia berkata, ”Hentikan tumpahnya darah di pihak kami agar kami bisa menghentikan tumpahnya darah di pihak Anda.”

Tawaran Bin Laden secara bulat dibungkamkan di Eropa. Muncul respons, Bin Laden teroris. Dikatakan bahwa negara tidak membuat perjanjian dengan teroris. Bila dilakukan, berarti negara melegitimasi kekerasan, dan membuka jalan tindakan kekerasan lain.

Argumentasi ini lemah. Kita tahu, negara-negara saling berperang, membuat perjanjian, dan lalu berperang lagi. Di masa kini, negara berperang dengan apa yang dituding sebagai teroris, seperti IRA, Yasser Arafat, Menachem Begin, Nelson Mandela. Lalu membuat perdamaian.

Kemungkinan kekerasan di masa depan bukanlah argumen mencegah perdamaian di masa kini. Ini bukan alasan menolaknya. Mestinya ada hal lain.

Untuk memahaminya, perlu ditanyakan, apa itu teroris? Apakah teroris seseorang yang membunuh warga sipil? Tentara AS pun membunuh ribuan warga sipil sejak September 2001. Ternyata, membunuh warga sipil tidak menentukan seseorang dicap sebagai teroris.

Adalah warga sipil tak diizinkan membunuh warga sipil lain. Warga sipil bahkan dilarang membunuh tentara asing yang menduduki wilayahnya. Seperti terjadi di Irak, warga sipil yang membunuh tentara kolonial malah disebut teroris.

Warga sipil juga tak berhak berperang. Di AS, perang begitu penting, hingga keputusannya tak diperkenankan berada di tangan rakyat. Kongres Amerika, sebagai wakil rakyat dengan hak melancarkan perang, melepaskan tanggung jawab mendeklarasikan perang dan menyerahkannya kepada Presiden AS.

Perang terhadap Afganistan dan Irak belum pernah dideklarasikan Kongres. Setiap perang harus dilancarkan atas nama kedaulatan rakyat. Dengan demikian, kedaulatan rakyat Amerika dalam masalah perang sudah dirampas dari tangan mereka.

Di arena internasional, hanya negara memiliki hak melancarkan perang atau damai. Sejak zaman Hobbes, negara dilihat sebagai personalitas legal yang dapat melakukan perjanjian damai satu sama lain, karena dianggap setara. Negara hanya mengakui negara lain, dan tidak yang lain sebagai setara.

Mencermati ini, secara historis membawa kita pada genealogi terorisme sebagai apa yang berada di luar para pejuang dan pembuat perdamaian yang sah. Teroris adalah ’pejuang’ atau ’prajurit’ yang tidak sah. Mereka tidak memiliki izin membunuh. Namun, siapakah yang memiliki izin membunuh?

Retorika pembrangusan

Perang Salib adalah proyek politis abad ke-11 saat Paus menciptakan kedaulatan baru di atas raja-raja. Satu gerakan politis dijalin melalui gerakan geografis: Perang Salib adalah satu ziarah massal ke tanah suci; ziarah bersenjata.

Disiplin dalam ambisi ini dikelola dengan menerapkan batasan bersifat kategoris. Tentang hal itu, sejarawan Tomaz Mastnak sempat menulis: ”Orang Islam dianggap tidak berkeyakinan, karenanya berada di luar hukum dan tak memiliki hak. Karena itu, orang Kristen tidak dapat membuat kontrak gencatan senjata ataupun perdamaian dengan mereka.”

Perang pun jadi berarti kemenangan/kekalahan mutlak, dan tanpa akhir. Ini alasan kenapa Perang Salib terjadi berabad-abad; dan ini jadi terminologi yang masih Bush gunakan sampai saat ini.

Mastnak melanjutkan, ”Tidak memiliki hak membuat perdamaian, para orang Muslim disangkal haknya melancarkan perang…hak melancarkan perang hanya dimiliki orang Kristen. Eksklusivitas baru cinta Kristiani-cinta yang mengilhami penggunaan kekerasan, membuka pintu kebrutalan prajurit Perang Salib terhadap Muslim.”

