Saturday, March 20, 2004

Kartu Kredit, Siapa Takut?

Dengan ekonomi yang masih tergantung pada konsumsi, kartu kredit layak diawasi

Dua bulan yang lalu (19/3) selepas shalat Jum’at, Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution memberikan wanti-wanti agar perbankan lebih berhati-hati dalam memasarkan produk layanan kartu kreditnya. “Bisa-bisa seperti di Korea yang sampai menimbulkan krisis,” pesannya saat itu. Anwar yang baru kembali dari Korea Selatan menyatakan, di negeri ginseng tersebut terjadi krisis perbankan akibat bank-bank sangat gencar menawarkan kartu kredit (KK), namun pada saat yang sama tidak mengimbanginya dengan kehati-hatian, sehingga banyak nasabahnya yang menunggak. Kebanyakan nasabah kartu kredit di Korea, menurut Anwar, memiliki lebih dari satu kartu kredit. “Mereka gali lobang tutup lobang. Utang pada satu kartu kredit dibayar dengan kartu kredit yang lain, sehingga utangnya berlipat ganda dari pendapatannya,” ujar Anwar. Anda merasakan hal yang sama?

Data dari Bank Indonesia menunjukkan, selama 2003, terjadi peningkatan aktivitas penggunaan baik kartu kredit, kartu debet, dan ATM. Aktivitas kartu ATM adalah yang tertinggi yaitu sebesar Rp 342,9 triliun. Sementara nilai transaksi kartu kredit dan kartu debet mencapai Rp 25 triliun dan Rp 9,8 triliun. Untuk itu Bank Indonesia berencana untuk mendirikan Biro Kredit yang sampai saat ini masih berproses. Biro kredit ini rencananya akan menangani berbagai macam persoalan menyangkut kredit lembaga keuangan termasuk dengan nasabah dan kredit konsumsi. Nantinya Biro Kredit tersebut akan menjadi pusat informasi antara lembaga-lembaga pemberi kredit. Dari sana nanti bisa diketahui informasi kredit yang telah dikucurkan dan nasabah penerima kredit.

Dari tahun ke tahun setelah krisis pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tergantung pada konsumsi, baik masyarakat dan pemerintah. Ketika ekonomi tumbuh 4,1% di 2003, konsumsi masyarakat tumbuh 4%, dan konsumsi pemerintah 9,8%. Di kuartal pertama 2004 ini, ekonomi diperkirakan tumbuh 4,7-4,8%. Namun lagi-lagi pertumbuhan itu masih dipicu oleh konsumsi. Investasi? Kontribusinya masih mengecewakan. Padahal semestinya investasi adalah mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Begitu pula ekspor, pertumbuhannya masih relatif rendah, sekitar 4%. Pertumbuhan ekonomi yang tergantung pada konsumsi tak akan berkelanjutan (sustainable).

Salah satu yang menfasilitasi pertumbuhan konsumsi masyarakat ini adalah cukup tingginya pertumbuhan kredit konsumsi (sekitar 28,78% di 2003). Perbankan sangat antusias mengalokasikan kreditnya ke sektor konsumsi dibandingkan kredit modal kerja dan investasi yang dipandang masih beresiko. Bank-bank sangat agresif mengeluarkan kartu kredit (KK), memberikan KPR (kredit pemilikan rumah), kredit konsumsi tanpa angsuran (cash advance), KPA (kredit pemilikan apartemen), dan KCM (kredit cicilan kendaraan bermotor).

