Sunday, June 27, 2004

Belanja, Oh Belanja …

Pasar modern mengancam keberadaan pasar tradisional. Namun pasar tradisional tetap unggul

SETIAP AKHIR BULAN, Elisa, 32, ibu rumah tangga dengan tiga anak, selalu menyempatkan diri berbelanja bulanan bersama keluarga di salah satu hipermarket di Jakarta Selatan. Ia selalu mencatat semua kebutuhan, mulai dari bumbu dapur hingga jajanan untuk si kecil. Dana pun dialokasikan sesuai dengan perkiraan. Namun kejadian akhir bulan lalu, kembali berulang. Ia harus mengeluarkan dana ekstra untuk belanja bulanannya. Bulan lalu Indra suaminya, tertarik untuk menukarkan TV di rumah yang menurutnya “sudah ketinggalan jaman”, dan akhir bulan ini Elisa tergoda dengan iklan ponsel kamera beresolusi tinggi terbaru dan tak tahan untuk tidak membelinya.

“Itulah yang namanya impulse buying,” ujar Yongki Suryo Susilo, Direktur Pengembangan Bisnis dan Peritel, ACNielsen Indonesia. Belanja karena dorongan (keinginan) mendadak (impulse buying) ini menjadi salah satu hasil survei yang dilakukan oleh ACNielsen, yang dipaparkan 21 Juni lalu di Jakarta. Survei ini dilakukan di tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya pada September dan November 2003. Di Indonesia, survei ini melibatkan 1.019 responden laki-laki perempuan berusia antara 15-65 tahun dengan social economic status (SES) A, B dan C1. Golongan ini mewakili mereka yang pengeluaran minimalnya Rp700.000 ke atas setiap bulannya.

Menurut ACNielsen, sejalan dengan wilayah-wilayah lain di Asia Pasifik, kecenderungan berbelanja di pasar modern di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal yang menghasilkan tantangan besar bagi pasar tradisional. Kombinasi belanja rutin di grosir dan kebiasaan rekreasi keluarga sekali dalam sebulan, telah merubah struktur perdagangan dan prilaku belanja konsumen.

Dari survey ACNielsen, kalangan menengah ke atas di tiga kota besar di atas, berbelanja di hipermarket paling tidak sekali dalam sebulan dan pergi ke supermarket seminggu atau dua minggu sekali. Jumlah dana yang dikeluarkan di pasar modern juga terus mengalami peningkatan. “Uang yang besar jatuh ke outlet yang lebih besar,” ujar Yongky merujuk hipermarket. Pada 2003 tercatat 26,3% dari nilai rupiah, dikeluarkan di pasar modern. Sisanya 73,7% dikeluarkan di pasar tradisional. “Lama kelamaan komposisinya bisa 50:50,” ujar Yongky. Sementara dari pertumbuhan nilai uang yang dibelanjakan, minimarket mengalami kenaikan 14,8%, hipermarket dan supermarket 11%, sementara pasar tradisional hanya tumbuh 5%.

Invasi pasar modern

Berubahnya tren ini terkait langsung dengan pertumbuhan pasar modern. Jumlah pasar modern seperti hipermarket, supermarket dan minimarket di Indonesia, meningkat sebesar 31,4% dalam 2 tahun terakhir. Sementara dalam jangka waktu yang sama, jumlah pasar tradisional mengalami penurunan sebesar 8,1% per tahun. Jumlah pasar modern pada 2003 tercatat sebanyak 5.079 meningkat dari 3.865 pada 2001. Sementara pasar tradisional jumlahnya turun dari 1.899.736 pada 2001 menjadi 1.745.589 pada 2003. “Pasar dengan format modern ini lebih menarik karena sesuai dengan ragam tuntutan konsumen,” ujar Yongky.

Tuntutan konsumen ini meliputi harga yang rendah, kemudahan dengan konsep belanja di satu tempat (one stop shopping), hingga kenyamanan. Total penjualan barang-barang kebutuhan konsumen yang terdiri dari 51 katagori, secara keseluruhan naik 6,8%dari Rp39,1 triliun di 2002 menjadi Rp41,7 triliun di 2003.