Propaganda ini dilancarkan Paus Urban kedua guna membangkitkan citra tertentu Muslim, sekaligus memfokuskan permusuhan terhadapnya. Saat nama Tuhan digunakan demi tujuan militer, kemenangan menjadi absolut. Perdamaiannya adalah perdamaian ”kuburan”; satu perdamaian abadi, karena orang yang mati tidak dapat berperang lagi.

Retorika ini terus dilanggengkan Bush dan Bin Laden, dalam berbagai pernyataan dengan kedok tujuan mulia, seperti agama, peradaban atau kebebasan. Retorika dikembangkan di depan mata kita dan bergerak di atas untaian mayat yang semakin banyak bertumpuk.

Kedaulatan rakyat

Amerika memperoleh keuntungan atas lawan yang disebut teroris dengan mempraktikkan pengaruh terhadap para sekutunya. Meskipun tidak memiliki kedaulatan atas Spanyol, Amerika memiliki cukup pengaruh hingga Pemerintah Spanyol mengirim tentaranya ke medan perang di Irak pada tahun 2003.

Ini berarti penyerahan sebagian dari kedaulatan rakyat Spanyol kepada Amerika. Penyerahan kedaulatan ini bertalian dengan makin tingginya gaung retorika Amerika saat perang melawan Irak mencapai puncaknya.

Keriuhan retorika ini menciptakan situasi di mana Amerika dapat merebut hak rakyat Spanyol menentukan sendiri apa mau perang atau tidak. Setelah itu, rakyat Spanyol berupaya meraih kembali kedaulatan mereka. Bagaimanakah mereka melakukannya?

Tulisan ini dimulai dengan pertanyaan: dapatkah Amerika membuat perjanjian damai dengan Bin Laden? Saat ini saya katakan tidak tahu. Namun dapat dikatakan, Spanyol telah melakukannya. Membuat perjanjian damai dengan Bin Laden. Ini dilakukan sebagai respons serangan bom di kereta api di Madrid pada bulan Maret 2004.

Rakyat Spanyol meraih kembali kedaulatan kebijakan luar negerinya ketika berhasil menjatuhkan Perdana Menteri Aznar, dan menggantikannya dengan Zapatero, yang berjanji membawa prajurit mereka kembali ke Spanyol.

Cukup banyak biaya dibayar, hingga rakyat Spanyol berkata: Cukup sudah! Biaya terlalu tinggi. Tindakan balasan rakyat Spanyol kepada gejala terorisme bukan perang, tetapi perdamaian.

Pada April 2004, sebulan setelah Aznar jatuh, Bin Laden menawarkan perjanjian damai kepada orang-orang Eropa. Ia memformalkan dan memperluas ’perjanjian damai’ yang sudah ada dengan rakyat Spanyol.

Rakyat Spanyol menegaskan perdamaian dapat dilakukan. Meski tidak dalam terminologi yang baik dan mereka sukai, namun demikian mereka telah melakukannya.

Tak begitu mengagetkan adanya elemen kekerasan dalam bahasa perdamaian itu. Yang mengagetkan, munculnya dalam demokrasi Barat pengakuan bahwa tak dapat dielakkan warga sipil bisa terperangkap ke dalam peperangan dengan pihak asing. Selain itu, timbul juga pemahaman bahwa di samping berbagai kendala di dalam partisipasi mereka di bidang urusan luar negeri, warga sipil bisa memiliki kemampuan melakukan negosiasi perdamaian.

Bilamana negara merebut hak bertindak melampaui batas dan kewenangan kedaulatannya, maka pihak bukan negara juga merespons di luar kewenangan perwakilan politik. Dalam pengertian ini, demokrasi dan terorisme memiliki banyak kesamaan bahasa. Setiap orang tahu demokrasi dan terorisme dapat berbicara melalui bahasa peperangan dan kekerasan. Namun, sedikit yang tahu demokrasi dan terorisme dapat juga berbicara dalam bahasa perdamaian.

Dapatkah Amerika belajar dari rakyat Spanyol? Dapatkah orang Amerika diedukasikan? Atau, dibutuhkan lebih banyak lagi peperangan, sebelum akhirnya penderitaan jadi tak tertahankan? Saat ini saya mengajar di Amerika, namun saya tidak mengetahui jawabannya. Siapa yang tahu?