Khusus di kartu kredit, saat ini terdapat sekitar 21 bank yang menerbitkan kartu kredit. Bank yang menjadi pemimpin pasar KK adalah Citibank. Menurut Riko Abdurrahman, Vice President Marketing Public Relations Head, Citibank, dari sekitar 4,86 juta pemegang KK, Citibank menguasai 30% pangsa pasar dengan jumlah 1,5 juta pemegang kartu. “Itu dari segi jumlahnya, tapi kalau dari segi market share untuk sales sekitar 40%. Itu artinya, pemegang kartu kredit kita belanjanya lebih banyak,” ujar Riko. Selama ini Citibank menurut Riko selalu menjaga market share sesuai dengan pertumbuhan pasar atau pertumbuhan industri. “Pertumbuhan industri itu sekitar 20-30% total. Dari dulu kita maintain sekitar 30% market share dan sales sekitar 40%,” ujar Riko. Jumlah ini menurut Riko sudah cukup sulit (untuk mengejar pertumbuhan lebih). Apalagi saat ini semakin banyak pemain yang menerbitkan KK.

Pemain besar lain adalah BCA. Menurut Mira Wibowo, Senior Manager BCA Card Center, Pertumbuhan KK BCA di 2003 meningkat sebesar 16% dari tahun sebelumnya menjadi 700.000 pemegang KK. Tidak seperti Citibank yang pelit dalam soal data menurut Mira volume transaksi BCA Card mengalami peningkatan 27% dari 2003 menjadi Rp2,9 triliun, dari Rp2,3 triliun di 2002. “Sumbangan KK untuk revenue naik 30% menjadi Rp8 miliar rupiah di 2003,” ujarnya. Untuk tahun ini BCA menargetkan perolehan hingga 1 juta kartu. Untuk mencapai target tersebut menurut Mira, BCA menerapkan strategi akuisisi yang ditunjang dengan program usage. “Jadi orang yang sudah daftar jangan sampai mereka resign. Itu kita tunjang dengan program usage, ada program dengan merchant untuk fitur cicilan BCA, auto pay BCA, reward BCA dll,” ujarnya. BCA juga mendirikan gerai khusus KK di cabang-cabangnya. “Kita jemput bola, kita juga pasang di mall-mall dan di merchant yang memberikan promo,” ujar Mira. Dengan memanfaatkan segala channel tersebut menurut Mira, “untuk bisnis acquiring, kita paling besar, kita leading market share.” BCA Card diterbitkan pertama sebagai charge card, dan berubah menjadi KK sejak 1995-1996. Hingga kini usia BCA Card sudah mencapai 20 tahun. BCA kini mempunyai empat KK yaitu BCA Card, BCA Visa, BCA MasterCard dan BCA JCB. Saat ini 60% pemegang kartu kredit BCA menggunakan BCA Card, 25% Visa dan sisanya 15% menggunakan BCA Mastercard.

Irisan

Maraknya penerbitan KK ini diakui oleh Anggoro Eko Cahyo, Marketing & Service Manager BNI Card Center Division. Menurutnya KK baru mengalami pertumbuhan pesat dalam dua tahun terakhir setelah menembus angka 4 juta pemegang kartu. Di akhir 1999 jumlah pemegang kartu tercatat hanya 2,8 juta. Di 2000 jumlah ini meningkat menjadi 3,2 juta dan di 2001 menjadi 3,6 juta. “Di 2002 jumlahnya menjadi 4– 4,2 juta dan di akhir tahun 2003 menjadi 4,8 juta,” ujarnya. Di bisnis KK, BNI adalah pendatang baru. BNI baru meluncurkan layanan ini untuk karyawan di 1997. BNI baru melakukan grand launching di Januari 1998. Mengingat kondisi yang tidak kondusif di Jakarta waktu itu, BNI mulai meluncurkan KK-nya di daerah.

Namun dalam perjalanannya, Jakarta masih menjadi tumpuan pangsa pasar terbesar semua issuer KK. Menurut Anggoro, Jakarta menyumbang 45% dari seluruh pasar KK BNI. Namun dari angka itu masih dimungkinkan terdapat KK ganda, dalam arti satu nasabah mempunyai lebih dari satu KK. Dari 4,8 juta pemegang kartu menurut Anggoro, hanya sekitar 3 juta yang merupakan pemegang riil KK. “Jadi 4,8 itu card dan 3 juta account-nya, orangnya. Satu account bisa punya dua kartu,” ujarnya. Irisan-irisan ini menurut Anggoro pasti terjadi. '' Di Jakarta (kalau) terjadi duplikasi tidak terhindarkan,'' ujarnya. Hingga akhir tahun 2003, BNI mempunyai 760.000 pemegang “kartu hidup”. Jumlah ini menurut Anggoro mewakili 16% pangsa pasar. “Posisi kita nomor dua setelah Citibank,” ujarnya.

