Monday, January 26, 2004

Mobil Indonesia, Bukan Mimpi

Usaha menciptakan mobil Indonesia dengan harga terjangkau terus berlanjut. Riset menjadi unggulan nasional

Pagi itu, 18 September 2003, langit di Lingkungan Industri Kecil (LIK) Takaru, Kelurahan Dampyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, terlihat cerah. LIK, yang berdiri sejak 1982 di atas lahan lebih dari 9 hektare, mulai terlihat denyutnya. Ramai dengan suara mesin las, bubut dan gergaji yang menderu. Suara riuh ini seakan menyambut pencanangan proyek kerja sama produksi dan pemanfaatan engine multiguna antara PT Surya Pantura, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Pemerintah Kabupaten Tegal, yang ditandatangani pada hari yang sama.

Berbeda dengan proyek mobil nasional (Mobnas) -diputuskan melalui Inpres No. 2/1996- yang mengimpor langsung produknya dari Korea Selatan, dalam rencananya kali ini, Kamsi Ranosaputro, Direktur Utama PT Surya Pantura, tidak muluk-muluk. Ia ingin melibatkan industri hulu sampai hilir yang ada di Tegal dengan melibatkan ratusan pengusaha kecil yang tergabung dalam Lingkungan Industri Kecil (LIK) Takaru melalui cluster system. Menurut Dinas Perindutrian Perdagangan dan Tenaga Kerja. Kab. Tegal, 2.761 perajin logam akan terserap dalam proyek ini. Rancang bangun mesinnya 100% dikerjakan oleh putra Indonesia. Produknya berupa mobil angkutan ekonomis yang terjangkau bagi dunia usaha. Bekerja sama dengan Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Kamsi menjagokan mesin aluminium mulitiguna 500cc.

Mesin ini dirancang oleh nama yang tak asing lagi di industri otomotif nasional, Suparto Soejatmo, Presiden Direktur PT Indo Tekno Mandiri (ITM). Mantan Direktur Utama PT Timor Distribusi Nasional ini memperoleh bantuan dari DR. Utama H. Padmadinata, Director For Material Technology Center, BPPT dan tim. ITM telah menghasilkan sejumlah mesin yang beberapa di antaranya sudah diproduksi masal.

Mobil Indonesia

Dalam wawancara dengan BusinessWeek Indonesia bulan lalu, Suparto bersemangat mewujudkan proyek ini guna menghadirkan mobil yang bisa dibeli oleh masyarakat. “Mobil Indonesia”, demikian Suparto menyebutnya. Mesin 500cc sengaja dipilihnya,”Supaya tidak head on dengan saudara-saudara tua kita,” tuturnya. Di Indonesia saat ini belum ada mobil yang bermain di kelas 500cc. Pesaing terdekatnya adalah Daihatsu Ceria 600 cc. “Tapi itu di Malaysia. 600cc versi yang paling murah, di sini mereka tidak masuk,” ujar Suparto. Selain cc yang rendah, desain mobil juga dibuat serbaguna. “Sehingga selain bisa untuk mobil penumpang, mobil ini juga bisa dipakai untuk mengangkut produk-produk pertanian,” tuturnya.

Kemampuan Suparto untuk merancang bangun mesin tidak lagi diragukan. Ia sudah merancang 4 buah mesin, diantaranya adalah mesin 1 silinder disel horizontal—yang sudah menjadi prototype dan diproduksi untuk alat pertanian oleh PT Nefa, di Tegal—mesin disel 1600cc dan 1300cc 4 silinder Indirect Injection (IDI) dan mesin disel 5 silinder 2500cc Direct Injection, twin cam, 4 valve yang dilengkapi turbo intercooler, serta mesin motor bensin 2 silinder 500 cc, yang sekarang menjadi proyek unggulan RUSNAS (Riset Unggulan Strategis Nasional) BPPT. “Dengan blok yang sama, mesin itu bisa menjadi mesin disel dengan perubahan yang sangat minor, dan bisa double, ke gas dan bensin,” ujar Suparto.