Engseng Ho Associate Professor dalam Bidang Antropologi di Universitas Harvard, AS

Tuesday, December 20, 2005

Alone


Monday, December 05, 2005

Reformasi Pajak: Buruk Rupa Cermin Dibelah

RUU Perpajakan seharusnya menjadi ladang amal bagi semua pihak untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi dunia usaha, sekaligus menyelamatkan Indonesia.

Pendekatan patron dan client—pemegang kekuasaan dan hamba sahaya—ternyata masih digunakan dalam penegakan hukum perpajakan. Bahkan pola itu seringkali digunakan oleh “oknum” aparat pajak untuk “menekan” para wajib pajak. Kesimpulan ini adalah salah satu yang tersurat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Gerakan Masyarakat Pembayar Pajak (GMPP) pertengahah November lalu di Jakarta. “Pajak bisa digunakan untuk melakukan pemerasan (black mail), tekanan politik ataupun alat di luar (kepentingan) perpajakan,” ujar Faisal Basri, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia. Penyebabnya tidak lain adalah lingkup kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang teramat luas. DJP menurut Faisal berwenang untuk menentukan kebijakan pajak, penafsir kebijakan, penentu target, operator (pengumpul pajak) , pemeriksa, sekaligus penentu besarnya pembayaran denda bagi pelanggar pajak. “Setiap upaya untuk mengurangi kewenangan DJP selalu ditolak,” ujar Faisal.

Dalam sebuah tinjauan akademis yang berjudul “Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak,” yang dilakukan oleh Danny Septriadi dan Darussalam, spesialis pajak dari Danny-Darussalam Tax Research Centre disebutkan, salah satu sumber terciptanya kekuasaan yang tidak terbatas di DJP terletak pada pendelegasian kekuasaan untuk mengenakan pajak yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh tahun 2000. Dalam pasal itu disebutkan; atas penghasilan dari (i) bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya; (ii) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek; (iii) penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan; serta (iv) penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). Butir (iv) yang menyebut “penghasilan tertentu lainnya” menurut Danny menjadikan objek pajak yang dapat dikenakan pajak melalui PP menjadi tidak terbatas.

Pendelegasian kekuasaan untuk mengenakan pajak (menetapkan basis pajak, tax base dan besaran pajak, tax rate) kepada pemerintah (melalui PP) menjadi sumber masalah selanjutnya. “Pada pasal 23A UUD 1945 secara tegas dinyatakan, pengenaan pajak harus melalui undang-undang,” ujar Danny. Ini artinya, setiap pengenaan pajak (basis dan besaran pajak) harus sepengetahuan dan persetujuan DPR. “Tidak pada tempatnya apabila DPR mendelegasikan pengenaan pajak terhadap jenis penghasilan tertentu, terutama masalah penentuan basis pajak dan besaran pajak, kepada Pemerintah,” tegasnya.


Di depan mata


Masalah ada di depan mata. Survei yang dilakukan WEF (World Economic Forum) terhadap para pembuat keputusan (eksekutif) pada 2005 menyebutkan, peraturan pajak menempati peringkat ketiga faktor-faktor yang paling menghambat dunia bisnis di Indonesia. “Posisi ini naik dari posisi tahun lalu yang peringkat enam,” ujar Faisal. Menurut Faisal hal ini konsisten dengan penelitian Transparency International (TI) yang menempatkan DJP sebagai instansi terkorup kedua setelah Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC). Menurut data Bank Dunia (World Bank), jenis pajak yang harus dibayar di Indonesia jumlahnya mencapai 52 jenis—di Asia Tenggara angka ini hanya kalah dengan Philipina yang 62 jenis. Sementara persentase total pajak yang dibayar dibanding laba kotor mencapai 38,8%. Bandingkan dengan Hongkong dimana persentase total pajak dibanding laba kotor mencapai 14,3%, Malaysia 11,6%, Singapura 19,5% dan Thailand yang 28,2%.