Masalah duplikasi ini juga sudah menjadi perhitungan Citibank. Menurut Riko, kepemilikan KK rata-rata masih berkisar di angka 1,3. Hal ini berarti secara rata-rata, satu orang memiliki satu sampai dua kartu kredit. “Dari tahun ke tahun data ini tidak berubah. Artinya pertumbuhan jauh lebih banyak di kartu baru,” ujarnya. Dan Jakarta menyumbang 70% pangsa pasar Citibank, dengan komposisi pemegang kartu gold/platinum serta silver berbagi 30% dan 70%. Dengan jumlah transaksi yang tetap mengikuti rumus 20:80. “Nasabah gold dan platinum menyumbang 80% revenue. Sayang policy kita kita tidak bisa mengeluarkan angka,” ujar Riko.

Berdasarkan data yang diperoleh BusinessWeek Indonesia pendapatan Citigroup International dalam kuartal pertama 2004, mencapai angka $1.61 miliar, mengalami peningkatan 32% dibandingkan dengan periode yang sama di 2003. Prestasi ini diwarnai dengan pertumbuhan dua digit yang diraih di semua wilayah. Pendapatan di Asia mencapai rekor kenaikan 49% dengan nilai $599 juta. Dari angka ini pendapatan dari bisnis konsumen (consumer income) meningkat 33%, dengan pertumbuhan dua digit di bisnis kartu, perbankan ritel dan consumer finance.

Sementara itu BCA pada kuartal pertama tahun 2004, memperoleh laba sebelum pajak sebesar Rp 1,08 triliun atau meningkat 53,79% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 0,70 triliun. Laba bersih BCA pada kuartal pertama tahun 2004 meningkat sebesar 61,36% menjadi Rp 768,11 miliar dari Rp 476,02 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk mempertahankan dan meningkatkan perolehan laba, BCA akan terus meningkatkan fungsi intermediari keuangan dan mengembangkan alternatif sumber pendapatan lainnya di samping memperbaiki komposisi aset secara bertahap. Pada akhir Maret tahun 2004, saldo kredit yang diberikan BCA (induk perusahaan) sudah mencapai Rp 29,82 triliun meningkat 34,61% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2003 yang mencapai Rp 22,16 triliun. Kenaikan terbesar terjadi pada kredit konsumen sebesar 101,76%, diikuti kredit korporasi sebesar 31,58% dan kredit komersial & ritel sebesar 25,72%.

Besarnya jumlah kredit yang disalurkan juga tercermin dari jumlah transaksi. Menurut Anggoro transaksi KK di BNI mengalami kenaikan 46% di 2003 dibandingkan tahun sebelumnya. “Angkanya rata-rata Rp350 miliar per bulan,” ujar Anggoro. Dari jumlah ini nasabah yang menyicil hampir mencapai 80%-nya. Untuk mendukung hal tersebut BNI mengeluarkan fitur smart spending berupa cicilan dengan bunga lebih rendah sejak awal November 2003. “Kita pertama bekerjasama dengan department store. Sukses rate-nya cukup tinggi,” ujar Anggoro. Hal ini juga didukung oleh 5000 IDC dengan jumlah 2000-3000 merchant di seluruh Indonesia. Di 2004 BNI menargetkan pertumbuhan hingga 1 juta pemegang kartu. Sementara jumlah transaksinya ditargetkan mencapai Rp400-450 miliar per bulan. BCA walaupun belum melakukan heavy campaign, jumlah cicilannya sejak April 2003 sudah mencapai Rp30 miliar (per bulan). “Targetnya sampai akhir tahun (2004) diharapkan menjadi Rp200 miliar,” ujar Mira.