Kerjasama Suparto dengan BPPT dimulai pada 2001. Saat itu Suparto diundang BPPT untuk menghadiri satu seminar mengenai riset material. Di sana Ia bertemu DR. Utama, Direktur Teknologi Material BPPT. Proyek mesin aluminium yang dikerjakannya mendapat dukungan dari material yang kebetulan telah dikaji BPPT. Posisinya sebagai salah satu Ketua Jaringan Usaha Mandiri Indonesia (JUMI) kemudian membawanya bertemu dengan Menristek Hatta Rajasa dan membuat proyek ini menjadi Riset Unggulan Nasional (RUSNAS).

Menurut Utama, dalam wawancara dengan BusinessWeek Indonesia, program RUSNAS yang dimulai pada 2002 merupakan bentuk dari misi BPPT menjadi agen pembangunan dan mitra terpercaya bagi industri di bidang teknologi. Proses merancang mesin dan membuat prototype engine pertama, telah selesai Desember, 2003. “Kalau dilihat dari siklus mesin, kita tidak mulai dari nol,” ujarnya, karena itu, setelah proses rancang bangun mesin dari PT ITM jadi, “BPPT punya kewajiban untuk mewujudkannya,” tambahnya lagi. Dari prototype pertama, menurut Utama, akan dilakukan modifikasi dan pengujian di Balai Teknologi Thermodinamika Motor dan Propulsi. Pengujian ini meliputi simulasi beban, tanjakan, turunan dan emisi. Setelah itu baru diuji jalan. “Kita sudah ada satu MOU dengan Kancil, yang sekarang menggunakan mesin dari Jepang,” ujarnya.


Rp2,5 miliar

Kementrian Riset dan Teknologi bertanggung jawab atas dana program RUSNAS ini. Pada 2002 BPPT dan ITM telah memperoleh bantuan sebesar Rp500 juta, ditambah Rp1 miliar pada 2003.. Tahun ini, BPPT berencana mengajukan dana sebesar Rp 1 miliar untuk pembuatan prototype tahap ke-2. Dana ini menurut Utama tinggal menunggu persetujuan dari Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan.

Masalah pendanaan ini pula yang jadi keluhan Suparto. ITM mengajukan dana Rp1,5 milyar untuk rancang bangun prototype kedua,. “Kalau anggarannya ditekan, produksinya akan jelek,” ujar Suparto. Biaya terbesar ada di pengadaan peranti lunak asli yang seharga $70 ribu. Menurut DR. I Nyoman Jujur, Material Engineer, BPPT, apabila dana tersedia, diharapkan target uji tahun ini bisa terlaksana. “Selanjutnya kita akan membuat kira-kira 10 prototipe lagi,” tutur Nyoman. Pada Oktober tahun ini, BPPT akan mencoba mengganti penggunaan bahan bakar bensin dengan bahan bakar gas. “Kita juga mencoba mengganti karburator menjadi injection untuk mengantisipasi aturan pemerintah pada 2005,” tuturnya.

BPPT menargetkan konten lokal di atas 90%. Dengan kondisi ini, menurut Utama, proyek ini bisa bermanfaat bagi industri komponen di Tanah Air dan menciptakan lapangan kerja. “Itulah tujuan utama BPPT, sehingga IPTEK benar-benar bisa teraplikasi ke masyarakat,” ujarnya. Untuk mewujudkannya butuh waktu yang panjang. “Secara bertahap bisa 10 tahun,” ujar Suparto. Ketika mesin sudah jadi semua lalu tergantung pada investor seperti Kamsi. “BPPT bukan investor, mereka membantu kita. Kalau tidak ada BPPT pun kita jalan, tapi pelan-pelan,” ujar Suparto. Dengan adanya BPPT dan RUSNAS proyek ini diharapkan lebih cepat terlaksana.

Kuncinya ada di niat politik pemerintah. Menurut Suparto, harus ada komitmen bersama dari pihak-pihak terkait, termasuk lembaga internasional supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. “Kita tidak akan minta proteksi. Tapi pemerintah bisa bilang ke WTO untuk mobil 500cc, pajaknya sekian,” ujarnya. Suparto juga tidak takut bersaing. “Saya siap diadu, kalau mesin saya jelek, masak ada orang Iran datang ke saya, juga orang Turki dan China?” tambahnya lagi. Rancang bangun mesin PT ITM, menurut Suparto, selalu memakai standar internasional. “Tapi ada yang saya rubah sehingga cocok dengan iklim yang ada disini,” ujarnya. Mesin 1240 cc, yang dulu dipesan untuk Timor—dan rencananya menjadi proptotype mobil nasional—kini telah jadi dalam bentuk satu unit mobil utuh dan sudah digunakan.