Ini berarti, beban pajak yang harus ditanggung dunia usaha di Indonesia, masih jauh lebih besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Paskah Suzetta, Ketua Komisi XI DPR-RI menegaskan, ada beberapa angka statistik yang bisa dijadikan parameter atau patokan untuk mengukur kinerja DJP. Salah satunya adalah jumlah pembayar pajak terdaftar—yang sejak reformasi perpajakan bergulir pada tahun 1980-an hingga saat ini—hanya mencapai angka 3,5 juta. “Dari jumlah tersebut hanya 30% yang aktif mengisi SPT (Surat Pemberitahuan),” ujar Paskah. Angka nisbah pajak (tax ratio) juga dinilai masih rendah, 12-13%. “Level tersebut masih kalah jauh dengan Malaysia dan Thailand,” ujar Paskah tanpa menyebut angka.

Potensial, namun…

Menteri Keuangan, Jusuf Anwar pada 31 Oktober lalu menyatakan, tahun depan, pemerintah menargetkan perolehan pajak senilai Rp416,3 triliun atau 13,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rinciannya, pajak dalam negeri ditargetkan Rp399,3 triliun dan pajak perdagangan internasional diperkirakan Rp16,9 triliun. Angka ini lebih besar dari target tahun ini Rp352 triliun (13,3 persen dari PDB). Menurut Jusuf nisbah pajak 13,7 persen (pada 2006) itu merupakan target yang cukup realistis. Hadi Poernomo, Dirjen Pajak Depkeu menambahkan rata-rata kenaikan penerimaan dari sektor pajak sekitar Rp30 triliun per tahun.

Namun pajak—sebagai sumber pendapatan negara yang paling potensial—saat ini lebih berfungsi sebagai penambal defisit anggaran negara. Menurut Paskah hal ini karena pemerintah sulit untuk memperoleh sisi pendapatan lain akibat berubahnya Indonesia menjadi negara importir minyak, rendahnya kinerja ekspor dan buruknya iklim investasi. “Hal ini mengakibatkan neraca perdagangan lemah, tidak sustainable serta mengakibatkan defisit neraca pembayaran,” ujarnya. Kondisi tersebut semakin ironis mengingat pengeluaran terbesar dari struktur APBN saat ini adalah untuk membayar bunga utang domestik dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. “Sudah menjadi rahasia umum bahwa utang domestik dalan struktur APBN adalah dosa-dosa perbankan yang harus ditanggung masyarakat luas,” ujarnya.

Sebagai gambaran menurut Paskah, dalam RAPBN 2006, total pengeluaran pemerintah tercatat Rp559,2 triliun. Dari angka tersebut pengeluaran untuk pembayaran bunga utang domestik dan pembayaran cicilan pokok adalah sebesar Rp133,9 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dana yang digunakan untuk stimulus pembangunan ekonomi. Pengeluaran belanja modal (investasi) dalam RAPBN 2006 hanya Rp45 triliun, sementara untuk belanja barang (konsumsi) Rp77,8 triliun. “Dengan kondisi tersebut pajak telah kehilangan fungsi aslinya baik fungsi alokasi maupun stabilitas ekonomi,” ujarnya.

Peluang reformasi

Kini peluang perubahan besar—termasuk untuk mengembalikan fungsi asli pajak di masa datang—ada di RUU Perpajakan yang baru. Menurut Paskah, masalah yang harus ditangani pemerintah secara serius adalah masalah kebijakan administrasi pajak dan rasionalisasi tarif. Dalam hal administrasi pajak, selama ini proses pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) pajak dinilai masih sangat menyulitkan.Sementara dalam hal rasionalisasi tarif, beberapa tarif pajak masih tergolong tinggi dan tidak kompetitif secara internasional. ‘’Akibatnya, kita sering kalah bersaing dengan negara lain. Sehingga, struktur tarif memang harus diperbaiki,’’ ujarnya. Rencana pemerintah untuk mempeluas basis pajak, sambungnya, juga harus disertai dengan kompensasi yang bisa langsung dinikmati.