Di Jakarta, hipermarket asal Perancis, Carrefour masih meraih indeks paling tinggi sebagai tempat yang paling banyak dikunjungi oleh pembelanja, meningkat dari 2,2 di 2002 menjadi 2,4 di 2003. Posisi kedua ditempati Ramayana—walaupun nilai indeksnya mengalami penurunan dari 1,7 di 2002 menjadi 1,5 di 2003. Hero menyusul di tempat ketiga dengan nilai indeks yang naik dari 1,1 di 2002 menjadi 1,2 di 2003. Kemudian baru disusul Alfa, Matahari dan Indomaret. Carrefour juga menjadi jawara dalam katagori persepsi masyarakat tentang tempat belanja yang paling murah, disusul oleh Alfa, Indomaret dan Ramayana.

Walaupun tidak menyebut kaitannya secara langsung, menurut ACNielsen upaya pasar modern (modern trade) guna menanamkan brand image ke konsumen adalah kunci keberhasilan mereka meraih pelanggan. “Karena sekali lagi itu adalah persepsi,” ujar Yanti Nisro, Direktur Operasi dan Komunikasi ACNielsen.

Salah satu upaya untuk menanamkan brand image ini adalah melalui iklan. Total belanja iklan dari 2002, tidak banyak mengalami perubahan bahkan cenderung menurun dari Rp68 miliar di 2002 menjadi Rp67 miliar di 2003. Namun Carrefour menempati posisi tertinggi dalam belanja iklan ini. Belanja iklan Carrefour meningkat 35,2% menjadi Rp18,5 miliar di 2003. Dengan belanja iklan sebesar ini, merek (brand) Carrefour untuk pertama kali, bahkan mampu menjadi merek nomor satu dalam katagori lintas produk, mengalahkan merek ponsel Nokia, yang sebelumnya menjadi jawara.

Pasar tradisional selamat

Lantas dimana keunggulan pasar tradisional? Menurut ACNielsen, pasar tradisional atau yang dikenal juga sebagai pasar basah (wet market), akan tetap menjadi pemain terpenting dalam channel perdagangan. Alasannya, hingga kini pasar tradisional masih mendominasi perdagangan bahan makanan segar (fresh food). Pembelanja rumahan menurut Yongky lebih memilih untuk berbelanja sayuran, daging serta ikan di tempat ini. “Kebiasaan belanja di pagi hari “melanggengkan” keberadaan pasar basah,” ujarnya.

Di masyarakat juga masih ada anggapan bahwa makanan segar adalah makanan yang mereka diperoleh di pagi hari. Misal ayam yang langsung dipotong di tempat penjualan, ikan yang mereka beli langsung dari nelayan, atau sayur-sayuran yang baru tiba dari ladang. Walaupun ada sebagian masyakarat modern yang mulai mempermasalahkan higienitas, perilaku ini tidak akan berubah dalam semalam.

Namun, ada satu yang tidak bisa disaingi oleh pasar tradisional: kemampuan pasar modern guna dalam menciptakan peluang bisnis. Di pasar modern, sebanyak 85% pembelanja—biasanya atau selalu—belanja tanpa rencana. Hanya 15% sisanya yang “berdisiplin” untuk berbelanja sesuai dengan daftar belanjaan mereka.

Menurut ACNielsen keberadaan impulse shopping (atau juga disebut dengan impulse buying atau impulse purchasing) adalah peluang bagi peritel untuk memperkenalkan produk-produk baru. Melalui komunikasi yang efektif di dalam toko dan program promosi, hal ini akan mempengaruhi pilihan merek yang dibeli konsumen dan mendorong pembelanja untuk belanja lebih banyak.

Fenomena impluse buying ini menurut Yongky tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Namun impulse buying di Indonesia cenderung lebih besar dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Di negara seperti India, dimana keberadaan pasar modern masih terbatas, pembelanja lebih berdisiplin untuk berbelanja sesuai dengan rencana. Indeks rata-ratanya mencapai 28% dibandingkan dengan Indonesia yang hanya 15%. Namun negara lain di wilayah Asia Pasifik atau Asia Utara indikasi impulse shopping ini jauh lebih tinggi. Di negara-negara tersebut, “Niat beli telur, bisa pulang bawa TV,” ujar Yongky tertawa. Jadi hati-hati berbelanja! Oleh Hizbullah Arief di Jakarta