Dari sisi investor, Kamsi menyatakan siap. Walau tidak menyebut angka, PT Surya Pantura menurut Kamsi sudah mengalokasikan dana untuk memproduksi 5000 unit mesin per tahun. Kegiatan pabrikasi untuk proyek otomotif ini, menurut Kamsi, sudah dipersiapkan sejak November tahun lalu dan rencananya dimulai pada Juni tahun ini. Dari sketsa yang diperoleh BusinessWeek Indonesia, mobil ini akan dibuat dengan berbagai varian seperti sedan, pick up, dari mulai yang sederhana hingga yang mewah. Model awal rencananya akan dijual dengan harga di bawah Rp30 juta. Dengan disertai sertifikasi dari BPPT, Deperindag dan Departemen Perhubungan, mobil ini siap mengisi ceruk pasar mobil murah di Indonesia—demi mewujudkan sebuah mimpi, “Mobil Indonesia”.

“ Harus Jadi Prioritas ”

Soehari Sargo, Pengamat Otomotif, tanggal 27 Januari di Jakarta

Ada rencana membuat mobil nasional 500 cc. Apakah bisa bersaing?

Sebetulnya, kebutuhan Indonesia begitu besar, dari Jaguar di kota besar sampai yang paling sederhana di pelosok-pelosok. Jadi peluang pasarnya ada, karena kalau kita lihat di daerah-daerah, daya belinya sangat rendah dan juga kondisi infrastruktur masih sangat sederhana. Yang penting, pola transportasi atau pola penggunaan kendaraan berbeda dengan yang ada di kota-kota. Kalau di desa, mereka menggunakan kendaraan tidak hanya untuk pribadi tapi juga untuk mengangkut barang. Masuk ke sawah-sawah. Sehingga, akan sangat bermanfaat kalau ada kendaraan yang membantu dalam kelas harga maupun dalam fungsinya. Sebagai contoh di Jepang. Waktu Jepang baru selesai perang, ada kendaraan-kendaraan kecil, bahkan bemo, seperti Mazda kotak dsb. Demikian juga di India dan Thailand. Jadi kalau dilihat dari situ, seharusnya peluang pasarnya ada.

Apakah tidak akan bersaing dengan mobil sejenis yang cc-nya sama, yang akan datang dari Cina?

Itu juga menarik untuk dilihat. Namun untuk sementara ini, nampaknya belum ada. Pemain-pemain ini lebih banyak memperhatikan segmen sedan yang di atas 1500cc, itu satu. Yang kedua, China misalnya, sekarang lebih banyak memperhatikan pasar dalam negerinya yang sudah mencapai 4 juta dalam setahun. Walaupun daya beli masyarakat China masih agak rendah, permintaan begitu besar. Pemain-pemain otomotif dunia juga tidak meminati yang (cc-nya) kecil-kecil ini.

Apakah program ini membutuhkan proteksi dan dukungan penuh dari pemerintah?

Saya melihatnya bukan proteksi seperti yang berlaku dulu, tapi lebih pada pengembangan pasar. Misalnya, KUD dan usaha kecil mendapat fasilitas yang lebih baik untuk memiliki kendaraan. Kalau fasilitas dari sisi perpajakan saya kira itu sudah karena semua diproduksi di dalam negeri. Ada sebagian kecil yang diimpor tapi bea masuknya rendah. Sebentar lagi pasti nol dan karena itu tidak akan terkena pajak barang mewah hanya PPN saja. Jadi dalam konsep seperti itulah yang dimaksudkan sebagai proteksi. Kalau saya mengatakannya prioritas.

Bagaimana political will dari pemerintah karena ini sekarang ‘kan menjadi RUSNAS?

Yang masih ditunggu adalah kesinambungan dari program RUSNAS sampai ke kebijakan industri dan perdagangannya. Nah, ini yang belum. Itu urusannya kabinet.

Kalau melihat daya beli masyakarat, mobil dengan harga berapa yang mampu terserap oleh pasar?