Tahun depan adalah momentum bagi DPR akan membahas secara rinci RUU tersebut. Selain usulan untuk mengembalikan fungsi dan kewenangan perpajakan melalui Undang-Undang, salah satu usulan terpenting adalah mereformasi organisasi DJP. Menurut Faisal harus ada lembaga pengawas independen yang bertugas memantau kinerja DJP, termasuk melakukan audit terhadap penerimaan dan target pajak. Fungsi pengawas ini menurut Faisal tidak bisa dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK) karena kewenangan BPK yang terlalu luas. “Jadi harus dibentuk badan yang spesifik,” ujarnya kepada BusinessWeek Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak, Hadi Poernomo, dalam sebuah wawancara menyatakan, (semua pihak) hendaknya harus membedakan antara sistem dengan kasus. “Saya benar-benar ingin sistem dijalankan dengan keterbukaan, langsung, dan kejujuran. Ini prinsip dasar pajak,” ujarnya sebagaimana dikutip Kompas, 26 November. Niat baik Hadi pasti dihargai, namun menilik sistem perpajakan yang belum sempurma, RUU Perpajakan seharusnya menjadi ladang amal bagi semua pihak untuk menyempurnakannya. Tahun depan tinggal selangkah lagi. Jangan sampai buruk rupa cermin pun dibelah. Oleh Hizbullah Arief di Jakarta

Friday, December 02, 2005

Selamat Datang di Rimba Ritel

Bisnis ritel tumbuh dan bersaing ketat di tengah inflasi biaya tinggi dan melambatnya ekonomi.

Sebuah toko khusus (specialty store) yang menyediakan produk-produk kehamilan dibuka di Kingston, Surrey, Inggris, 1961. Setahun kemudian, pada 1962, toko ini meluncurkan unit bisnis baru yang melayani pemesanan melalui pos—layanan yang agak jarang pada masanya. Melalui layanan inilah toko itu menorehkan reputasi di seluruh dunia. Empat puluh empat tahun kemudian, pada 13 Oktober 2005, Mothercare—nama toko itu—membuka gerainya yang ketiga di Jakarta, tepatnya di Mal Kelapa Gading 3, Jakarta Utara. Jerry Cull, perwakilan Mothercare dari Inggris menyatakan, pihaknya berencana membuka 15 gerai dalam jangka waktu 6-7 tahun ke depan. “Kami tidak bisa memperkirakan lebih dari itu, karena kondisi perekonomian sekarang. Angka 15 mewakili potensi yang ada,” ujar Jerry kepada BusinessWeek Indonesia pertengahan Oktober lalu.

Konsumen Indonesia terutama konsumen di Jakarta tampaknya akan terus berhadapan dengan gerai ritel asing dalam beberapa tahun mendatang. Seibu, jaringan department store dari Jepang—tokonya di Tokyo tercatat merupakan department store terbesar ketiga di dunia—disebut-sebut akan membuka cabangnya di Grand Indonesia, kompleks pertokoan yang kini sedang dibangun di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Central, pesaingnya dari Thailand juga telah mengokupasi 41.000 m2 lahan di tempat yang sama. Ipung Kurniawan, pemegang saham utama PT Hero Supermarket Tbk menurut sumber BusinessWeek Indonesia berada dibalik dua inisiatif ini. Isetan, peritel besar dari Jepang—yang namanya sudah menjadi trademark pusat perbelanjaan terkemuka di beberapa negara, seperti Singapura dan Malaysia—juga akan masuk pada 2008. Sementara Tesco, perusahaan ritel dari Inggris juga telah membentuk tim untuk mempelajari pasar Indonesia.

Perekonomian Indonesia sekilas menawarkan potensi besar bagi usaha ritel modern. Menurut Heru Nasution, Sekretaris Jenderal APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia) pada BusinessWeek Indonesia akhir Oktober, tren pembangunan pusat belanja masih akan terus berlangsung hingga 2008. Berdasarkan data AC Nielsen yang dikeluarkan Juli tahun lalu, jumlah pasar modern seperti hypermarket, supermarket dan mini market di Indonesia, meningkat sebesar 31,4% dalam 2 tahun terakhir. Sebaliknya jumlah pasar tradisional mengalami penurunan sebesar 8,1% setiap tahun. Jumlah pasar modern pada 2003 tercatat sebanyak 5.079 meningkat dari 3.865 pada 2001. Sementara pasar tradisional jumlahnya turun dari 1.899.736 pada 2001 menjadi 1.745.589 pada 2003. Tuntutan konsumen yang mencakup harga rendah, kemudahan dengan konsep belanja di satu tempat (one stop shopping), hingga kenyamanan menjadi alasan berkembangnya ritel modern ini.