Kualitas kredit

Angka itu bukanlah mimpi. Melihat data pertumbuhan KK terakhir, bisa dipastikan pertumbuhan kartu kredit masih akan terus berlanjut. Menurut Anggoro masih ada potensi pasar yang besar yang bisa diedukasi. "Dari datanya ada 14-15 juta orang yang eligible punya KK," ujarnya. Data yang diperoleh BusinessWeek Indonesia dari Mastercard menyebutkan sampai kuartal keempat 2003, pemegang kartu kredit MasterCard yang diterbitkan di Indonesia mencapai 2,82 juta kartu, meningkat 55,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah ini, total transaksinya tercatat sebesar $22,73 juta, meningkat 23.4% dibandingkan tahun sebelumnya. Besarnya transaksi ini didukung oleh jaringan merchant Mastercard di lebih dari 22 juta lokasi di seluruh dunia, termasuk merchant, ATM dan lokasi-lokasi pengambilan tunai lainnya.

Sementara data yang diperoleh BusinessWeek Indonesia dari Visa menyebutkan jumlah pemegang kartu Visa di kawasan Asia Pasifik tercatat sebanyak 203 juta kartu. Nilai keseluruhan transaksi maupun penarikan uang tunai dari ATM (menggunakan kartu Visa) di kawasan ini sekitar US$438 miliar. Jumlah keseluruhan kartu Visa yang beredar di Indonesia, baik itu kartu kredit maupun kartu Visa Debit/Electron sebanyak lebih dari 6 juta kartu. Dari jumlah ini, sebanyak lebih dari 3 juta adalah kartu kredit Visa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 20-30 persen per tahun untuk kedua jenis kartu pembayaran.

Menurut data Visa dengan tingkat Personal Consumption Expenditure (PCE) di Indonesia yang hanya 1,3 persen (dibandingkan dengan rata-rata di dunia sebesar 7 persen) masih banyak kesempatan bagi industri kartu kredit untuk berkembang di Indonesia (mengingat jumlah penduduk Indonesia lebih dari 210 juta jiwa). PCE adalah jumlah pengeluaran keseluruhan konsumen dikurangi cicilan bulanan untuk dana pinjaman. Belanja yang dibayar dengan kartu secara keseluruhan menurut Visa masih berkisar pada 1,3 persen. Oleh sebab itu pembayaran dengan uang tunai masih mendominasi pasar.

Dengan data dan fakta yang menggiurkan tersebut, bagaimana dengan kualitas kredit seperti yang dikhawatirkan Anwar? Menurut Riko, Citibank masih mempertahankan angka NPL di level satu digit. “Setelah krisis jumlah NPL yang single digit itu jauh lebih kecil karena prosesnya kita perbaiki jauh lebih ketat,” ujarnya. Bisnis KK menurut Riko adalah bisnis kredit tanpa agunan yang bukan hanya pemasarannya yang harus bagus, tapi manajemen resikonya juga harus lebih prima. Menurut Anggoro, BNI masih mempertahankan kualitas kredit dengan rasio kredit bermasalah (NPL, non-performing loan) di bawah angka 7%. “Itu terdiri dari beberapa golongan 2,3,4 dsb,” ujar Anggoro.

Kini yang tinggal adalah upaya keras bagi bank penerbit kartu untuk memberikan nilai tambah kepada nasabahnya. Berbagai strategi ditempuh, berpuluh gimmick dibuat, namun intinya menurut Riko satu, "menghindari komoditisasi,'' ujarnya. Berbagai bank mencoba memberikan nilai tambah sehingga tidak lagi bermain di suku bunga. ''Kalau sudah bermain di suku bunga Anda tidak ada bedanya dengan yang lain," tambah Riko. Namun sepakat dengan langkah BI untuk mendirikan Biro Kredit, pertumbuhan kartu kredit ini harus terus diamati. Karena dengan suku bunga yang cenderung meninggi, resikopun menanti dan semoga kekhawatiran Anwar pun tidak terbukti. Oleh Hizbullah Arief di Jakarta