Sekarang kalau dilihat pasarnya, kira-kira 70% penjualan ada di Jabotabek dengan harga rata-rata antara Rp150-200 juta. Artinya, masyarakat tipikal di Jabotabek sudah mampu membeli mobil dengan harga tersebut. Dan kalau kita lihat dari GDP regional, ada daerah yang kaya dan daerah yang terbelakang. Kalau harganya antara Rp100-150 juta, pasarnya terbatas di daerah yang sudah maju atau di kota-kota besar. Sementara di daerah-daerah, saya yakin mereka kurang tertarik. Kalau harganya bisa di bawah Rp50 juta saya rasa akan sangat kompetitif.

Ada kemungkinan bersaing dengan produsen lain seperti dengan Daihatsu Ceria yang 800cc?

Itu teknologinya beda. Kalau yang murah (teknologinya) masih sangat sederhana, tidak pakai karburator, tidak pakai AC, dan bodinya juga disederhanakan. Sejauh itu manfaat proyek ini harus didukung karena dulu ada Maleo. Yang menentukan nanti adalah pasar. Sekarang, bagaimana menumbuhkan pasar dengan memberi prioritas dan pengarahan-pengarahan.

Spesifikasi Mesin “Mobil Indonesia”

Tipe mesin: Bensin 4 langkah, 2 silinder SOHC, 2 valves

Total kapasitas silinder: 485 cc

Bore X Stroke: 65,5 mm X 72 mm

Rasio kompresi: 9:1

Tenaga maksimal: 23 kW (31 HP)/4000 rpm

Torsi maksimal: 55 Nm/3000 rpm

Putaran mesin (Rpm) maksimal: 6000 rpm

Langsam (idle speed): 700 rpm

Klep masuk (intake valve): 31,8 mm

Klep pembuangan (exhaust valve): 27 mm

Bahan baku blok silinder: AI (AC4B)

Bahan baku kepala silinder: Al (AC4B)

Sistem pendingin: Air

Sistem pengapian: CDI Distributor Less

Sistem bahan bakar: Karburator (pompa bahan bakar elektris)

Kapasitas oli: 3 liter

Friday, January 16, 2004

Pariwisata: Fajar Menyingsing

Industri pariwisata Indonesia jatuh bangun setelah kerusuhan Mei 1998, tragedi WTC 2001 dan tragedi bom Bali 2002. Bagaimana prospeknya di 2004?

Bagi Dedier Lamiere, 42, wisatawan asal Cologne, Perancis, Bali tidak secerah dulu. Sebelum tragedi Bali Oktober 2002 ia telah berkunjung dua kali ke Bali. Menikmati matahari terbit di Sanur dan sunset di Kuta. Kini setelah bom meledak di Paddy’s, kunjungan ketiganya Januari, 2003, bagaikan ziarah. Perjalanan pribadi ke Bali (individual travel) anjlok hingga 90%. Angka ini baru mulai menunjukkan pergerakan di awal 2004. Suramnya industri pariwisata di Bali merembet ke industri pariwisata tanah air.

Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X (HB X) dari Keraton Yogyakarta dalam diskusi mengenai Dinamika Pariwisata Indonesia Outlook 2004 yang diselenggarakan LPEM, UI pertengahan Januari lalu, sebelum Tragedi Bom Bali, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia mulai 1990 mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pada 1990, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 2,18 juta orang atau meningkat 33,9% dari tahun sebelumnya, atau melampaui 11,8% dari angka target 1,95 juta.

Tahun 1991, melalui pencanangan Visit Indonesia Year, jumlah wisatawan meningkat lagi menjadi 2,57 juta atau melebihi 18% dari target yang dipatok sebesar 2,44 juta orang. Peningkatan ini menurut Sultan HB X merupakan prestasi yang spektakuler, mengingat tahun itu terjadi Perang Teluk. Ketika kunjungan wisman di negara-negara lain terpuruk, Indonesia justru meraup penambahan kedatangan wisman yang cukup besar,” ujarnya. Banjirnya wisman ini menurutnya lebih banyak dipengaruhi oleh jaminan keamanan. Hotel-hotel benar-benar puas menangguk keuntungan. Pembangunan hotel pun menjamur.