Tentangan inflasi

Namun pasca kenaikan harga BBM pada 1 Oktober, perekonomian Indonesia—terutama bagi pengelola pusat perbelanjaan dan pengusaha ritel—bagaikan menyimpan segudang ketidakpastian. Berdasarkan hasil pantuan Badan Pusat Statistik (BPS) di 45 kota, inflasi pada Oktober 2005 mencapai 8,70 persen. Indeks harga konsumen (IHK) naik 10,82 poin dari 124,33 pada September 2005 menjadi 135,15 pada Oktober 2005. Laju inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2005 tercatat mencapai 15,65%, sedangkan inflasi year-on-year (Oktober 2005 terhadap Oktober 2004) tercatat sebesar 17,89%. “Ini merupakan tingkat inflasi bulanan dan inflasi year-on-year tertinggi sejak tahun 2001," ujar Choiril Maksum, Kepala BPS, 1 November. Kenaikan harga BBM, bensin, minyak tanah dan solar menyumbang presentase inflasi tertinggi sebesar 3,47%. Sedangkan kenaikan tarif transportasi menyumbang sebesar 2,08%.

Efek langsung kenaikan BBM yang terasa adalah kenaikan tarif dasar listrik (TDL) oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) per 1 Oktober. Menurut A. Stefanus Ridwan, Ketua DPP APPBI, dalam TDL baru yang diberlakukan PLN, sebanyak 50% dari pemakaian waktu beban puncak (WBP) rata-rata dikenakan harga TDL pemakaian dengan faktor pengali (K), 2 (dua). Sisanya dikenakan harga TDL pemakaian dengan faktor pengali 4 (empat). Sebelumnya, dalam harga TDL lama, pemakaian WBP adalah total pemakaian WBP dikalikan faktor pengali (K) 1,4. Menurut Sunggu Anwar Aritonang, Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan PLN, kenaikan faktor K adalah wewenang dari direksi PLN.

Akibatnya menurut Ridwan, pengelola pusat perbelanjaan harus menanggung kenaikan biaya listrik sebesar 114,28% (dari harga Agustus) mulai 1 Oktober. “Kenaikan ini belum termasuk biaya beban,” ujarnya. Biaya beban mengalami kenaikan 16,25% menjadikan total kenaikan biaya listrik menjadi sekitar 49%. Konsekuensinya, untuk membagi beban tersebut, pengelola pusat belanja dalam waktu dekat akan menyesuaikan biaya layanan (service charge) kepada para pengusaha ritel. Menurut perhitungan APPBI, kenaikannya berkisar 29,4%. Ditambah dengan biaya kenaikan yang lain akibat kenaikan BBM seperti biaya gaji, transportasi dan suku cadang—yang diperkirakan sebesar 10%, maka total kenaikan biaya yang harus ditanggung peritel menjadi sebesar 33,4%.

Bagaikan bola salju, efek kenaikan biaya layanan ini akan semakin membesar. Ujung-ujungnya peritel akan membagi beban tersebut kepada konsumen dengan menaikkan harga barang. APPBI memperkirakan kenaikan harga akan sebesar 3,4% pada toko ritel besar—seperti supermarket dan hypermarket—dan 7% pada toko kecil. Tutum Rahanta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan, sampai saat ini, peritel masih berusaha keras untuk menekan harga. Namun Tutum menambahkan, apabila peritel ingin bertahan (survive) dan berkembang, mereka juga harus tumbuh melebihi biaya beban dan inflasi.

Dari data Aprindo, selama ini, margin keuntungan yang diperoleh oleh toko-toko kecil mencapai 45%. Margin keuntungan department store, seperti Matahari, Ramayana mencapai 35%. Sementara margin supermarket dan hypermarket lebih kecil lagi—hanya 15%. “Sepertiga (30%) dari margin itu digunakan untuk (membayar) biaya sewa dan biaya layanan (service charge),” ujar Tutum. Dengan tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Oktober) mencapai 15,65% dan inflasi year on year mencapai 17,89%, maka tekanan sangat berat akan jatuh pada bisnis supermarket dan hypermarket.

Lesu

Saat inflasi sangat tinggi, otomatis daya beli juga menurun. Menurut Heru, omset pusat perbelanjaan pada lebaran tahun ini turun 20% dibanding omset lebaran tahun lalu. Padahal omset selama tiga bulan (November, Desember, Januari) untuk event lebaran, natal dan tahun baru menurut Ridwan menyumbang 70% dari omset ritel per tahun. Sementara sisa 9 bulan yang ada peritel hanya tinggal berharap 30%-nya. Dari data 2004—data 2005 belum tersedia—dari Badan Pusat Statistik menyebutkan, nilai omzet perdagangan ritel nasional mencapai Rp330 triliun. Perusahaan anggota Aprindo, menurut Tutum baru meraih nilai omzet ritel sebesar Rp33 triliun atau sekitar 11% dari total omzet perdagangan ritel nasional.

Kondisi bisnis ritel yang lesu ini didukung oleh hasil survei konsumen Bank Indonesia (BI) pada September 2005. Survei yang dilakukan sebelum kenaikan harga BBM itu menunjukkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menurun 9,6 poin dari 99,7 menjadi 90,1. Ini berarti konsumen berada pada kondisi yang semakin pesimis (indeks di bawah100). Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) juga turun dari 114,5 menjadi 101,8 dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) turun dari 84,8 menjadi 78,3. Penyebabnya antara lain persepsi konsumen akan adanya kenaikan harga pasca kenaikan harga BBM, kurs rupiah yang melemah, serta ketersediaan lapangan kerja yang semakin menurun.

Namun, dalam kondisi yang bearish bukan berarti bisnis perdagangan dan ritel sudah putus harapan. Menurut analisa BI, sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan akan tumbuh sejalan dengan perkiraan meningkatnya kegiatan ekonomi nasional. Pada 2005 pertumbuhan sektor ini diperkirakan akan mencapai masing-masing sekitar 8,2%-9,2%. Salah satu pemicunya adalah penerbitan 100 izin pembangunan pasar modern baru sepanjang tahun 2005. Pertumbuhan akan sedikit turun pada 2006 menjadi 7,5%-8,5%.

Menurut Andreas Kartawinata, Chairman DPD-DKI Jakarta Raya APPBI, saat ini Indonesia memang masih dibayangi oleh tren pembukaan department store (department store minded). Rencana masuknya Tesco, Seibu dan Isetan mewakili tren tersebut. Namun ditilik dari tren bisnis ritel dunia, department store akan semakin tergantikan dengan specialty store yang bersifat tematik. Dalam laporan yang berjudul 2005 Global Powers of Retailing yang diterbitkan oleh Deloitte Touche Tohmatsu, AS, Januari lalu terungkap, dari peringkat 250 peritel global terbesar di dunia—yang diukur berdasarkan tingkat penjualan ritel—sebanyak 108 diwakili oleh format specialty store. Format supermarket yang masuk peringkat, sebanyak 96 buah, department store 56 buah, sementara hypermarket, 37 buah.

Wal-Mart yang menggabungkan format toko diskon, hypermarket, supermarket, superstore dan pergudangan (warehouse), menempati peringkat pertama dengan jumlah penjualan ritel pada 2003 sebesar $256,3 juta. Carrefour, raksasa ritel dari Perancis yang menggabungkan format cash & carry, convenience store, toko diskon, supermarket, hypermarket dan specialty store menempati posisi kedua dengan penjualan ritel pada 2003 sebesar $79,8 juta. Sementara Home Depot, toko ritel dengan format DIY (Do It Yourself), menempati posisi ketiga dengan penjualan $64,8 juta. Melihat tren ini, akankah pembukaan Central, Seibu, Tesco dan Isetan—di tengah pesaingan ketat bisnis hypermarket, supermarket, department store, toko diskon serta toko cash & carry, akan berhasil? Dengan kondisi kondisi perekonomian sekarang yang sedang turun, tampaknya hanya waktu yang akan menjawabnya. Oleh Hizbullah Arief di Jakarta.