Cerita manis ini berlanjut hingga 1996. Sektor wisata mengalami pertumbuhan yang fantastis. Target 2,93 juta wisman dilewati 19,2% menjadi 3,06 juta dan tahun 1996 junjungan wisman mencapai puncaknya dengan angka 5,03 juta orang dan menghasilkan devisa $6,3 miliar. “Perolehan itu merupakan peraihan devisa tertinggi dari sektor pariwisata hingga saat ini” tutur Sultan.

Mendung

Namun seiring dengan perubahan politik di 1997, mendung pun mulai menggayut. Tahun 1998 Presiden Soeharto turun. Menurut Sultan HB X pergantian kekuasaan itu tidaklah terlalu mengganggu citra keamanan apabila tidak disertai kerusuhan Mei 1998 yang disusul berbagai kerusuhan bernuansa SARA, sehingga pertumbuhan arus kunjungan wisman anjlok menjadi minus 11%.

Tahun 2000 suhu politik nasional mulai mereda. Pergerakan arus wisman mulai beranjak naik. Bahkan Agustus 2001, kunjungan wisman dari 13 pintu masuk tercatat mengalami peningkatan 6,49% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Tak urung sejumlah pihak kembali memandang masa depan pariwisata dengan penuh optimisme. Namun Tragedi WTC 2001 merusak optimisme tersebut. Kedatangan wisman kembali sepi. Dan ketika optimisme sedikit demi sedikit mulai pulih, Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002, memprorakporandakan semua.

Efek bom Bali jauh lebih dahsyat. Target kunjungan wisman 2002 gagal tercapai. “Realisasinya hanya 4,3 juta, jauh dari 5,4 juta target wisman yang direncanakan,” ujar Sultan. Setelah Bom Bali, pada Agustus 2003 kembali terjadi tragedi bom di Hotel Marriot sehingga kunjungan wisman kembali meleset 10-12% dari target angka 4,8 juta orang.

Berdasarkan penelitian LPEM UI, di seluruh dunia, pada 2002 lalu, jumlah wisatawan yang melakukan perjalanan, untuk pertama kalinya mencapai angka 700 juta orang. Walaupun dunia masih diwarnai perang Irak, wabah SARS dan Bom Bali yang mengguncang dunia pariwisata dengan banyaknya korban. Pertumbuhan kedatangan wisatawan internasional, naik 3,1% dibandingkan kedatangan wisatawan 2001, walaupun tahun 2000-2001 mengalami penurunan 0,5%.

Yang menjadi motor adalah pertumbuhan di wilayah Asia Pasifik yang tumbuh 7,9%, dengan kawasan Asia Timur dan Utara sebagai leader, dengan angka pertumbuhan spektakuler 11,9%. Namun pertumbuhan jumlah wisatawan Indonesia pada 2000-2001 menurut Ringoringo Achmadi, peneliti dari LPEM-UI justru mengalami penurunan sebesar 1,9%. Tanpa konsep yang jelas dalam pengembangan dari sisi ekonomi menurut Ringo, pariwisata tidak akan tumbuh dengan baik padahal potensi wisatawan yang bisa digarap sangat besar. Pada 2002 jumlah wisatawan yang masuk ke kawasan Asia-Pasifik tercatat sebanyak 130 juta orang. Hanya 5 juta wisatawan yang masuk ke Indonesia.

Pemberlakuan Kepres No 18/2003 menurut Ringo menjadi salah satu contoh dimana kebijakan pemerintah tidak menunjang pariwisata. “Pada saat industri pariwisata sedang terpuruk akibat situasi internal dan eksternal, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang semakin memukul industri pariwisata,” ujarnya. Sebagai contoh, dalam kasus kerjasama China dan Malaysia, menurut Ringo, Malaysia menerapkan kebijakan visa yang sama dengan Indonesia namun, Malaysia hanya memungut biaya yang lebih murah, $10 per orang, dibandingkan Indonesia yang $35 per orang. “Dan itu dipusatkan di Beijing, sementara konsulat Indonesia ada di Guang Zhou, sehingga menambah waktu dan biaya,” ujar Ringo.

Wisnus

Untuk tahun 2004 ini, harap-harap cemas masih membayangi pariwisata Indonesia. Pemilu yang berlangsung 3 kali putaran menurut Ringo akan mempengaruhi keinginan wisman untuk datang ke Indonesia. “Kalau pemilu putaran pertama, April, mengalami kerusuhan, maka 2004 akan lebih buruk prestasinya dari 2003,” ujarnya. Hal ini karena wisatawan akan menunggu hingga putaran final pemilu pada September, untuk pengambilan keputusan. Di lain pihak, apabila periode April dan Juni berjalan dengan baik, diperkirakan kedatangan wisatawan asing akan sama dengan 2002.

Untuk mengantisipasi hal itu, menurut Setyanto P. Santosa, dari Indonesia Tourism Watch (ITW), para pelaku pariwisata Indonesia disarankan lebih fokus ke pasar dalam negeri, menggarap wisatawan nusantara (wisnus). “ Hal ini minimal akan menolong cash flow perusahaan,” ujarnya. Dengan kondisi politik yang kurang mendukung menurut perkiraan ITW, di 2004, Indonesia hanya akan meraih maksimal 4,5 juta wisman. Kunci klasiknya adalah jaminan keamanan. Meski tidak ada satupun negara di dunia yang menjamin wisman akan aman tinggal di negaranya. “Yang penting adalah signal bahwa Indonesia bersungguh-sungguh menjaga keamanan,” ujarnya.

Industri pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar kedua bagi Indonesia setelah minyak dan gas bumi (migas). Prestasi ini terus bertahan hingga kini. Tahun 1999 menurut data LPEM-UI, sektor pariwisata menyumbang $4,71 miliar devisa bagi Indonesia sementara migas menyumbang $9,79 miliar. Di 2000 jumlah ini mengalami peningkatan yang signifikan menjadi $5,75 miliar dibanding migas yang 14,37 miliar. Jumlah ini turun pada 2001dengan nilai $5,41 miliar dan turun lagi menjadi $5,03 miliar di 2002, berbanding penerimaan di migas yang $12,64 miliar pada 2001 dan $12,11 miliar pada 2002. Selain perolehan devisa, dampak multiplier dari industri bagi penyerapan tenaga kerja sangat besar.

Menurut perhitungan BPS (Biro Pusat Statistik) 2003, sektor pariwisata mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 7,39 juta orang. Diharapkan di 2007, menurut data WTTC (World Travel & Tourism Council), angka ini meningkat menjadi 8,5 juta orang atau menciptakan 8% dari total tenaga kerja nasional. Menurut perhitungan Ringo, apabila setiap tenaga kerja diasumsikan mempunyai dari 2 anak, maka jumlah penduduk yang bergantung dari sektor ini mencapai angka 32 juta orang atau sekitar 15% dari total penduduk Indonesia. Belum lagi pendapatan dari pajak hotel dan restoran yang dari data 2001 diperkirakan mencapai angka $300 ribu.

Kini untuk memulihkan industri, menurut Ringo, pemerintah diharapkan lebih fokus mengarap pasar tradisional seperti China, Hong Kong, Korea dan Taiwan yang letaknya dekat dengan Indonesia. Sementara dari sisi regulasi, peraturan bebas visa untuk kunjungan singkat yang berlaku bagi 48 negara, yang telah dicabut, hendaknya diberlakukan kembali. Status bebas visa ini (setidaknya visa saat kedatangan) menurut Ringo bisa bertambah untuk negara-negara yang potensial seperti RRC, Rusia dan India. Untuk menarik wisatawan baru dan wisatawan yang sudah pernah berkunjung di Indonesia (repeated tourist), menurut Ringo pemerintah diharapkan mengalokasikan dana yang cukup besar untuk promosi, sebesar 10% dari jumlah valas yang dikeluarkan oleh wisatawan atau setara $500 juta pada 2002.

Selain promosi, hal lain yang perlu ditingkatkan, menurut Sultan adalah mutu produk wisata. Namun kebijakan itu terkait dengan kebijakan ekonomi pemerintah, beserta usahanya memperkuat institusi (institution building), menfasilitasi lalu lintas wisatawan internasional, memberikan jaminan stabilitas politik serta keamanan dan mengeliminir segala bentuk konflik nasional. Apabila semua hal ini dilaksanakan, menurut Sultan, industri pariwisata akan segera kembali ke khittah-nya. Menciptakan kemakmuran, nilai tambah, pajak, penanaman modal dan lapangan kerja. Semoga! Oleh Hizbullah Arief di Jakarta